TRADISI ILMIAH DI JAKARTA
Ketika saya di Jakarta, 09/08/2011, saya sempatkan untuk hadir dalam acara yang digelar oleh kawan-kawan saya di Utan Kayu. Ada sebuah diskusi di dalam kerangka tadarrus Ramadlan yang digelar oleh kawan-kawan yang selama ini melabel dirinya dengan sebutan “Jaringan Islam Liberal” atau JIL. Saya harus bersyukur bahwa saya memiliki kawan yang banyak dengan keanekaragaman paham keagamaannya. Dan dengan cara itu, maka saya juga dapat memahami apa yang sesungguhnya menjadi arus utama pemikirannya, meskipun hanya sebatas pemahaman yang global dan sedikit.
Diskusi yang diselenggarakan oleh kawan JIL ini memang mengambil tema tentang pemikiran Fahr al Din al Razi dalam berbagai cabang keilmuannnya. Yaitu pemikiran kalamnya, tafsir dan ushul fiqihnya. Saya tentu tidak bisa berkomentar tentang buku-buku karya Fahr al Din al Razi ini mengingat pengetahuan saya tentang tema-tema ini sangatlah sedikit. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa saya memang hanya mempelajari ilmu kalam, tafsir dan ushul fiqh dalam waktu yang sangat sedikit dan pendek.
Untuk acara ramadlan kali ini, secara sengaja bahwa JIL melakukan kajian kitab klasik atau kitab kuning dan yang dipilih adalah karya Al Razi. Dari beberapa kitabnya tersebut, maka yang dikaji ketika saya hadir di sini adalah tentang Kitab Mafatih al Ghayb yang merupakan kitab tafsir Al Razi. Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Kautsar Azhari dan Dr. Abdul Moqsith Ghazali dan dihadiri oleh sebanyak kira-kira 60 orang dengan berbagai latar belakang agama. Ada yang Islam, Katolik, Konghucu dan juga lainnya. Kebanyakan mereka adalah anak-anak muda yang memang sedang mencari “jalan” menuju agama.
Saya ingin mengangkat tentang bagaimana kelompok-kelompok diskusi seperti ini hidup dan berkembang di tengah geliat kota besar seperti Jakarta. Jika selama ini pengkajian akademis lebih banyak dikaitkan dengan dunia kampus atau dunia pendidikan formal, akan tetapi kenyataannya justru di dunia lembaga swadaya masyarakat bisa berkembang berbagai macam kegiatan yang bisa dikategorikan sebagai kegiatan akademis-ilmiah.
Di Jakarta, banyak berkembang forum kajian ilmiah dengan aneka ragam fokus kajiannya. Ada yang bergerak di bidang demokrasi, HAM, keagamaan, pemberdayaan masyarakat dan sebagainya. Semua menggambarkan bahwa ada dinamika yang sangat lugas tentang pengembangan akademik dan kemasyarakatan tersebut.
Jakarta selama ini hanya dinilai dari kemacetan, peredaran uang, perdagangan, aktivitas birokrasi dan relasi-relasi internasional. Akan tetapi Jakarta ternyata juga menyimpan peluang bagi persemaian kelompok-kelompok kajian, termasuk kajian keislaman. Apa yang dilakukan oleh Utan Kayu adalah salah satu pertanda bahwa kajian keagamaan masih menjadi bagian dari tradisi pengembangan pemikiran keagamaan (Islam) di Jakarta.
Kajian-kajian tafsir klasik sepertinya merupakan tema yang absurd. Di era orang-orang berlarian mencari uang, kekayaan dan kesejahteraan fisik, akan tetapi acara mengaji kitab kuning juga masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kita. Terlepas dari pro dan kontra tentang JIL, tetapi tetap saja satu kakinya masih di dalam Islam. Sebagaimana yang dikatakan Moqsith Ghazali, bahwa sampai kapanpun JIL akan tetap berada di dalam bingkai pemikiran keislaman. Hanya saja adalah Islam yang tidak membelenggu akan tetapi yang memberikan peluang perubahan di dalam penafsirannya.
Sesungguhnya ada sebuah pertanyaan yang ingin saya kemukakan, bahwa mengapa kelompok-kelompok seperti ini masih tetap eksis di tengah gejolak materialisme, konsumerisme dan sebagainya, dan mengapa Jakarta dan bukan Surabaya yang memiliki sejumlah forum seperti ini dan pertanyaan lain yang relevan.
Surabaya, sebenarnya juga memiliki peluang untuk mengembangkan pemikiran keagamaan. Ada banyak intelektual dan akademisi yang tidak diragukan kemampuannya di dalam disiplin keilmuannya. Akan tetapi barangkali yang perlu diupgrade adalah bagaimana kemudian terdapat satu semangat untuk mengembangkan pemikiran keagamaan dalam bingkai diskusi-diskusi akademik.
Oleh karena itu kiranya masih harus menjadi pekerjaan rumah dari para akdemisi dan intelektual untuk menumbuhkembangkan pemikiran keagamaan yang memang selalu membutuhkan revitalisasi-revitalisasi.
Wallahu a’lam bi al shawab.