KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Ketika kita mendengar lagi bom bunuh diri yang dilakukan di Gereja Bethel Injil Sepenuh di Solo, sesungguhnya hati kita bertanya: ada apa dengan keberagamaan kita. Apakan agama mengajarkan kebencian sedemikian rupa terhadap sesama umat manusia.
Pertanyaan ini tentu layak dikemukakan di tengah semakin menguatnya semangat keberagamaan dengan mainstream fundamantalisme di era akhir-akhir ini. Kaum fundamantalis memang juga berfaksi-faksi. Ada yang keras dengan semangat jihad ofensifnya dan ada juga yang tidak mengusung tema jihad kekerasan. Meskipun mereka memiliki kesamaan dalam tujuan mendirikan negara Islam, akan tetapi strategi dan aksi yang digunakan berbeda.
Perbedaan dalam tafsir beragama tentu tidak dilarang oleh ajaran agama. Teks ajaran agama meniscayakan adanya perbedaan tersebut. Hanya problemnya adalah ketika perbedaan itu dijadikan sebagai sarana untuk saling membenci. Bahkan di dalam memeluk agama, Tuhan meniscayakan varian-varian itu. La ikraha fiddin, tidak ada paksaan dalam beragama.
Implikasi ayat ini tentu saja adalah menyeruaknya keyakinan dan ritual agama yang berbeda-beda. Islam dengan seluruh sistem ajarannya, Katolik dengan seperangkat ajarannya, demikian pula Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.
Islam memberikan jaminan hidup yang rukun dan damai. Di dalam sebuah teks diceritakan bahwa selain kita harus menjaga tali hubungan dengan Allah juga harus membangun tali hubungan dengan sesama umat manusia. Hablum minan nas dan bukan sekedar hablum minal muslim atau hablum minal mukmin.
Konteks ayat ini berarti bahwa manusia harus memiliki dan membangun mindset untuk terus melakukan perdamaian dan ketentraman. Dan kemudian mengaplikasikannya di dalam hubungan antar sesama. Jadi, agama Islam sesungguhnya sangat menjunjung tinggi kerukunan umat beragama. Jika ada yang tidak seperti itu, maka sebenarnya telah terjadi deviasi perilaku yang mengarah kepada kebencian dan berujung pada kekerasan.
Sekali lagi bahwa Islam adalah agama perdamaian dan bukan agama kekerasan. Islam sangat mendorong kerukunan dan bukan menghasung pada konflik agama. Melalui visi yang sama bahwa Islam adalah agama perdamain sebagaimana namanya “al Islam”‘, maka jika ada penafsiran yang berbeda dengan makna aslinya, maka jelas-jelas hal ini adalah penyelewengan makna Islam.
Islam hanya akan jaya jika dimaknai dengan kedamaian dan bukan kebencian serta kekerasan. Sebagaimana hukum siklus kekerasan, maka setiap kekerasan akan menghasilkan kekerasan baru. Agar tidak terjadi siklus kekerasan, maka harus ditanamkan ajaran agama yang menyelamatkan kita semua.
Terhadap kenyataan ini, maka sudah selayaknya jika para tokoh agama kembali merajut kebersamaan untuk mengeliminir terhadap tindakan beragama yang keras ini. Kekerasan beragama ini tidak hanya bisa ditangani oleh negara akan tetapi juga memerlukan uluran tangan masyarakat. Jadi para ulama melalui pendekatan kultural juga harus terlibat mendorong kerukunan umat beragama itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.