PUASA DAN KEPEKAAN TERHADAP KAUM DHUAFA
Rukun puasa sebagaimana kita ketahui adalah menahan lapar, haus dan hubungan seks. Ini merupakan perintah fisikal yang harus dipenuhi selama menjalankan puasa. Jika tidak mampu menahan tiga hal yang bersifat fisikal ini maka puasanya akan batal. Meskipun sesungguhnya Nabi memberikan arahan bahwa orang yang puasanya hanya dengan menahan tiga hal itu dan tidak melakukan yang esensial seperti menahan hawa nafsu yang lebih luas, maka seseorang hanya akan memperoleh lapar dan dahaga saja. Ini sesungguhnya menyiratkan bahwa ada yang mesti juga tetap diperhatikan yaitu bagaimana seseorang yang sedang puasa dapat mencegah berbagai keinginan untuk berbuat jelek, meskipun sekedar niat saja.
Ditinjau dari dimensi sosio-psikhologis, bahwa puasa memiliki aspek mendasar yaitu memberikan pengalaman kepada para pelakunya tentang pengalaman lapar, haus dan menahan nafsu seks. Lapar, haus dan menahan nafsu seks tentu tidak hanya bisa diceritakan atau diwacanakan akan tetapi harus menjadi pengalaman empirik. Melalui pengalaman langsung, maka seseorang akan memiliki referensi pengalaman yang terkait dengan rasa lapar, haus dan menahan seksualitas.
Dua hal, lapar dan haus adalah problema masyarakat miskin di mana saja. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Berdasarkan statistik kira-kira masih ada sebanyak 40 juta orang Indonesia yang miskin. Meskipun tidak sampai miskin sekali yaitu makan sehari sekali, namun yang jelas kemiskinan masih menjadi problem di negeri ini. Merasa menjadi miskin itulah yang sesungguhnya diajarkan oleh puasa kepada semua umat Islam di seluruh dunia.
Orang kaya memang perlu pengalaman untuk merasakan bagaimana rasanya lapar dan haus di tengah udara yang sangat panas. Jika selama ini mau makan apa saja dengan harga berapa saja tidak menjadi problem, akan tetapi ketika menjalani puasa maka uang berapapun besarnya, makanan betapa pun enaknya harus disingkirkan dari pikiran, sebab semuanya yang berpuasa harus menahan keinginan tersebut. Ajaran puasa memiliki kemampuan untuk menjadi penahan berbagai macam godaan makanan, minuman dan juga syahwat yang biasanya tidak mampu ditahan.
Melalui konsepsi puasa, maka seseorang diajari bagaimana menjadi miskin yang kurang makan dan minum. Diajari manusia untuk berempati kepada mereka yang kurang beruntung dari sisi materi. Diajari agar dengan puasa mereka menjadi orang yang memiliki empati terhadap kemiskinan dan keterbelakangan. Sehingga kemiskinan dan keterbelakangan tidak hanya didiskusikan akan tetapi diatasi dengan tindakan dan kegiatan.
Islam mengajarkan konsep tolong menolong, persaudaraan dan kemaslahatan. Konsep tolong menolong tidak akan ada maknanya jika seseorang tidak secara langsung memiliki pengalaman lapar dan haus, sehingga menimbulkan empati bagi pelakunya. Sistem yang dibangun oleh Islam adalah tolong menolong, kemudian empati terhadap kemiskinan dan tindakan charitas Islam yang berupa infaq, zakat dan shadaqah. Tiga instrumen ini adalah modalitas ekonomi yang akan mengantarkan umat Islam kepada empowering bagi yang belum beruntung secara ekonomis.
Sayangnya bahwa zakat, infaq dan sadaqah ini masih belum bisa dimaksimalkan dalam pengembangan masyarakat. Hingga hari ini masih banyak yang memaknai zakat sebagai persoalan individual bukan persoalan organisasional. Sehingga masih banyak masyarakat kita yang membagi zakatnya sendiri-sendiri dengan jumlah milyaran rupiah. Padahal seandainya pengelolaannya dilakukan secara organisasional, mungkin pemanfaatannya jauh akan lebih efektif. Bahkan beberapa tahun terakhir terjadi tragedi pembagian zakat, seperti di Pasuruan, Semarang dan sebagainya.
Oleh karena itu, rasanya akumulasi pengalaman lapar dan haus tersebut lalu perlu diorganisasikan dalam tindakan kharitasnya sehingga manfaat yang jauh lebih besar akan dapat dirasakan oleh mereka yang membutuhkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.