MEMBANGUN DEMOKRASI YANG TIDAK SALAH ARAH
Harga demokrasi memang mahal. Jika ukuran demokrasi itu adalah banyaknya uang yang digunakan untuk pembiayaan di dalam proses demokrasi maka pastilah akan didapatkan kesimpulan bahwa harga demokrasi adalah mahal. Kenyataannya bahwa untuk melakukan pilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saja secara administrative yang bisa dipertanggungjawabkan bisa mencapai ratusan milyar rupiah. Satu contoh untuk pilihan Gubernur Jawa Timur yang tiga kali putaran, maka menghabiskan anggaran sebesar 800 milyar rupiah. Demikian pula untuk kepentingan pilkada lainnya.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo, 18-24/08/2011, maka untuk pemenangan pimpinan parpol, maka menghabiskan uang sebesar 170 milyar rupiah. Jika hal ini benar, maka betapa harga sebuah perhelatan politik berbasis demokrasi memang berharga sangat mahal. Akan tetapi sebagaimana kita tahu bahwa hasil investigasi melalui media terkadang “kevalidannya” tentu saja kurang lebih.
Demokrasi di negara berkembang identik dengan uang. Makanya, siapa yang bisa mengakses uang dalam jumlah besar untuk kepentingan politik, maka dialah yang bisa menangguk sukses di dalam perhelatan politik. Banyak cerita yang berbicara di seputar persoalan ini. Ada banyak strategi yang dilakukan oleh pelaku politik untuk kepentingan memenangkan pertarungan politik tersebut. Di antara strategi itu yang paling jitu adalah melalui pertarungan uang. Ada kasus menarik dari pilkada Ponorogo, yaitu calon kepala daerah yang kalah di dalam pilkada dan kemudian menjadi gila. Hutangnya yang mencapai puluhan milyar tidak mampu dikembalikan dan istrinyapun meninggalkannya. Di tengah nuansa rumit itulah akhirnya dia menjadi hilang ingatan. Berjalan di muka umum hanya dengan memakai celana dalam saja. Pengusaha muda yang sebelumnya sukses ini menjadi korban demokrasi berbasis fragmatisme.
Diakui atau tidak ternyata ada gejala yang kurang baik di era demokrasi langsung ini. Demokrasi lebih dipahami sebagai instrumen untuk memenangkan jabatan politik. Sehingga aspek kepentingan atau kekuasaan jauh lebih penting dari pada tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin yang berkaitan dengan urusan kesejahteraan rakyat. Makanya ketika yang bersangkutan terpilih, maka yang justru dipentingkan adalah berbicara tentang “aku” dan bukan berbicara tentang “kita”.
Demokrasi kita berubah menjadi demokrasi kontraktual. Dan kontrak yang paling dekat adalah melalui pemberian langsung baik yang berupa uang atau lainnya. Makanya, kata “berjuang” lalu dipelesetkan menjadi “beras, baju dan uang”. Artinya, bahwa orang menilai calon pemimpin dari seberapa kemampuan yang bersangkutan untuk membayar konstituennya. Semakin banyak mengeluarkan uang dengan tepat, maka semakin besar kemungkinannya untuk memenangkan pertarungan politik kekuasaan itu.
Dahulu kita pernah menggagas mengenai “Demokrasi Pancasila”, yaitu demokrasi didasarkan atas nilai-nilai luhur bangsa terutama sila keempat dari Pancasila, yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Di dalam konteks keindonesiaan, maka musyawarah dan mufakat justru menjadi kata kuncinya. Di dalam musyawarah dan mufakat, maka akan diuji apakah sebuah gagasan atau aksi relevan atau tidak dengan tradisi dan budaya Indonesia. Meskipun itu pendapat minoritas, jika ternyata melalui kajian dan pengujian moralitas dan spiritualitas ternyata benar, maka pilihan harus diberikan kepada yang benar tersebut. Jadi bukan melalui cara one man one vote –selama musyawarah mufakat bisa ditegakkan—yang andaikan ada delapan orang bersekongkol untuk melakukan tindakan yang diketahui ada cacatnya, maka merekalah yang menang. Sebab dua orang pasti kalah dengan suara mayoritas, delapan orang tersebut.
Namun demikian, Demokrasi Pancasila yang sangat baik tersebut cedera di tingkat aplikasi, sehingga Demokrasi Pancasila lalu diterjemahkan dengan ungkapan “demokrasi seolah-olah”. Artinya, wadah dan instrumennya demokrasi, akan tetapi isi dan hasilnya bukan demokrasi. Makna demokrasi direduksi menjadi wadah dan instrument saja. Akan tetapi di era sekarang juga terjadi “seolah-olah demokrasi”, artinya wadah, dan instrument yang digunakan adalah demokrtasi, akan tetapi proses dan hakikatnya tidak demokratis. Jadi, sesungguhnya baik era Orde Baru maupun Era reformasi, sama-sama demokrasi akan tetapi hanya seolah-olah.
Semua pilkada dan bentuk pilihan lain untuk menentukan pemimpin selalu menggunakan ungkapan yang seakan-akan demokratis tersebut, misalnya “hindarilah politik uang”, “jujur dan adil”, pilihlah pemimpin yang amanah” dan seterusnya hanyalah retorika yang terjadi di tengah persaingan politik. Namun dibalik itu semua selalu menyajikan pilihan-pilihan fragmatis yang tidak relevan dengan makna demokrasi berbasis moralitas tersebut.
Akan tetapi di tengah hiruk pikuk demokrasi ini, maka masih ada secercah harapan melalui figure dengan komitmen yang baik bagi demokrasi itu sendiri. Di dalam pilkada Tuban, yang baru lalu, pemenangnya adalah orang yang berjanji tidak akan memanfaatkan gaji dan segala hal yang terkait dengan jabatannya sebagai bupati. KH. Fathul Huda, Bupati Tuban, menyatakan bahwa semua gaji dan tunjangannya akan diberikan untuk kepentingan rakyat dan tidak sedikitpun yang akan digunakan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Dan saya yakin beliau akan melakukannya.
Jadi, masih ada juga mutiara di dalam debu politik yang sudah menyebar ke mana-mana itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.