TASAWUF DAN PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA
Di dalam seminar internasional tentang “Melacak Jejak Tasawuf Falsafi di Indonesia”, yang digelar Pusat Studi Jepang, UI, bekerjasama dengan ISIP dan ICAS, maka ada suatu hal yang sangat menarik, yaitu ketika Prof. Dr. Abdul Hadi WM, mengungkapkan bahwa mustahil mempelajari budaya dan mengembangkan budaya Indonesia tanpa mempelajari tasawuf. Baginya, tasawuf merupakan bagian penting bagi masyarakat Indonesia. Tasawuf tidak akan bisa dilepaskan dari pemikiran dan praksis keagamaan di Indonesia. Jika kita ingin mempelajari budaya Nusantara atau budaya Indonesia, maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari tradisi tasawuf di Indonesia.
Tasawuf memang telah menjadi kenyataan empiris semenjak pertama Islam memasuki kawasan Nusantara. Islam yang memasuki kawasan Nusantara adalah Islam dalam coraknya yang tasawuf tersebut. Berdasarkan kajian para ahli sejarah, bahwa di abad ke 13 telah terdapat kelompok-kelompok Islam yang berada di Nusantara dan membentuk suatu komunitas yang mengamalkan Islam dalam coraknya yang sufistik tersebut.
Pemikiran keislaman juga menjadi semarak melalui perdebatan-perdebatan yang khas di antara kaum tasawuf dan kaum sunni-ortodoks. Semenjak ditemukannya kitab-kitab yang ditulis oleh Kaum Sufi, misalnya Kitab Bahrul Lahut karya Syekh Abdullah Arif abad ke 13, maka sesungguhnya pemikiran keagamaan Islam di Indonesia sudah berjalan dengan sangat maju. Pendakwah yang tinggal di Samudra Pasai ini telah meninggalkan karya yang sangat penting dalam pemikiran Islam tasawuf yang sangat mendalam. Jadi sudah ada karya yang menonjol tentang taswauf sebelum perdebatan antara Hamzah Fansuri atau Syamsudin Sumatrani dengan Nuruddin Arraniri.
Perdebatan-perdebatan yang didasari oleh pemahaman keagamaan di kala itu tentu membuktikan bahwa dinamika pemikiran keagamaan dan praksis ritual keagamaan memang sudah menjadi tradisi di kalangan para ulama dan masyarakat kita. Jadi, pertentangan pemikiran di dalam kehidupan keagamaan bukanlah sesuatu yang terjadi belakangan, akan tetapi telah menjadi ruh kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia semenjak lama.
Benturan pemikiran keagamaan tentu bukan akhir segalanya. Benturan pemikiran keagamaan antara kaum Sunni-ortodoks dengan kaum tasawuf, terutama tasawuf falsafi, telah menjadi kelaziman semenjak awal. Islam memang dipahami dalam coraknya yang bervariasi. Tasawuf falsafi yang di dalam banyak hal dinisbahkan dengan nama Ibnu Arabi, Al Hallaj, Abu Yazid Bustami dan sebagainya, memang berbenturan dengan pemikiran keagamaan yang lebih puris yang diusung oleh kaum Sunni-ortodoks. Benturan pemikiran ini justru menandakan bahwa Islam memiliki dinamika yang sangat baik di masa yang lalu.
Islam dalam coraknya yang sufistik memang memberikan sarana adaptasi yang tinggi bagi proses Islamisasi di Nusantara. Masyarakat Nusantara yang memiliki religiositas yang yang cenderung kepada religi yang esoteric tentu sangat cocok didekati dengan Islam dalam coraknya yang sufistik ini. Tidak bisa dibayangkan bagaimana Islam yang puristik bisa mengembangkan keislaman masyarakat Nusantara. Islam yang orotodoks tentu akan ditolak oleh masyarakat Nusantara yang keberagamaannya bercorak esoteric tersebut.
Oleh karena itu, berbicara tentang pemikiran dan praksis keberagamaan masyarakat Indonesia tidak akan bisa dilepaskan dengan kehidupan tasawuf di Nusantara. Islam di Indonesia bisa menjadi seperti ini, adalah berkat usaha para pendakwah-sufi yang telah mendarmabaktikan dirinya bagi islamisasi di Indonesia.
Di sinilah arti pentingnya untuk mempelajari secara mendasar tentang tradisi kaum sufi terutama karya klasiknya sebagai dasar pijakan bagi pengembangan pemikiran Islam Indonesia. Karya-karya keagamaan kaum sufi tersebut sesungguhnya bisa menjadi referensi di dalam membincang tentang Islam Indonesia. Jangan sampai kemudian kita melupakan karya-karya keislaman kaum sufi disebabkan adanya anggapan bahwa kaum sufi tersebut adalah kaum heterodoks.
Dari berbagai kajian ternyata bahwa mereka yang dianggap sebagai sesat oleh kelompok Islam lainnya, dalam banyak hal justru difasilitasi oleh dunia kekuasaan yang memang selalu menyediakan ruang untuk melakukan tindakan yang menghakimi. Para ahli tasawuf falsafi tersebut ternyata adalah kaum sunni yang memang memiliki pengalaman beragama yang berbeda dengan kaum kebanyakan, sehingga membentuk pengalaman keagamaan yang khas tasawuf.
Oleh kerena itu dibutuhkan suatu kajian yang jujur untuk melakukan reevaluasi terhadap karya-karya kaum sufi falsafi, sehingga ke depan akan didapatkan pembacaan yang lebih arif dan bukan menghakimi.
Wallahu a’lam bi al shawab.