KEBIJAKAN PUBLIK YANG KURANG PRO RAKYAT
Pagi ini saya memperoleh pencerahan yang luar biasa dari Dr. Son Diamar, tentang analisis kebijakan publik. Sebagai seorang pejabat eselon I, maka harus menguasai manajemen strategik. Oleh karena itu harus berpikir sistemik dan bukan parsial atau sektoral. Makanya harus berpikir tentang ancaman, tantangan, hambatan dan peluang. Selain itu juga harus berani untuk berpikir out of box.
Jika ada kendala hukum atau aturan, maka kendala aturan tersebut harus disikapi dengan mungkin membuat aturan baru yang bisa menjadi instrumen hukum yang dapat dipakai untuk mengembangkan mengembangkan peran birokrasi. Jadi memang sebagai pemimpin harus memiliki keberanian untuk menjadi agen yang memiliki kemampuan untuk menyiasati struktur, termasuk norma-norma hukum.
Indonesia memiliki empat titik dari 10 titik strategis di dunia, selain Jepang, Singapura, Malaysia dan sebagainya. Pada tahun 2020, Selat Malaka dan sebagainya tidak bisa lagi dilewati oleh kapal besar, maka Indonesia bisa menjadi alternatif untuk kepentingan tersebut. Indonesia menempati perempatan terbesar di dunia.
Dari sisi ekonomi, maka sebagian besar perekonomian dikuasai oleh asing. Dari sektor transportasi kelautan, maka betapa kelihatan bahwa transportasi dikuasai oleh asing. Untuk impor barang-barang dari luar negeri, maka kapalnya juga menyewa dari luar negeri. Padahal biaya sewa kapal luar negeri tersebut sangat mahal. Seharusnya untuk pengiriman barang impor tersebut harus dilakukan dengan armada sendiri
Dalam kasus kebijakan transportasi udara, maka di luar negeri ada semacam keseimbangan, misalnya ketika Jerman akan mengirim pesawat penerbangan ke Perancis, maka Perancis menawarkan bahwa satu pesasat Jerman Lufthansa masuk, maka Air France juga satu masuk. Demikian ke negara-negara lain. Padahal di Indonesia, tidak ada tawaran seperti itu, sehingga Air Asia bisa ke mana saja, demikian pula Singapore Airline. Semua menguasai ekonomi Indonesia.
Evaluasi kebijakan meliputi masukan, proses, keluaran, proses dan hasil. Proses input output inilah yang bisa dijadikan sebagai model analisis untuk melihat kebijakannya. Jadi yang harus dilihat adalah kebijakan dan bukan hanya implementasinya saja. Di Indonesia, kenapa terjadi kegagalan dalam pembangunan, yang perlu dilihat adalah kebijakannya. Di masa lalu, jika ada kegagalan bahwa yang salah adalah implementasinya. Kebijakan dicocokkan dengan implementasi dan jika gagal maka yang disalahkan adalah pelaksanaannya. Ke depan, yang harus dilihat adalah kebijakannya. Jadi kebijakan harus dicek dengan norma dasarnya.
Melalui analisis deskriptif akan bisa kita memahami kenapa bangsa ini miskin. Hal ini disebabkan oleh ekonomi yang tidak sejalan dengan UUD 1945. Ada 10 aspek yang harus dicermati, yaitu Bank Indonesia, penanaman modal, migas, minerba, sumber daya air, pesisir dan laut, hutan, tanah, keuangan negara dan perbendaharaan. Kiranya memang perlu ada yang dicermati tentang 10 aspek tersebut dari sisi perannya dan aturan normatif yang mendasarinya. Misalnya tentang UU perbankan yang tidak bisa diintervensi oleh pemerintah.
Dalam kaitannya dengan luas wilayah Indonesia, maka jasa Juanda (Perdana Menteri) luar biasa untuk menentukan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang terkenal dengan Deklarasi Juanda tahun 1982. Melalui deklarasi tersebut, maka hukum laut yang sekarang ada adalah atas prakarsa Indonesia. Dan dengan pengakuan internasional tentang Konvensi Hukum Laut tersebut tentu menguntungkan Indonesia.
Indonesia semestinya bisa lebih sejahtera, akan tetapi secara faktual masih terdapat sejumlah hambatan. Lima sistem kebijakan yang menjadi penghambat kemajuan, yaitu BI menyebabkan negara sulit memperoleh modal, keuangan negara yang riil bercorak fragmented, aset diobral untuk pemodal, birokrasi tanpa grand design atau fragmented sentralisir, politik berbalut politik uang, miskin karena dikuasai asing.
Dalam bidang ekonomi, maka kenapa pembangunan tidak diarahkan kepada yang mendasar, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan tangkap, kehutanan dan ESDM. Padahal potensi ini adalah kekuatan kita agar bisa menyumbang besar pada ekonomi global. Inilah kekuatan Indonesia. Jadi bukan ekonomi kreatif yang sumbangannya hanya kecil-kecil dan tidak signifikan bagi pengembangan ekonomi makro.
Diperlukan public private personal entrepreneurship atau perusahaan bersama. Dalam kasus ternyata banyak pengusaha yang tidak memberikan sumbangan PAD bagi pemerintah, sebab memang kesalahannya terdapat pada kebijakannya. Misalnya ada pengusaha yang datang ke pemerintah, untuk mengembangkan real estate, maka sesegera saja pemerintah mengeluarkan ijin Hak Guna Bangunan dan kemudian dengan HGB tersebut maka dapatlah diajukan untuk pinjaman kredit ke Bank. Maka sesungguhnya para pengusaha hanya bermodal surat sakti dari pemerintah.
Padahal seharusnya dibuatlah kebijakan yang menyertakan pemerintah dan masyarakat untuk memiliki saham dengan proporsi yang memang bisa masuk akal. Ada hak rakyat, ada hak pemerintah, ada hak individu yang harus dihargai oleh siapa saja. Dalam kasus Ancol, ketika Pak Ciputra menawarkan proporsi 90 persen bagj yang memiliki ide, sedangkan pemerintah hanya 10 persen. Maka Pak Ali Sadikin menyatakan bahwa karena yang punya tanah, akses modal, dan sebagainya adalah pemerintah, maka dibalik, 10 persen perusahaan dan 90 persen pemerintah. Akhirnya diputuskan 35 persen pengusaha dan 65 persen pemerintah.
Jadi, memang kepemimpinan memegang peranan penting di dalam mengelola negara, sehingga potensi yang dimiliki tidak akan hilang dan menjadi milik individu. Tetapi semuanya belum terlambat. Masih ada kesempatan untuk meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang kiranya belum relevan dengan pro rakyat.
Wallahu a’lam bi al shawab.