MEMBINCANG KETENAGAKERJAAN
Di antara tema yang dibahas di dalam acara dialog di TVRI bersama Prof. Dr. Hj. Istibsyaroh, anggota DPD RI, 11/08/2011, adalah mengenai ketenagakerjaan. Tema tentang ketenagakerjaan tentu sangat menarik sebab menyangkut banyak hal. Tidak hanya aspek ekonomi, akan tetapi juga keselamatan dan harga diri bangsa. Makanya pantas jika perbincangan tentang ketenagakerjaan selalu menarik, kapan dan dimanapun.
Sebagaimana sering kita dengar bahwa persoalan ketenagakerjaan tentu menyangkut hajad hidup masyarakat. Ketersediaan lapangan kerja merupakan hal yang sangat mendasar. Sebagai akibat keterbatasan lapangan kerja, maka kemudian memantik keinginan masyarakat untuk mencari lapangan kerja di luar negeri, misalnya ke Malaysia, Timur Tengah, Hongkong dan sebagainya.
Menurut saya, ada dua sebab mengapa masyarakat memiliki kecenderungan untuk bekerja di luar negeri. Pertama, faktor psikhologis bahwa bekerja di luar negeri memiliki beban kepuasan, selain karena gajinya yang relatif lebih besar juga dianggap memiliki pengalaman internasional. Menjadi tenaga kerja di luar negeri ternyata bisa menghasilkan uang yang lebih banyak. Makanya di bandara internasional, seperti Bandara Soekarno-Hatta juga terdapat tulisan selamat datang bagi pahlawan devisa.
Disebabkan oleh “keberhasilan” tersebut, maka kemudian menarik keinginan sanak keluarga, kerabat dan tetangga lainnya untuk mengikuti jejak Sang Pahlawan Devisa. Makanya, setiap tahun akan terus berkembang jumlah pekerja ke luar negeri dengan harapan agar bisa berhasil sebagaimana yang bersangkutan. TKI di luar negeri sama dengan devisa.
Kedua, factor ekonomi bahwa yang bersangkutan memang harus melakukan pekerjaan tersebut disebabkan oleh ketiadaan pekerjaan di daerah sementara itu yang bersangkutan harus menghidupi keluarganya. Tekanan ekonomi yang seperti ini yang biasanya menyebabkan keberanian luar biasa untuk menjadi TKI di luar negeri. Orang bisa melakukan apa saja terkait dengan tekanan ekonomi itu. Di sinilah penyebab utama mengapa orang bisa melakukan tindakan untuk menempuh “jalan belakang” agar bisa menjadi TKI. Mereka lalu disebut sebagai TKI illegal.
Sebenarnya, secara procedural tidak sulit menjadi TKI legal. Hanya saja memang ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang calon TKI untuk kepentingan tersebut. Misalnya persyaratan administrasi, kesehatan, kejelasan pekerjaan dan sebagainya. Hanya saja terkadang persyaratan tersebut dianggap mempersulit, sehingga orang lebih suka menggunakan jasa orang ketiga untuk kepentingan ini. Misalnya dikenal istilah tekong, perantara dan sebagainya.
Di dalam hal persyaratan kesehatan, misalnya maka seseorang yang diketahui berdasarkan rekam medis menderita penyakit hepatitis, maka yang bersangkutan dipastikan tidak bisa berangkat ke luar negeri. Namun demikian, mereka terpaksa harus berangkat dengan jalur pintas untuk kepentingan memperoleh pekerjaan di negara tujuan. Akibatnya, mereka ada yang selamat dan ada juga yang tertangkap dan harus dideportasi.
Bagi TKI illegal, maka jika pun memperoleh pekerjaan, maka juga harus pekerjaan yang di dalam rumah dan tidak bisa keluar kemana pun. Jika tertangkap maka akan bisa dihukum sebagai pendatang haram. Oleh karena itu, sebagaimana penuturuan Prof. Istibsyaroh, bahwa menjadi TKI apalagi yang ilegal sebenarnya jauh dari rasa nyaman. Banyak kesulitan yang dideritanya. Dalam kasus TKW di Hongkong, maka mereka baru bisa beristirahat jam 23.00. Memang gaji yang diterima relatif besar, akan tetapi durasi jam kerjanya juga sangat panjang.
Problem lain yang dihadapi oleh TKI di luar negeri juga sangat menyedihkan. Dalam kasus TKW di Arab Saudi, maka yang sesungguhnya terjadi adalah keterpaksaan melakukan tindakan kriminal karena penyiksaan yang tidak tertahankan. Penyiksaan yang diterima merupakan bentuk inferioritas TKI di hadapan penyedia jasa pekerjaan. Terkait dengan persoalan ini, maka seharusnya pemerintah hanya mengirim TKI ke negara-negara yang sudah memiliki MoU ketenagakerjaan, sehingga pemerintah kedua belah pihak bisa melakukan perlindungan hukum kepada tenaga kerja dimaksud.
Oleh karena itu, pengiriman TKI ke Arab Saudi juga bisa dimoratorium sejauh antara dua pemerintahan belum menandatangani MoU ketenagaan ini. Hanya saja catatan saya bahwa yang dimoratorium adalah pengiriman TKI untuk kepentingan domestik atau informal, sedangkan yang TKI untuk kepentingan publik atau formal kiranya masih bisa dilanjutkan.
Dengan demikian, kiranya memang diperlukan kerja keras pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada TKI agar para pemburu uang di negara lain ini akan merasa nyaman di dalam bekerja dan juga memperoleh jaminan keselamatan kerja di mana mereka bekerja.
Jika hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah, saya khawatir bahwa kritikan terhadap pemerintah yang dianggap mengabaikan terhadap nasib bangsa Indonesia di luar negeri akan terus terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.