• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENUJU PEMERINTAHAN YANG BAIK

Pagi kemarin, 30/09/2011,  kami mendapatkan satu materi yang sangat menarik terkait dengan bagaimana menuju sistem ketatalaksanaan pemerintahan yang baik oleh Prof. Dr. Yeremias Torontuan Keban, dosen UGM yang memiliki keahlian di bidang administrasi negara.  Secara umum, bahwa tatalaksana adalah serangkaian proses yang diberlakukan dalam organisasi agar mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Makna idealnya adalah good governance yang berarti   tatalaksana atau tatakelola yang baik.

Tata kelola yang baik ditandai dengan tatakelola yang partisipatif berdasarkan hukum, transparan, responsive dan responsible dan sebagainya. Good governance adalah tatakelola yang didasarkan pada nilai-nilai luhur bangsa dan UUD 1945. Di dalam good governance maka terdapat social responsiblity.

Di dalam paradigma lama (Old Public Administration, OPA),  prinsip birokrasi adalah perubahan dari birokrasi ideal sebagaimana yang dicanangkan oleh Weber dimana ada pembagian kerja, hirarkhi, aturan, loyalitas, hubungan impersonal, training kompetisi, urusan kedinasan, dan administrasi dipisahkan dari politik. Secara realistis bahwa birokrasi tidak ideal karena menegasikan dinamika lingkungan, dan cultural bound, melahirkan overregulasi. Secara akademis, administrasi negara sebagai science berkembang di Amerika. Dahulu, terdapat paradigm Old Public Adminstration, dan berkembang dari 1900 sampai tahun 1992.   

Menurut paradigm NPM (New Public Management), yaitu perkembangan baru public administration dalam periode waktu 1990-2003. Pada periode ini dikembangkan prinsip bisnis dalam pemerintahan (Hood, 1991), lalu Gaebler dan Osborne, 1992, bahwa perlu disuntikkan semangat kewirausahaan dalam pemerintahan. Di dalam hal ini maka pasar, teknologi dan user memegang peran penting. Selain itu juga harus fleksibel yang berorientasi pasar dan hasil. Kemudian hubungan, swasta dan masyarakat ditata lebih baik di mana pemerintah berfungsi sebagai fasilitator.

Di dalam kasus tanah yang akan digunakan untuk menjadikan NTT sebagai provinsi garam, maka pemerintah seharusnya menjadi fasilitator untuk menghadirkan tanah seluas 7000 hektar. Akan tetapi ternyata bahwa status tanah tersebut bermasalah. Tanah yang berupa hak guna pakai tersebut sudah dikuasai oleh swasta. Akan tetapi kenyataannya tanah tersebut belum tersertifikasi untuk pengembangan tujuan di atas.

Menurut paradigma New Public Services (NPS), berkembang dari tahun 2003 sampai sekarang. Menurut Denhardt and Denhardt, 2003, mengingatkan agar kita tidak melupakan citizens yang harus dilayani melalui layanan yang lebih baik. Di dalam pemikirannya, maka orientasi bisnis bagi birokrasi perlu ditinjau kembali, sebab harus mengutamakan suara dan aspirasi rakyat, melibatkan masyarakat untuk mandiri, kualitas pelayanan public merepresentasikan trust pada pemerintah. Dan akhirnya akan memunculkan pelayanan prima.

Perkembangan tatalaksana di Indonesia, yaitu tidak secara relevan mengikuti perkembangan paradigm tatakelola di Indonesia. Selain itu juga dipengaruhi oleh latar belakang social di Indonesia. Ada kajian yang menyatakan bahwa NPM kurang relevan dengan negara-negara berkembang. Bahkan juga lebih didikte oleh partai politik dan gerakan sosial politik lainnya, seperti LSM. Jadi ada tekanan eksternal dari luar birokrasi yang mengekang dan menghambat perkembangan tatakelola pemerintahan. Sebagai negara kepulauan, maka tantangan internal yang menghambat adalah aspek  kewilayahan dan geografis. Sedangkan tantangan eksternal adalah negara-negara donor dan kerjasama regional dan internasional. Tekanan eksternal ini sangat kuat sebab terkait dengan hutang luar negeri yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan.

