POLITISASI KAMPUS DAN KEPEMIMPINAN
Isu yang menarik untuk dicermati meskipun agak terlambat adalah tentang penganugerahan Doctor Honoris Causa (Dr. HC.) kepada Raja Saudi Arabia oleh Universitas Indonesia. Isu ini menjadi menarik terkait dengan berbagai problem yang membelit hubungan antara Indonesia dengan Arab Saudi yang dikaitkan dengan perlakuan para majikan Arab Saudi kepada para TKW. Persoalan TKW inilah yang kemudian menjadi entry point bagi adanya masalah yang terkait dengan pemberian gelar doctor kepada Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz, dimaksud.
Pemberian gelar Doctor HC tentu bukan sesuatu yang asing di kalangan perguruan tinggi. Artinya bahwa selama ini sudah sangat banyak orang yang memiliki jasa tertentu kemudian diakui jasanya itu oleh masyarakat dan juga dunia akademik, sehingga yang bersangkutan dapat memperoleh Doctor HC tersebut. Di era Orde Baru, banyak menteri yang memperoleh gelar ini, misalnya Ginanjar Kartasasmita, Munawir Syadzali, dan sebagainya. Mereka dianggap sebagai orang yang memiliki kompetensi dan mengabdikan potensinya tersebut untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Selain itu juga banyak tokoh yang memperoleh pengakuan akademik ini, misalnya KH. Sahal Mahfudz, KH. Syukri Zarkasyi, KH. Thohah Hasan, KH. Hasyim Muzadi dan sebagainya. Kemudian di kalangan kaum pebisnis dan pemerintahan, misalnya Hermawan Kertajaya, HM. Yusuf Kalla, HM. Maftuh Basyuni dan sebagainya. Mereka ini diakui sebagai orang yang memiliki keahlian yang diakui oleh perguruan tinggi.
Jadi, sesungguhnya pemberian gelar doctor kepada orang yang dianggap cocok bukanlah merupakan suatu masalah. Hanya saja memang tidak sedikit bahwa pemberian gelar doctor tersebut memiliki nuansa kepentingan. Yaitu adanya keinginan di kalangan perguruan tinggi untuk bisa mengakses sesuatu dari orang yang dikukuhkan sebagai doctor tersebut.
Di antara yang kemudian dinilai mengandung kepentingan di dalam pemberian gelar doctor tersebut adalah yang dilakukan oleh Rektor Universitas Indonesia (UI), Gumilar Roesliwa Soemantri, yang oleh beberapa kalangan internal UI dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah. Semula bola yang menggelinding adalah adanya masalah yang membelit pemerintah Arab Saudi terkait dengan nasib para TKW yang selalu dirundung masalah.
Akan tetapi yang kemudian menjadi mengedepan adalah ketika ternyata bahwa terdapat masalah internal antara Rektor dengan para guru besar terutama yang menjadi anggota Majelis Wali Amanah (MWA). Makanya, Mendiknas, Muhammad Nuh, lantas menilai bahwa memang sedang ada masalah politis dibalik semua hal yang terkait dengan UI. Menurut Mendiknas, bahwa persoalan itu dipicu oleh akan segara ada pemilihan rector baru di UI sehingga memang harus ada entry point untuk menggalang gerakan anti incumbent.
Persoalan politis tersebut menjadi semakin jelas ketika beberapa guru besar menyatakan bahwa penganugerahan gelar Doktor tersebut memang tidak procedural dan tidak peka terhadap isu krusial bangsa. Hubungan yang kurang harmonis antara rector dengan jajaran guru besar tersebut yang kemudian memicu adanya keinginan untuk melengserkan rector dalam waktu yang lebih cepat.
Menurut JP, 10/09/2011, bahwa memang ada gerakan untuk mempercepat pemilihan rector UI. Menurut Effendi Ghazali, bahwa para guru besar yang tergabung di dalam MWA memang menginginkan agar rector sekarang segera melaksanakan pemilihan rector baru. Mereka adalah orang yang kecewa terhadap kepemimpinan rector, sehingga menginginkan agar segera dilakukan pemilihan rector meskipun jabatan rector belum selesai. Mereka ini memperoleh dukungan dari beberapa dekan dan dosen yang memang menginginkan perubahan segera terkait dengan penggantian rector.
Pemilihan rector, sebagaimana pemilihan pemimpin di tempat lain juga selalu menyembulkan masalah yang terkait dengan tindakan politik praktis. Oleh karena itu, maka pemilihan rector pun sarat dengan berbagai macam tindakan politisasi yang berupa dukungan, penolakan, rapat terbatas dan rahasia dan sebagainya.
Jadi meskipun perguruan tinggi adalah lembaga akademis, akan tetapi ketika terjadi pemilihan pimpinan, maka juga tidak ubahnya dengan lembaga-lembaga lain yang meniscayakan berbagai tindakan politik, baik yang santun maupun yang tidak. Memang tidak ada ranah yang bebas politik ketika berbicara tentang kepemimpinan.
Wallahu a’lam bi al shawab.