MEMBINCANG TASAWUF FALSAFI DI INDONESIA
Saya bersyukur sebab dilibatkan di dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh ICAS, ISIP dan UI dalam rangka membincang tentang “Melacak Tasawuf Falsafi di Indonesia”. Acara ini sangat menarik sebab banyak narasumber yang memiliki otoritas yang berbicara tentang dunia tasawuf dari sisi historis, sosiologis, teks dan kajian sastra suluk di Indonesia.
Di antara penyaji makalah tersebut adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Abdul Hadi WM, Prof. Kautsar Azhari, Dr. Oman Fathurrahman, Dr. Haidar Bagir, Agus Sunyoto, MPd., Husein Hariyanto, MA dan beberapa lainnya. Sebagai seminar internasional, maka bahasan yang disajikan tentu sangat menarik dalam kapasitas kajian ilmiah-akademis tentang tasawuf di Indonesia.
Saya menyajikan makalah tentang “Tasawuf Dalam pergulatan Dunia: Dari Tasawuf Falsafi ke Tasawuf Amali”. Sayangnya bahwa saya harus tergesa kembali sebab ada sesuatu hal yang harus saya tunaikan, sehingga sessi tanya jawab dengan sangat terpaksa saya tinggalkan. Tetapi saya yakin bahwa ketidakhadiran saya di dalam sessi tanya jawab tidak akan mengurangi makna seminar internasional ini.
Di dalam seminar ini, saya sampaikan beberapa hal. Ada tiga hal yang menurut saya sangat penting untuk diperhatikan terkait dengan pertanyaan, mengapa tasawuf falsaf i mengalami stagnasi di tengah dinamika kehidupan social keagamaan dewasa ini. Pertama, adalah gerakan kaum Sunni-Tradisional yang melakukan pendangkalan terhadap pemikiran dan praktik keagamaan kaum tasawuf falsafi. Kaum Sunni ini menganggap bahwa kaum tasawuf falsafi telah melakukan pemurtadan terhadap pemeluk tasawuf falsafi. Ajaran tentang wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi di Timur Tengah merupakan penyimpangan terhadap ajaran Islam yang genuine.
Ajaran wahdatul wujud yang menyatakan bahwa dzat Tuhan dan dzat manusia bisa menyatu tentu merupakan kesalahan doktrin utama di dalam Islam. Kaum sunni-tradisional beranggapan bahwa pemikiran kemenyatuan antara Tuhan dan manusia atau pantheisme adalah kekeliruan teologis yang sangat membahayakan terhadap umat islam. Makanya ajaran ini harus dilarang dan dimusnahkan. Mereka bukan hanya perlu dikafirkan, akan tetapi harus dibunuh dan dienyahkan dari Islam.
Kemudian ajaran Hulul yang dikembangkan oleh al Hallaj di Timur Tengah dan Syekh Siti Jenar di Jawa. Ajartan ini menyatakan bahwa manusia dan Tuhan bisa menyatu di dalam sifat-sifatnya. Sebab sifat Tuhan dan sifat manusia bisa menyatu. Kemenyatuan tersebut kemudian mengantarkan manusia bisa memasuki sifat ketuhanan dan Tuhan bisa memasuki sifat kemanusiaan. Jika manusia telah menyatu dengan Tuhan, maka manusia bisa menyatakan “ana al haq” atau “aku adalah Tuhan”. Mereka menyatu di dalam alam nasut atau alam lahut. Di dalam konsepsi Jawa disebut “manunggaling kawulo lan gusti”.
Lalu ada juga yang bercorak ittihad, yaitu pandangan kaum tasawuf falsafi yang menyatakan bahwa manusia adalah pancaran Tuhan, makanya antara dzat yang memancarkan dan dzat yang dipancari tentu merupakan sesuatu yang bisa menyatu. Tokoh di dalam hal ini adalah Abu Yasid al Bustami yang berpadangan ittihad ini.
