MENGEDEPANKAN TRADISI AKADEMIK
Sebagaimana telah saya tulis kemarin, bahwa mengembangkan tradisi akademik memang sulit. Saya kira hal ini dirasakan oleh siapa saja yang memiliki keinginan untuk mengembangkan tradisi akademik di perguruan tinggi. Sebagaimana tugas seorang pemimpin perguruan tinggi, maka tugas mengemban pengembangan kelembagaan dan akademik sekaligus memang menjadi kewajibannya.
Sebagai pemimpin perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa yang cukup besar dan dosen yang juga cukup banyak, maka tugas untuk pengembangan kelembagaan dan akademik tentu tidak bisa dihindari. Perlu kerja ekstra untuk pengembangan semua itu. Jika pengembangan fisik berhasil, maka yang kemudian menunggu adalah pengembangan tradisi akademik.
Untuk mengembangkan dunia akademik, maka tentunya dibutuhkan seperangkat instrumen. Misalnya adalah jurnal, ICT dan perangkat pengembangan lainnya. Jurnal sesungguhnya menjadi perangkat utama untuk pengembangan akademik. Bagi seorang dosen, maka jurnal adalah bagaikan teman karibnya. Dia akan merasakan sedih jika kemudian tidak bisa menerbitkan tulisannya di jurnal yang menjadi kebanggaannya. Dan sebaliknya akan sangat surprise jika tulisananya bisa dimuat di jurnal tersebut.
Saya menjadi teringat ketika pertama kali tulisan saya dimuat di jurnal IAIN Sunan Ampel pada tahun 1980-an. Maklumlah saat itu hanya ada satu jurnal di IAIN Sunan Ampel, sehingga juga hanya orang tertentu atau dosen tertentu saja yang bisa menulis di jurnal tersebut.
Kemudian juga ketika tulisan saya dimuat di beberapa harian, seperti Harian Duta Masyarakat, Harian Bangsa, Harian Jawa Pos, Kompas dan sebagaianya. Maka ada kebanggaan yang luar biasa. Rasanya ada sesuatu yang bisa saya berikan kepada orang lain. Apalagi jika tulisan tersebut direspon secara langsung oleh pembaca, misalnya melalui sms dan telpon. Begitulah kiranya perasaan yang dirasakan oleh penulis ketika tulisannya berhasil diterbitkan di media apapun.
Dosen adalah kata kunci pengembangan akademik di perguruan tinggi. Mengapa perguruan tinggi di Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Bangladesh bisa memiliki rangking lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, maka jawabannya disebabkan oleh dosen di sana memiliki antusiasme yang sangat kuat di bidang penulisan ilmiah. Tulisan tersebut kemudian dipublish di jurnal internasional, sehingga bisa diakses oleh masyarakat akademik internasional.
Di era pasca sertifikasi dosen, maka dosen memang harus menyebarkan gagasan akademiknya ke khalayak akademik maupun umum. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi dosen untuk tidak menulis sekarang ini. Itulah sebabnya dosen harus menyebarkan gagasannya lewat berbagai media yang ada.
Tentu saja sekarang kita bersyukur, sebab jumlah media yang luar biasa banyaknya. Di IAIN Sunan Ampel ada sebanyak 12 jurnal dan direncanakan setiap prodi memiliki jurnalnya sendiri, sehingg akan terdapat sebanyak 25 jurnal, belum lagi jurnal yang akan diterbitkan secara on line, sebagaimana dahulu pernah ada jurnal interaktif Tempo, yang hanya bisa dibaca lewat internet.
Seirama dengan program sertifikasi dosen dengan segenap kewajibannya, maka memang sudah menjadi kewajiban bagi pimpinan perguruan tinggi untuk menyediakan sarana yang berupa jurnal ilmiah agar dosen bisa menyebarkan gagasannya. Makanya perlu juga untuk mengembangkan jurnal interaktif agar semua dosen bisa menulis secara tepat waktu sesuai dengan tugasnya.
Ke depan kita sungguh mendambakan banyaknya dosen yang menulis di jurnal dan tidak hanya jurnal nasional akan tetapi juga jurnal internasional. Itulah sebabnya sudah kita jaring kerjasama internasional untuk penulisan di jurnal ilmiah. Jika semua ini bisa dilakukan, maka ke depan akan didapatkan tradisi akademik yang memadai.
Wallahu a’lam bi al shawab.