PERBEDAAN HARI RAYA ADALAH KEUNIKAN ISLAM INDONESIA
Saya memang bukan ahli hisab al hilal, sebab memang perangkat keilmuan saya tidak memadai untuk menjadi ahli hisab. Selama saya belajar di perguruan tinggi mulai dari Strata satu sampai strata tiga juga tidak ada yang terkait dengan ilmu rukyat al hilal apalagi hisab al hilal. Oleh karena itu, saya akan lebih suka untuk berkomentar dari sisi sosiologis saja tentang perbedaan hari raya idul fitri kali ini.
Perbedaan antara Muhamamadiyah dengan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam dan bahkan juga dengan organisasi lainnya, memang sudah semenjak dahulu ada. Jangankan di dalam persoalan hisab dan rukyat al hilal, di dalam shalat saja terdapat sebanyak 11 perbedaan antara NU dan Muhammadiyah yang dimulai dengan adzan hingga salam. Dan semua orang sudah mafhum tentang perbedaan ini.
Dahulu memang perbedaan ini menjadi sesuatu yang krusial. Pada tahun 1960-1970-an, antara NU dan Muhammadiyah sering bertarung dalam menghadapi perbedaan ini. Di dalam kegiatan pengajian, khutbah jumat dan sebagainya banyak terjadi ucapan dan tindakan saling menyalahkan dan menyatakan bahwa kelompoknya saja yang benar. Akan tetapi akhir-akhir ini sudah tidak ada lagi yang bertarung persoalan shalat memakai niat yang dilafalkan atau tidak. Juga shalat shubuh memakai qunut atau tidak.
Jika kemudian masih ada perbedaan untuk menentukan tanggal satu syawal sebagai akhir ramadlan dan pelaksanaan shalat idul fitri, maka hal ini juga tidak terlepas dari dunia penafsiran tentang kapan sesungguhnya hilal itu tampak. Memang ada perbedaan antara perwujudan dan penampakan hilal. Perbedaan ini berbasis pada pemahaman bahwa pada hitungan tertentu hilal sudah wujud dan pada hitungan tertentu hilal bisa tampak.
Kalangan Muhammadiyah menyatakan bahwa yang penting adalah hilal sudah wujud dalam ukuran berapapun derajadnya. Jadi jika berdasarkan perhitungan (hisab) memang sudah diketahui bahwa wujud hilal sudah ada, maka permulaan bulan sudah bisa dinyatakan. Dengan demikian, awal bulan Syawal sudah bisa ditentukan berdasarkan adanya wujud hilal tersebut.
Di sisi lain, NU menyatakan bahwa yang penting adalah penampakan hilal atau rukyat al hilal. Makanya, jika hilal belum bisa dilihat, maka secara otomatis awal bulan belum bisa ditentukan. Wujud hilal belum menjadi jaminan bahwa hilal bisa dilihat. Makanya untuk menentukan awal bulan hendaknya tetap berpatokan pada penampakan hilal tersebut. Sebab pada angka derajat tertentu belum memungkinkan untuk terjadinya rukyat al hilal, maka penentuannya berdasarkan mencukupkan satu bulan adalah 30 hari atau yang disebut sebagai istikmal.
Perbedaan ini mengingatkan pada perdebatan antara kaum empiric rasional dengan kaum empiric sensual. Bagi kaum empiric rasional maka kebenaran itu ditentukan oleh rasio termasuk juga perhitungan, sedangkan kaum empiric sensual menyatakan bahwa kebenaran itu bisa diketahui dari sesuatu yang observable. Oleh karena itu, kiranya juga akan sulit untuk bertemu di antara dua kelompok ini, sebab keduanya memang menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda. Muhammadiyah menggunakan kebenaran rasio dan NU menggunakan kebenaran pengamatan.
Melihat kenyataan ini, maka perbedaan di antara dua organisasi ini tentu tidak bisa dielakkan. Oleh karena itu juga akan terus terjadi perbedaan jika di dalam perhitungan hilal tidak sampai batas tertentu untuk dilihat. Jadi, selama masih terdapat penafsiran antara wujud hilal dan rukyat hilal, maka selama itu pula akan terjadi perbedaan di dalam penentuan awal bulan Syawal.
Jika sudah seperti ini, maka perbedaan tentu tidak akan pernah bisa dihilangkan. Oleh karena itu yang penting adalah memanej perbedaan itu agar tidak menjadi masalah. Artinya, boleh terjadi perbedaan tetapi jangan merusak persaudaraan. Dengan demikian, masing-masing harus memahami bahwa perbedaan itu terjadi karena penafsiran yang berbeda tentang agama. Jadi tidak layak jika kita saling menyalahkan karena perbedaan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.