PUASA, MENGAPA PERLU?
Di lima hari terakhir puasa ini, rasanya ada dorongan yang sangat kuat untuk menulis perihal puasa dalam aspek yang dirasa mendasar. Jadi sementara harus menyisihkan keinginan untuk memberi respon terhadap masalah-masalah sosial politik, pendidikan dan budaya yang biasanya selalu tersaji di berbagai media nasional maupun internasional. Baiklah saya akan menulis yang terkait dengan puasa dan pernak-perniknya, meskipun terkadang juga harus tetap menggunakan pendekatan sosiologis karena memang tidak bisa dipisahkan sama sekali.
Puasa merupakan bagian mendasar dari ajaran Islam yang oleh para pelakunya dianggap sebagai rukun Islam. Tentu saja masih ada perdebatan apakah syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji tersebut sebagai rukun Islam atau bukan, tetapi sebaiknya perdebatan itu tidak dibesar-besarkan di dalam tulisan ringkas ini. Biarlah itu menjadi perdebatan akademis dalam tulisan akademis atau diskusi dan perdebatan para ahlinya secara serius.
Tulisan ini hanya akan mengungkap argumen tentang mengapa manusia perlu puasa dari dimensi logika-logika sederhana, misalnya perubahan pola makan dan dampaknya bagi fisik manusia. Mengapa orang harus berpuasa di siang hari dan mengapa bukan di malam hari, lalu dampaknya bagi manusia seperti apa.
Setahun yang lalu saya pernah menulis konsep “dekonstruksi fisik”. Yang saya maksud adalah bahwa puasa sesungguhnya merupakan proses untuk melakukan pembalikan tradisi makan dan minum di siang hari menjadi makan dan minum di malam hari. Puasa juga mendekonstruksi tradisi relasi seksualitas di sembarang waktu menjadi hanya di malam hari saja. Semua ini tentu saja bukan hanya sekedar penjelasan dogmatis “Tuhan memang berkehendak seperti itu”. Namun tentu memiliki nalar “rasionalitas” yang bisa saja dibangun untuk meyakinkan semua bahwa ada aspek “mendasar”dari pesan puasa tersebut bagi manusia.
Dalam satu tahun, manusia diminta oleh Tuhan untuk satu bulan berpuasa. Artinya jika selama setahun maka ada satu bulan yang dijadikan sebagai medan ”dekonstruksi fisik” tersebut. Maknanya bahwa selama satu bulan manusia diminta untuk melakukan perubahan kebiasaan makan, minum dan relasi seksual, yang sesungguhnya untuk menjaga keseimbangan fisik. Satu bulan puasa itu sesungguhnya memiliki beban yang sama dengan sebelas bulan dalam proses dekonstruksi fisik. Jadi betapa Tuhan memanjakan manusia dengan kemudahan dalam rangka untuk menjaga keseimbanagn fisikal agar berada dalam kondisi yang sehat.
Umat Nabi Dawud diperintahkan untuk puasa secara bergantian. Hari ini puasa dan besuk tidak. Di dalam tradisi Islam kemudian disebut sebagai puasa Dawud. Hingga hari ini masih juga ada orang yang melakukan puasa seperti itu. Meskipun hanya puasa sunnah tetapi banyak juga orang yang melakukannya. Seandainya puasa Dawud itu menjadi puasa wajib bagi umat Islam maka rasanya akan menjadi berat, sebab dibutuhkan kekuatan ekstra untuk bisa melakukan puasa seperti itu. Untunglah bahwa Islam justru mengajarkan agar puasa itu satu bulan saja. Bukan enam bulan seperti puasanya Nabi Dawud as.
Di dalam ”dekonstruksi fisik” manusia secara tidak langsung diajari agar menjaga keseimbangan fisik melalui pengosongan perut dari aktivitas rutin selama sebulan penuh. Organ perut diberi kesempatan untuk beristirahat total selama siang hari. Dan mungkin dari aspek kesehatan juga memiliki makna yang signifikan. Sebagai orang yang bukan dokter, maka saya berkeyakinan bahwa pengosongan perut di siang hari akan berdampak terhadap kesehatan fisik. Bisa saja toxin-toxin yang tidak bermanfaat dan zat-zat lain di dalam tubuh yang tidak berguna akan dapat dinetralisir di dalam puasa. Oleh karena itu juga pantas jika kemudian orang menjadi sehat dari penyakit kolesterol atau asam urat yang selama ini menjadi penyakit banyak orang. Bukankah Imam Ghozali pernah menyatakan bahwa sumber penyakit sesungguhnya datang dari perut. Jadi puasa merupakan sarana untuk membuat keseimbangan dalam fisik kita dan kemudian akan berimplikasi terhadap kesehatan fisik baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan demikian, hakikat puasa tersebut diwajibkan bukan sekedar liya’budun atau beribadah kepada Allah tetapi juga mengandung maksud sebagai sarana untuk membangun keseimbangan fisik. Jadi ada dua matra puasa bagi manusia, yaitu satu sisi adalah pengabdian kepada Allah dan di sisi lain adalah untuk menjaga keseimbangan fisik.
Wallahu a’lam bi al shawab.