• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TASAWUF FALSAFI DALAM PERGUMULAN POLITIK

Sekali lagi saya ingin memberikan komentar terhadap Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh kolaborasi antara ICAS, ISIP dan UI dalam tema “Melacak Jejak Tasawuf Falsafi di Indonesia”, 06/08/2011.  Hanya saja kali ini saya ingin memberi komentar untuk menjawab pertanyaan:  “mengapa tasawuf falsafi kurang mendapatkan  posisi yang memadai di dalam pergulatan pemikiran dan aksi keberagamaan di dunia Islam?”.

Sejarah mencatat bahwa semenjak munculnya pemikiran keagamaan dalam bentuk tasawuf falsafi, maka  benturan pemikiran keagamaan itu lalu mencuat. Misalnya ketika muncul pemikiran tentang relasi manusia dengan Tuhan dalam coraknya yang wahdat al wujud, maka ketika itu pula muncul tudingan bahwa pemikiran keagamaan seperti ini adalah sesuatu yang salah. Bahkan dianggap kafir, karena menyekutukan Tuhan dengan manusia. Pemikiran tentang kemenyatuan Dzat Tuhan dengan manusia merupakan bentuk penyelewengan ketauhidan yang luar biasa.  Itulah sebabnya pemikiran Ibn Arabi ini juga tidak hanya dikecam sebagai sesat, akan  tetapi juga dibasmi atas nama gerakan purufikasi agama atau ortodoksi agama.

Kemudian juga muncul pemikiran keagamaan yang didasari oleh pemikiran tasawuf falsafi yang dikembangkan oleh al Hallaj dengan konsepsi hulul. Di dalam konsepsi ini digambarkan dan dirasakan bahwa Tuhan dan manusia memiliki kesamaan sifat sehingga keduanya bisa menyatu dalam coraknya yang lahut atau manusia terserap ke dalam sifat Tuhan atau nasut yang berarti bahwa Tuhan terserap ke dalam sifat kemanusiaan. Pemikiran keagamaan ini juga dinyatakan sebagai terlarang dan kemudian pencetusnya –al Hallaj—kemudian dibunuh dan pengikutnya dibasmi atas nama kekuasaan agama yang otoritatif.   Aliran pemikiran ini juga dianggap sesat karena menyamakan Tuhan dengan manusia. Konsep immanensi Tuhan tentu bertentangan secara diametrical dengan konsepsi transendensi Tuhan.

Pemikiran keagamaan yang memiliki corak ang sama dengan al-Hallaj di Indonesia adalah pemikiran keagamaan Syekh Siti Jenar atau Syekh Abdul Jalil. Keduanya memiliki kesamaan historis, sebab keduanya berhadapan secara langsung dengan kekuasaan Negara. Jika al-Hallaj berhadapan dengan kekuasaan kerajaan pada zamannya, maka Syekh Lemah Abang berhadapan dengan kekuasaan Demak. Keduanya juga memiliki kesamaan di dalam hal keberaniannya untuk menentang arus utama pemikiran keagamaan yang menjadi pegangan kerajaan.

Menurut penuturan Agus Sunyoto, bahwa pembubaran aliran keagamaan yang dikembangkan oleh Syekh Lemah Abang bukan disebabkan oleh pemikiran keagamaan yang salah, akan tetapi karena pemikiran keagamaan tersebut dianggap membahayakan kekuasaan negara. Pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh Syekh Lemah Abang secara tidak langsung mengajarkan kepada penganutnya agar mereka tidak menganggap bahwa raja adalah manusia utama pilihan Tuhan dan sekaligus dzillah fil ardl. Akan tetapi raja adalah manusia yang sama dengan para kawulanya dalam relasinya dengan Tuhan. Siapa yang dekat dengan Tuhan,  maka dialah yang bisa berhubungan intim dengan Tuhan. Jadi tidak selalu raja yang memiliki keistimewaan dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Manusia biasa atau para kawula pun bisa memiliki kesempatan yang sama untuk manunggal dengan Tuhan.

Yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar adalah tidak ada penghambaan kecuali kepada Allah. Manusia tidak boleh menghamba kepada raja atau manusia lainnya. Manusia hanya boleh menghamba kepada Allah sebagai dzat yang maha suci dan maha kuasa. Manusia memiliki kesamaan derajat dan status sosial. Jadi antara raja dan kawulanya tidak dibedakan kecuali atas ketaqwaannya saja.

Kemudian diajarkannya konsep manunggaling kawulo gusti atau ajaran hulul. Di dalam konsepsinya, bahwa manusia dan Tuhan adalah dua hal ihwal yang memiliki kesamaan sifat sehingga keduanya bisa saling menyatu atau manunggal. Kemanunggalan manusia dengan Tuhan tersebut difasilitasi oleh bacaan wirid atau dzikir yang tidak ada hentinya sehingga tersibaklah tirai keduanya. Ketika sudah tidak ada hijab antara Tuhan dan manusia, maka menyatulah dalam konsep “Ana al Haq” atau “Akulah Tuhan”.  Ketika Syekh Lemah Abang menyatakannya, maka yang sesungguhnya berkata adalah Tuhan dan bukan Syekh Lemah Abang. Di puncak ecstasy inilah maka relasi Tuhan dan manusia sudah tidak dapat lagi dipisahkan karena sudah menyatu.

Doktrin kemenyatuan manusia dengan Tuhan adalah puncak pengalaman rohani yang dicapai oleh manusia. Oleh karena itu tentu sangat individual dan tidak bisa diduplikasi oleh manusia lainnya. Karena coraknya yang sangat individual itulah maka ajaran hulul tidak bisa diceritakan atau diajarkan kepada manusia lainnya. Jadi hanya bisa dialami sendiri secara psikhologis. Karena Syekh Lemah Abang mengajarkan secara massal terhadap ajaran rahasia ini, maka dianggaplah dia mengajarkan kesesatan kepada masyarakat.

Sesungguhnya semua wali songo juga mengajarkan tentang ajaran tasawuf falsafi. Hanya saja bahwa para wali lainnya tidak mengajarkannya secara massal. Yang diajarkannya kepada massa adalah ajaran agama dalam coraknya yang eksoterik. Sehingga yang bercorak esoterik hanya disampaikan kepada orang-orang khusus saja yang memang sudah bisa mencapai maqam pembicaraan tersebut. Misalnya Sunan Giri juga mengajarkan tentang ajaran martabat tujuh. Sebagaimana dipahami bahwa ajaran martabat tujuh adalah ajaran yang mengajarkan tentang kemenyatuan Tuhan dengan manusia.

Maka, menurut Agus Sunyoto bahwa para wali lainnya menyelamatkan Syekh Lemah Abang, sebab akhirnya juga tidak diketahui mayat Syekh lemah Abang jika beliau dibunuh. Yang dipertontonkan hanyalah bangkai anjing, untuk menggambarkan tentang kematian Syekh Lemah Abang yang kemudian berubah menjadi bangkai anjing. Atau juga bisa ditafsirkan bahwa bagi orang yang melakukan kesalahan teologis seperti Syekh Lemah Abang, maka ketika mati akan menjadi bangkai anjing.

Jadi, kiranya yang bisa dipahami melalui  benturan pemikiran dan aksi keagamaan di dalam tasawuf falsafi ini adalah  anggapan bahwa tasawuf falsafi akan menjadi batu sandungan bagi kekuasaan politik. Gerakannya yang bercorak massif dengan mengusung kesamaan derajad, manunggaling kawula gusti dan kesatuan penghambaan hanya kepada Allah dianggap sebagai pembangkangan politik bagi para penguasa.

Nasib Al Hallaj dan Syekh Lemah Abang ternyata memiliki kesamaan karena keduanya dianggap membangkang dan mendukung terhadap lawan-lawan politik kerajaan, sehingga memang harus dienyahkan. Jadi, aspek politik ternyata jauh lebih dominan di dalam benturan pemikiran dan aksi keberagamaan yang menyelimuti tasawuf falsafi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini