REFORMASI BIROKRASI DI ERA TRANSISI
Satu aspek yang sangat penting di era reformasi adalah mengenai reformasi birokrasi. Hal ini disampaikan oleh Dr. Asmawi Rewansyah, MSc, kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN). Sebagai bagian dari pejabat negara, maka yang penting adalah pemimpin yang memahami mengenai bagaimana memimpin lembaga negara. Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk mencapai good governance dan clean government.
Sistem administrasi negara menurut UUD 1945 yang diamandemen memiliki cakupan yaitu administrasi yang terkait dengan organisasi atau birokrasi, management atau administer dan tata hubungan atau komunikasi. Sedangkan negara memiliki cakupan yaitu wilayah negara, warga negara dan pemerintahan negara. Dari relasi keduanya, maka yang menjadi titik temunya adalah kebijakan publik.
Di dalam sejarahnya, maka administrasi yang lebih dulu dikembangkan, akan tetapi kemudian yang lebih berkembang di era berikutnya adalah manajemen. Aministrations bermakna suatu kewenangan dalam waktu tertentu. Sehingga yang sering diungkapkan adalah US administrasions berarti pemerintahan Amerika dalam waktu tertentu. Sedangkan konsep management lebih bermakna sebagai sesuatu yang lebih langgeng.
Administrasi berasal dari bahasa latin, artinya bahwa di dalam administrasi ada pelayanan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki kewenangan untuk itu. Problemnya ketika pelayanan itu masuk di dalam birokrasi, maka konsep itu menjadi pejabat yang berwenang. Akhirnya bahwa birokrasi yang sesungguhnya terkait dengan pelayanan kepada publik justru menjadi pelayanan kepada pejabat.
Organisasi dalam pengertian ideal adalah birokrasi. Di dalam organisasi birokrasi, kemudian terdapat manajemen, yang memanggul fungsi penting yang tidak sekedar programming, organizing, actuating dan controlling (POAC), akan tetapi juga perlu mentoring, counseling, communicating, networking dan sebagainya. Jadi fungsi manajemen bukan hanya perencanaan, pengorganisasian, actuating dan evaluating. Di tengah perubahan yang terus terjadi, maka perubahan fungsi harus dimaksimalkan.
Untuk membangun manajemen yang baik, maka yang perlu diperhatikan adalah siapa yang sesungguhnya menjadi sasaran dari implementasi manajemen itu. Harus ada kejelasan siapa yang menjadi sasaran atau partnernya.
Public administrations adalah public polecy making. Seorang leader harus membuat kebijakan dan keputusan. Di dalam kebijakan publik maka yang penting adalah perumusan, penerapan dan evaluasi. Wujud kebijakan publik adalah regeling atau pengaturan dan beschiking atau pengaturan yang dilakukan oleh aparat yang lebih bawah. Makanya, kewenangan untuk merumuskan pengaturan tersebut ada dua, yaitu kewenangan atributive dan distributive. Yang atributif adalah kewenangan yang melekat pada seorang pemimpin. Kekuasaan ini melekat kepada seseorang yang memperoleh kewenangan tersebut. Sedangkan kewenangan distributif adalah kewenangan yang berada kepada orang yang diberi kewenangan. Jadi jika saya memberikan kewenangan distributif, maka kewenangan dan tanggungjawab berada di dalam diri yang diberi wewenang.
Di dalam kenyataannya, bahwa kesalahan dministrasi banyak dilakukan, misalnya soal disposisi yang dibuat oleh atasan kepada bawahan. Misalnya ketika atasan memberi perintah kepada bawahan, maka harus jelas apa wewenangnya dengan disposisi tersebut. Seseorang yang memperoleh disposisi dari atasan, maka harus jelas bahwa disposisi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang telah ada sebelumnya. Jika perintah tersebut dilaksanakan, maka tanggung jawab tentu ada di tangan orang yang memperoleh kewenangan distributif tersebut.
Yang menjadi tantangan administrasi negara adalah nilai dasar yang belum mampu diaplikasikan secara maksimal, kemudian demokrasi belum memperoleh bentuk yang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Lalu kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat yang belum tercapai. Dari sisi kelembagaan, maka tantangannya adalah tatanan kelembagaan yang belum efektif dan efisien, lalu hubungan kerjasama yang belum terpola secara efektif dan efisien, kemudian belum jelasnya grand design bangsa ke depan.
Sedangkan dari sisi tata kelola pemerintahan, maka tantangannya adalah masih belum relevannya antara fungsi pemerintahan dengan implementasi pemerintahan. Selain itu, kebijakan publik juga belum pro growth, pro poor dan pro job. Dan juga masih terdapat kesenjangan antar wilayah, antar daerah dan sebagainya. Lalu yang juga masih belum mungkin untuk dilakukan adalah mengurangi kemiskinan sebesar-besarnya untuk mengejar MDGs 2015, dan sebagainya. Dari sisi SDM, maka tantangannya adalah masih rendahnya integritas, kompetensi, dan pentingnya reward dan punishment bagi mereka yang beprestasi dan tidak beprestasi.
Reformasi birokrasi memang menjadi tujuan reformasi, akan tetapi sebagaimana dipahami bahwa hingga sekarang ternyata reformasi tersebut belum sebagaimana yang diharapkan. Masih banyak masalah yang dihadapi bangsa ini. Antara lain adalah masih semaraknya KKN dan sebagainya. Mentalitas kita juga masih belum menjadi pendorong bagi munculnya reformasi birokrasi. Mentalitas yang menjadi pendorong etos kerja ke arah tumbuhnya reformasi birokrasi belum terpola sedemikian rupa. Dengan demikian, yang dibutuhkan ke depan adalah membangun kultur yang relevan untuk terciptanya clean government dan good governance itu.
Makanya, ke depan yang dibutuhkan adalah membangun administrasi berbasis Pancasila di mana di dalamnya terdapat dimensi ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, mufakat dan musyawarah serta membangun kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, harus ada keberanian untuk merumuskan administrasi negara sebagai basis reformasi birokrasi yang memiliki basis kultural Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.