SISTEM PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA PEMERINTAHAN NEGARA
Pagi ini, 03/10/2011, saya memperoleh tambahan wawasan tentang kepegawaian dari Dr. Sulardi, Deputi Bidang Bina Dakatsi BKN. Visi Kepegawaian adalah mewujudkan PNS yang profesional, netral dan sejahtera. Ternyata ada kesenjangan antara visi yang baik ini dengan kenyataan empirisnya. Kesalahannya adalah karena pejabat penentunya adalah pejabat politik. Pejabat tertinggi di daerah adalah eselon II, meskipun sedari dulu sudah diarange agar yang membina bukan pejabat politik akan tetapi kenyatannya kalah di dalam pengambilan keputusan di dalam UU No 43/ 1999 tentang kepegawaian.
Kesan masyarakat terhadap birokrasi, yaitu kurang efektif, kurang efisien, kurang professional, kurang transfaran, kurang akuntabel, kurang produktif dan maraknya praktik KKN. Padahal jumlah PNS sebanyak 4,5 juta. Berdasarkan laporan Kompas, ternyata sebanyak 870 ribu guru tidak professional. Artinya terdapat sebanyak 40 persen guru yang tidak cocok menjadi guru. Hal itu salah satunya disebabkan oleh adanya missmatch antara guru dengan pendidikan dan mata ajaran yang diampu.
Jika dilacak yang lebih mendalam, maka masalahnya yang utama adalah 1) mismatch dan distribusi tidak merata, 51 persen bekerja di Jawa dan Bali, 23 persen bekerja di wilayah Sumatera dan 26 persen bekerja di wilayah timur. Kemudian produktivitasnya rendah, struktur penggajian belum didasarkan prestasi kerja dan sistem pembinaan PNS belum mantap.
Memang diperlukan Komisi Kepegawaian Negara yang sesungguhnya diharapkan agar menjadi sebuah lembaga yang independen untuk mengawasi dinamika kepegawaian, misalnya merumuskan kebijakan umum, penilaian pejabat, pengangkatan pejabat eselon I dan sebagainya yang lebih bercorak pengawasan. Namun meskipun sudah sebelas tahun, akan tetapi komisi ini tidak dibentuk. Melihat fungsinya, maka Komisi ini penting untuk mengimbangi peran pejabat politik yang sememtara ini menjadi penanggungjawab lembaga eksekutif.
Problem yang paling rumit adalah dengan diangkatnya tenaga honorer yang di dalam banyak hal memang bukanlah tenaga PNS yang diharapkan bisa profesional. Seharusnya rekruitmen harus berbasis pada kompetensi, netral, obyektif, akuntabel bebas KKN dan transparan. Maka sudah dikembangkan Computer Adaptive Test (CAT), sehingga semuanya netral dan tanpa intervensi siapapun. Melalui assessment center (AC) akan dapat mengatasi missmatch, perencanaan karir, diagnosis kebutuhan pelatihan individual, pengembangan potensi dan promosi/rotasi jabatan strategis. Sehingga akan dihasilkan penempatan pejabat dan PNS yang relevan.
Berdasarkan promosi yang dilakukan melalui Assesment Center (AC), maka yang terjadi adalah adanya missmacth, kurang professional, tidak kompeten dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa memang masih ada kesenjangan antara realitas dan idealitas di dalam proses pengangkatan pejabat di berbagai instansi. Melalui AC ini maka akan diketahui relevansi jabatan dengan pekerjaan dan penempatannya.
Pejabat politik itu membuat birokrasi tidak netral, tidak professional, tidak akuntabel dan tidak transparan. Semestinya, harus ada pejabat karir untuk mencegah intervensi politik, mewakili menteri, Gubernur, Bupati, Walikota untuk urusan birokrasi. Selama reformasi, maka yang terjadi adalah adanya intervensi dari pejabat politik mengenai jabatan-jabatan ini. Pernah ada guru agama menjadi kepala PU, dan ada juga bukan dokter menjadi pejabat kepala dinas kesehatan. Hal ini disebabkan oleh adanya dukungan yang bersangkutan kepada pejabat politik yang berkuasa.
Kelemahan di dalam rekruitmen adalah karena tidak adanya analisis kebutuhan yang sesungguhnya dibutuhkan. Ada ketidakjelasan apa dan siapa yang harus direkrut dalam suatu momen tertentu. Oleh karena itu, proses rekruitmen harus kejelasan dan tanpa intervensi oleh siapapun. Harus ada ketegasan tentang siapa akan menempati apa.
Jika bisa seperti ini, maka diharapkan ke depan akan dihasilkan aparat pemerintah yang professional sebagaimana visi yang sudah dicanangkan. Dan di sinilah salah satu makna reformasi birokrasi yang telah diancangkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.