PROBLEM PANCASILA DAN KARAKTER BANGSA
Pagi ini saya memperoleh ceramah yang sangat penting dari Prof. Dr. Daoed Yoesoef, tentang Filsafat Pancasila dalam kaitannya dengan Pembangunan Karakter Bangsa. Tetapi yang penting dipahami apakah yang dibangun adalah karakter bangsa atau karakter warga negaranya.
Secara historis, harus disadari bahwa Indonesia ini adalah suatu kreasi yang harus disempurnakan secara terus menerus. Penciptaan ini berbeda dengan ciptaan Tuhan yang berangkat dari ex nihilo, akan tetapi kreasi manusia itu berangkat dari yang sudah ada. Ada konsep toponimi atau ilmu yang mengkaji tentang asal usul nama, yang berisi tentang apa asal usul nama Indonesia. Seorang Antropolog (Earl) memberi nama penduduk di suatu wilayah selatan India, yang disebut Indonessos dan kemudian diterima oleh antropolog lain. Nama itu kemudian diganti oleh Adolf Bastian menjadi Indonezian. Dan kemudian M. Hatta, ketika memimpin organisasi di negeri Belanda dan menamakan organisasinya adalah Perhimpunan Indonesia.
Perlu waktu untuk menerima Indonesia sebagai nama suatu negara. Nama Indonesia harus dibanggakan sebab dia adalah nama yang diciptakan oleh para ilmuwan yang berbeda dengan Filipina yang berasal dari nama raja yang menjajahnya, meskipun mereka bangga sebagai bangsa. Aku adalah Philipino.
Ernest Renan di Sorbone menyatakan “what is a nation” yang disimpulkan bahwa ada kesamaan dan kemauan untuk hidup bersama, kemudian juga Sumpah Pemoeda, yang ingin menyatakan bahwa untuk menjadi bangsa maka harus ada sumpah yang diucapkannya, yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia menyatakan untuk menjadi bangsa Indonesia, maka bangsa ini sudah maju, misalnya orang Jawa sudah memiliki sastra yang tinggi, misalnya sudah ada Serat Centini, yang oleh Raffles dinyatakan sebagai Javanese Ensiclopaedia. Kasus lagu Malaysia adalah lagu yang dinyanyikan oleh Orang Pantai Medan dengan judul Terang Bulan. Anehnya lagu itu sekarang dilarang dinyanyikan di Indonesia sebab dianggap menghina bangsa Malaysia. Berbeda dengan Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman, yang khas Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka, maka kita membentuk bangsa baru, sebagaimana orang Amerika yang juga sama akan membentuk bangsa baru. Hanya saja bedanya adalah orang Amerika terdiri dari orang-orang yang memutuskan untuk keluar dari negaranya. Makanya, mereka mudah untuk menerima bangsa baru tersebut. Sedangkan bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang memang sudah ada di situ, sehingga untuk menjadi satu memang lebih sulit. Dalam kasus orang Dayak, maka dulu mereka bahagia dengan hutannya, akan tetapi sekarang mereka dikejar-kejar, akan tetapi anehnya orang luar dilindungi untuk menebang hutan. Makanya untuk apa menjadi satu jika ternyata justru tidak bahagia. Soekarno menyatakan bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas, sedangkan Hatta menyatakan bahwa kita akan membangun dunia di mana semua orang merasa bahagia.
Untuk menjadi bangsa yang kuat, Soekarno menciptakan Pancasila. Akan tetapi Pancasila belum merupakan filsafat bangsa. Pancasila baru bagian-bagian yang dikumpulkan menjadi satu, yang disebut Pancasila. Sebagai bagian-bagian yang terkumpul, maka tentu ada keanehan, misalnya Ketuhanan Yang Maha Esa yang kemudian diredusir menjadi Keagamaan yang Maha Esa. Ketuhanan direduksi di dalam ritual-ritual. Itu artinya mereduksi nilai-nilai final menjadi nilai-nilai instrumental. Ketuhanan itu lalu diartikan oleh kaum mayoritas dan seringkali mendiskriminasi yang minoritas.
Pada era reformasi ini, maka terjadi berbagai ketidakberesan di banyak level. Misalnya, pimpinan daerah dapat mengangkat kepala diknas dari penjaga kuburan atau ada juga kepala dinas pemadaman kebakaran yang diangkat menjadi kepala dinas pendidikan. Jadi memang ada kesalahan di dalam mengelola negara ini, di mana terjadi plutokrasi, yaitu hanya orang kaya yang bisa menjadi pemimpin dalam level apapun. Mestinya segala sesuatu dikelola oleh yang profesional.
Di Perancis, profesionalitas dan keahlian memang dihargai. Akan tetapi tiak semua keahlian tersebut bisa dianugerahi gelar doktor honoris causa. Di Sorbonne selama 100 tahun hanya ada satu kali pemberian gelar doktor, yaitu kepada Albert Einstein karena dia menghasilkan rumus-rumus yang sangat brillian. Hal ini sangat berbeda dengan universitas di Indonesia yang begitu mudah memberikan gelar doktor. Kasus di UI adalah tamparan terhadap dunia akademis kita. Mc Carter menghormati Kaisar Hirohito yang menyatakan pasca dibom oleh sekutu, dia menyatakan “masih ada berapakah guru yang hidup.”
Kemudian faktor kerawanan lainnya adalah pola pikir yang belum matang, seperti mitologi, politik dan ide federalisme. Negara kita tidak cocok dengan ide federalisme yang disebabkan suatu kenyataan untuk menyatukan bangsa saja belum bisa. Masyarakat Eropa sudah bisa menyelesaikan kesatuan bangsanya, sehingga bisa menggunakan sistem federal sebagai pilihan bangsanya.
Apakah bangsa itu perlu karakter? Memang bahwa bangsa itu harus berwibawa. Namun demikian, hingga hari ini kita belum berhasil membangun karakter bangsa. Soekarno inginnya membangun karakter bangsa itu berdasar atas Pancasila. Untuk itu maka yang dibangun adalah karakter pemimpin bangsanya. Kemudian yang dijadikan patokan adalah para negarawan, yaitu seorang politisi yang megabdikan dirinya untuk kepentingan bangsanya. Politikus adalah orang yang menjadikan negara sebagai means untuk kepentingan primordialnya. Kemudian juga orang yang mendesain negara akan dibawa kemana? Ibaratnya negara adalah sebuah kapal, yang ternyata bisa bernjalan karena didesian seperti itu. Bukan karena pekerjanya, misalnya juru mudi, juru kapal dan sebagainya. Kemudian Juga negara harus dipimpin oleh seorang spesialis yang memiliki pengetahuan dan memiliki ketercakupan dengan lainnya. Negara juga harus dipimpin oleh orang yang berani mengambil keputusan dan bukan hanya perumus kebijakan.
Mereka adalah orang yang bisa dijadikan panutan. Yang bisa ditiru adalah Nabi Musa yang ketika dijanjikan sebuah negara, maka ketika sampai di tempat tujuan, maka yang diminta masuk adalah muridnya dan bukan dirinya sendiri. Pemimpin juga harus selalu belajar dan juga diupayakan agar dapat membangun tim yang kuat, sehingga keberhasilan adalah keberhasilan yang dicapai melalui kerjasama yang kuat.
Di dalam hal ini maka yang sesungguhnya diperlukan adalah adanya keinginan untuk menjadikan negara sebagai means untuk memperoleh kesejahteraan. Maka seorang pemimpin juga akan berhasil manakala ketika di dalam memimpin tersebut loyalitasnya diberikan secara memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.