Di dalam tatakelola birokrasi ternyata memiliki dampak yang luar biasa. Misalnya dalam penganggaran, maka dapat dipastikan akan terjadi intervensi yang sangat kuat. Di negeri ini, maka intervensi politik di dalam birokrasi bukanlah cerita bohong, akan tetapi telah menjadi kenyataan riil. Banyak anggaran yang dijadikan sebagai instrumen untuk kepentingan politik, meskipun hal tersebut bisa dibungkus dengan program yang memenuhi persyaratan program.

Tatalaksana di era orde baru berorientasi pada integrasi bangsa, stabilitas, petumbuhan dan pemerataan. Tatalaksana yang digunakan adalah sentralisasi, birokrasi yang kuat di pusat, loyalitas birokrat sangat tinggi, kepemimpinan yang otoriter, kepentingan daerah kurang terakomodasi, penyeragaman dan kontrol roda pemerintahan kecil. Tentu ada aspek positif yang dihasilkan oleh pemerintahan di era Soeharto, yaitu perasaan nasionalisme yang kuat. Ada semacam National pride yang dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sampai di daerah-daerah ada kebanggaan tentang Indonesia. Tetapi aspek negatifnya adalah kemudian otoriterisme itu menghasilkan KKN yang kental.

Pada era reformasi, 1998-2004, maka oreintasi birokrasinya adalah meninggalkan warisan orde lama, suara masyarakat didengar, munculnya partai politik, dan juga desentralisasi. Sedangkan tatakelolanya adalah sentralisasi mulai longgar, birokrasi pusat mulai lemah, SDM birokrat kurang loyal, orientasi program, elaksanaan dan monitoring lemah, sedangkan orientasi politik sangat kencang dan merasuki birokrasi dan roda pemerintahan tidak fokus karena pengaruh kepemimpinan nasional yang goyah.

Pada era reformasi, 2004-2009, maka orientasi pemerintahan adalah pemberdayaan pemerintahan daerah, daerah mendapatkan hasil yang lebih baik, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, demokratisasi, pemekaran daerah dan penguatan aparat lokal. Melalui orientasi baru ini, maka daerah kemudian memiliki kesempatan untuk mengangkat isu daerah untuk dikembangkan. Misalnya kelangkaan SDM yang andal, maka dilakukan usaha untuk memprioritaskan pendidikan dan sebagainya. Sedangkan dari sisi tetakelolanya, maka yang menonjol adalah desentraliasi menjadi pusat perhatian, birokrasi mengarah ke daerah, perencanaan, implementasi dan evaluasi tetap lemah dan bahkan juga menghasilkan pemerintahan daerah yang KKN, dan terpuruk. 

 Melihat kenyataan di atas, maka seharusnya semua unit di dalam birokrasi harus direform. Akan tetapi yang dikhawatirkan adalah jika kemudian terjadi manipulasi, misalnya ketika masing-masing lembaga pemerintahan membuat program cepat misalnya program 100 hari untuk menunjukkan bahwa kita bisa. Untuk reformasi birokrasi, maka dibutuhkan standar kinerja dan beban tugas yang jelas,  sehingga dibutuhkan adanya outcome yang berupa perubahan atau change.

Secara teoretik bahwa Durkheim menyatakan bahwa perubahan dimulai dari dalam diri sendiri melalui nilai-nilai dan motif-motif, kemudian ditentang oleh Weber bahwa harus ada institusi pemaksa, yaitu birokrasi. Sebaliknya Marx menyatakan bahwa perubahan harus dimulai dengan pertentangan kelas. Sebagai bagian dari birokrasi maka kita mungkin akan memilih pendapat Weber bahwa harus ada birokrasi yang kuat untuk melakukan perubahan. Reformasi birokrasi sesungguhnya adalah untuk menguatkan birokrasi sehingga akan terdapat outcome yang jelas.

Sesungguhnya change inilah yang kita harapkan. Akan tetapi sebagaimana yang kita lihat bahwa hingga sekarang ternyata perubahan tersebut belum tampak jelas. 

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini