MEMBANGUN KEPERCAYAAN PADA PEMERINTAH
Sore ini, 11/08/2011, saya menjadi salah satu nara sumber di dalam acara dialog di TVRI Surabaya, bersama anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof. Dr. H. Istibsyaroh, SH, MA. Acara ini dipandu oleh Iwan Tuwanakota yang selama ini memang sering menjadi host di dalam acara-acara yang digelar oleh TVRI. Acara ini merupakan bagian dari kegiatan masa reses DPR dan DPD untuk musim reses sekarang ini.
Acara ini dilaksanakan dengan tema Agama dan Ketenagkerjaan. Semula saya berpikir bahwa acara ini akan mengkaji tentang relevansi agama dengan ketenagakerjaan, akan tetapi ternyata acara ini membahas dua hal sekaligus, yaitu masalah keagamaan dan masalah ketenagakerjaan. Jadi semula saya menduga masalah yang dibahas akan kompleks terkait dengan relasi keduanya. Akan tetapi ternyata tidak semacam itu.
Saya merasa senang bahwa acara ini ternyata memperoleh respon yang sangat baik, sebab ada banyak pertanyaan yang diajukan oleh pemirsa TVRI. Dari Surabaya, Mojokerto, Jombang dan sebagainya. Bagi saya untuk mengukur apakah acara live itu menarik atau tidak, tentu dari ada atau tidaknya respon langsung dari pemirsa. Ternyata bahwa ada banyak yang bertanya dan membahas tentang tema yang disajikan oleh TVRI.
Satu masalah yang menarik untuk saya tulis kali ini adalah tentang gugatan seorang Ibu yang secara tegas menyatakan bahwa dikemanakan anggaran haji yang dihimpun oleh kementerian agama. Bisa dibayangkan berapa banyak bunga bank yang diterima oleh kementerian agama, jika dihitung dari setoran calon jamaah haji di Indonesia. Mestinya uang itu bisa digunakan untuk kepentingan tenaga kerja Indonesia. Begitu gugat Ibu penanya.
Sebagai seseorang yang selama ini berkecimpung di kementerian agama, maka secara spontan saya menyatakan tentang apa yang saya ketahui tentang Dana Abadi Umat (DAU) tersebut. Meskipun pengetahuan saya tentang dana tersebut tidak sangat akurat, akan tetapi saya memiliki kewajiban moral untuk memberikan penjelasan kepada khalayak tentang hal-hal yang menyangkut kualitas layanan haji dan dana DAU tersebut.
Memang harus diakui bahwa untuk mengatur jumlah besar jamaah haji Indonesia tentu sangat rumit. Hal itu tidak hanya menyangkut pemondokan, layanan konsumsi, pengangkutan dan sebagainya, akan tetapi juga antrian panjang yang menyertai pelaksanaan haji itu. Jumlah jamaah haji terus menerus meningkat. Setiap tahun tidak kurang dari 200.000 orang Indonesia pergi haji. Hal itu berbeda dengan Malaysia yang hanya memberangkatkan jamaah haji kurang dari 25.000 orang setiap tahun.
Makanya, tingkat kerumitan penyelenggaraan haji di Indonesia juga jauh lebih besar. Itulah sebabnya setiap tahun terjadi complaint tentang penyelenggaraan haji. Namun demikian, tentu juga tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat perbaikan di sana-sini. Ketika Dr. Maftuh Basuni menjadi Menteri Agama, maka dilakukanlah perubahan manajemen haji dengan mottonya, First come first serve. Melalui sistem manajemen baru ini, maka terjadilah proses pendaftaran haji yang tertib dan tentu akan berimplikasi pada ketertiban lainnya.
Melalui sistem ini, maka akhirnya dapat mengembangkan pelayanan yang lebih baik. Dan akhirnya dengan sistem ini juga mengakibatkan adanya kecenderungan untuk melakukan umrah, sebab banyak calon jamaah haji yang harus menunggu haji yang waktunya panjang. Dengan begitu, maka layanan umrah juga menjadi berkembang. Jadi terdapat nuansa simbiosis antara pelayanan haji dengan pelayanan umrah.
Perubahan manajemen ini juga kemudian dilanjutkan oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali. Beliau meneruskan kebijakan kementerian sebelumnya tentang pelayanan haji. Dan akhirnya juga didapatkan pengakuan tentang penyelenggaraan haji yang semakin membaik. Misalnya dengan diperolehnya pengakuan internasional, ISO 9001 untuk pelayanan yang memiliki standart internasional. Jadi, artinya telah terdapat perubahan yang signifikan di dalam pelayanan haji tersebut.
Tentang uang DAU, kementerian agama tentu juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Kenyataannya DAU yang jumlah mencapai puluhan trilyun tersebut memang belum bisa didayagunakan untuk pembangunan masyarakat, khususnya pembangunan agama dan keagamaan, sebab belum didapati aturan yang mengatur tentang mekanisme pendayagunaan dana tersebut. Makanya yang sesungguhnya dibutuhkan adalah aturan yang bisa memback up pendayagunaan dana tersebut.
Jadi pemanfaatan dana tersebut memang diperlukan. Akan tetapi tentu tidak boleh pemanfaatan dana tersebut kemudian mengalami masalah karena ketiadaan aturan yang jelas mengatur pendayagunaannya.
Kiranya memang harus ada kearifan di dalam melakukan sesuatu, sehingga sesuatu yang kita lakukan tersebut relevan dengan payung regulasi yang mengaturnya. Semuanya memang harus berada di dalam koridor aturan yang berlaku.
Wallahu a’lam bi al shawab.