Pandangan seperti ini menurut kaum Sunni-tradisional merupakan kesalahan teologis yang tidak terampuni. Pemikiran dan praksis keagamaan ini bisa merusak teologi Islam yang bercorak transcendental. Tuhan memiliki dzat, sifat dan af’al yang berbeda dengan makhluk. Laisa kamislihi syaiun. Tuhan tidak bisa dipersamakan dengan makhluknya.
Kedua, gerakan ortodoksi tarekat yang dilakukan oleh NU. Pada tahun 1960-an, NU membuat organisasi Jam’iyah Ahlu Thaoriqoh Mu’tabaroh Nahdhiyah (JATMAN) yang menjadi semacam instrument untuk menyatakan mana tarikat yang absah atau mu’tabaroh dan mana tarekat yang tidak absah atau ghairu mu’tabaroh. Maka melalui rambu-rambu, yaitu sanad kemursyidan yang harus bersambung kepada nabi Muhammad saw baik melalui Sayyidina Ali maupun Abu Bakar Ash-shidiq, ajarannya sesuai dengan ajaran Islam yang benar, dan mengajarkan akhlak mahmudah, maka semua tarekat yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, maka dianggapnya tidak absah. Di dalam hal ini termasuk tarekat Akmaliyah yang dibangsakan kepada Syekh Abdul Jalil atau Syekh Lemah Bang atau Syekh Sidi Jenar. Ada sebanyak 42 tarekat yang dianggap mu’tabar sesuai dengan yang diungkapkan di dalam Kitab Jami’u ushulil auliya. Sementara itu KH. Azis Masyhuri menyatakan ada sebanyak 22 tarekat yang mu’tabar berdasarkan bukunya yang baru saja terbit (2011).
Ketiga, semakin banyaknya orang yang mengamalkan tarekat secara tidak terstruktur. Di dalam hal ini, banyak orang yang mengamalkan tarekat dengan caranya sendiri. Misalnya, ketika macet di jalan, maka mereka lakukan dzikir “Allahumma yassir wa la tu’assir” atau “Allah mudahkanlah dan jangan dipersukar”. Pengamalan tarekat secara non organisatoris ini kemudian juga berakibat terhadap kenyataan pengalaman agama yang lebih praksis dan bukan yang teoretis. Pengamalan agama secara esoteric yang bercorak individual dan bukan organisasional. Akibatnya, ajaran agama yang esoteric tersebut menjadi lebih dominan. Inilah yang menghasilkan konsep tasawuf perkotaan atau Urban Sufism dan sebagainya.
Melihat bahwa tasawuf falsafi memiliki konstribusi penting di dalam pengembangan pemikiran Islam keindonesiaan, maka saya menyatakan bahwa harus ada gerakan untuk memurnikan kembali pemikiran keagamaan kita, yaitu dengan cara melakukan kajian dalam coraknya yang pos-kolonialisme. Yaitu melakukan kajian untuk menganalisis kembali apakah tuduhan tentang tasawuf falsafi itu sesat atau bukan. Misalnya yang dilakukan oleh Zainul Milal Bizawi, tentang Kyai Haji Mutamakin. Beliau dituduh sebagai orang yang mengajarkan kesesatan beragama, padahal di dalam kajian yang dilakukan terhadap Kitab Muwahhidun, ternyata bahwa ajaran Syekh Mutamakin ternyata berada di dalam kategori Islam Sunni dan bukan Islam yang sesat. Hanya memang terdapat ajarannya yang berciri khas sebagai tasawuf falsafi.
Melalui kajian seperti ini, maka ke depan akan didapatkan bacaan yang benar tentang tasawuf falsafi di dalam masyarakat kita. Dan sebagaimana kenyataan bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang benar dan orisinal di dalam Islam, maka harus ada reevaluasi terhadap pemikiran keagamaan yang menentangnya bahkan mengkafirkannya. Hanya saja memang harus ada kehati-hatian di dalam melakukan analisis ini agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan berikutnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.