• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BELAJAR DARI RUNTUHNYA REZIM OTORITER

Kita semua hampir tidak percaya bahwa rezim kuat di Afrika menjadi bertumbangan akibat kekuatan barat yang bersekutu dengan dan dibantu oleh kekuatan lokal. Mesir, negara yang menjadi kiblat modernisasi di Afrika utara ternyata juga tumbang dalam gerakan reformasi yang dilakukan oleh rakyatnya. Demikian pula Tunisia juga hancur karena kekuatan people power. Dan yang terakhir tentunya adalah kejatuhan Moammar Khadafy di Libya.
Tentu tidak ada yang menduga bahwa orang kuat nomor satu di benua Afrika tersebut akan tumbang. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kekuatan militer, kekuatan dana dan kharisma Sang Kolonel untuk menjadi penguasa tiada banding si negerinya. Dukungan pasukan yang setia yang ditopang oleh kekuatan penguasaan ekonomi dalam negeri dan kekuatan rezim otoriter yang dimilikinya tentu menjadi pertimbangan bahwa Libya sangat berbeda dengan Mesir dan Tunisia.
Akan tetapi secara faktual ternyata sungguh berbeda. Khadafy akhirnya harus menemui ajalnya dalam serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh tentara sekutu Amerika Serikat dan Perancis dibantu oleh tentara rakyat dari dalam negeri. Tanggal 21 Oktober 2011 menjadi saksi tersungkurnya kekuatan otoriter Khadafy di daerah kelahirannya. Namun demikian, sesungguhnya kekuasaannya tidak akan jatuh seandainya tidak ada campur tangan tentara sekutu, yang bahu membahu dengan kekuatan rakyat di dalam negeri.
Memang harus diakui bahwa para penguasa negeri kaya minyak ini adalah penguasa tiran. Otoriterisme menjadi bagian tidak terpisahkan dari tindakan penguasanya. Hosni Mubarak juga merupakan representasi dari presiden dengan kekuasaan otoriter. Demikian pula Republik Libya juga dipimpin oleh diktator yang berkuasa selama 42 tahun. Sebelumnya Irak dengan Saddam Husein juga negara yang dikenal sebagai negara otoriter. Negara-negara dengan sistem pemeritahan otoriter ini ketepatan adalah negara yang kaya minyak dan sangat potensial untuk menjadi negara kuat.
Khadafy sangat tidak disukai Barat sebab dianggap sebagai pemimpin yang memiliki nyali untuk melawannya. Begitu bengalnya, maka George W. Bush menganggapnya sebagai Anjing Gila. Sebuah julukan kebencian yang luar biasa. Kasus Lockerby adalah contoh betapa bengalnya Khadafy dalam percaturan dan relasinya dengan dunia Barat. Makanya, semenjak tahun 1992, Lybia diembargo oleh Barat dalam kapasitasnya sebagai negara merdeka. Akan tetapi bukan Libya jika tidak mampu bertahan di tengah embargo ekonomi tersebut.
Meskipun di tahun-tahun terakhir, Khadafy mulai bisa bersahabat dengan Barat, akan tetapi tetap saja Khadafy tidak akan menguntungkan Barat. Melalui kekuasaannya yang otoriter, maka Khadafy akan tetap membahayakan kepentingan Barat dalam skala global game. Tetap saja Khadafy dianggap sebagai musuh yang harus dienyahkan. Maka disusunlah skenario untuk menghancurkannya melalui pintu masuk demokrasi dan HAM. Kenyataannya bahwa Khadafy memang tetap bertahan dengan kepemimpinan otoriternya tersebut, dan juga menghabisi semua lawan politiknya tanpa menghiraukan HAM.
Anti demokrasi dan HAM inilah yang kemudian menjadi entry point untuk melakukan gerakan serangan kepada rezim Khadafy oleh Barat yang dibantu oleh kekuatan dalam negeri. Dan sebagaimana diketahui Khadafy pun tumbang dengan segenap keluarganya. Anak-anaknya semuanya tewas di dalam serangan yang memborbardir Libya tersebut.
Sungguh merupakan akhir yang tragis bagi penguasa yang dahulu merebut kekuasaan juga dengan cara kudeta terhadap Raja Idris itu.
Apa yang sesungguhnya bisa dipelajari dari runtuhnya kekuasaan tiranik di benua Afrika ini? Indonesia tentu saja juga mengalami reformasi melalui proses kekuatan rakyat atau people power. Hanya bedanya, di Indonesia tidak terjadi pertumpahan darah. Reformasi damai. Hal ini tentu saja disebabkan oleh adanya kesadaran bagi para pemimpin bangsa ini untuk melakukan perubahan secara damai tersebut. Era Soeharto sebagai rezim otoriter tidak melakukan perlawanan ketika terjadi gerakan people power tersebut. Makanya, gerakan people power juga hanya dilakukan melalui demonstrasi dan orasi tanpa letupan moncong senjata api.
Inilah kiranya keunikan reformasi di Indonesia yang tidak ada bandingannya di dunia ini. Jika kita mengalami reformasi damai, maka sudah sepantasnya jika kita sekarang juga melakukan pengisian reformasi tersebut dengan gerakan membangun bangsa dengan kekuatan sendiri atau kemandirian dan kerja keras. Makanya yang dibutuhkan adalah kesadaran masyarakat untuk terus membangun dan juga pimpinan negara yang mengedepankan demokrasi dan HAM.
Melalui pengedepanan dua hal ini secara benar, maka kasus Libya tentu tidak akan pernah terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini