• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MASIH ADA EGOISME SEKTORAL

Sebagai anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Jawa Timur, maka saya berkesempatan untuk datang ke berbagai wilayah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur. Saya bisa datang,  bersama tim tentunya, ke berbagai kabupaten untuk mendengarkan apa yang sesungguhnya menjadi problem di dalam melaksanakan pembangunan daerah.  Apakah masih ada kendala struktural terkait dengan bagaimana membangun daerahnya tersebut. Apakah ada kendala kultural terkait dengan pembangunan di masing-masing  wilayah dan sebagainya.

Kemarin, 02/08/2011, saya bersama tim DRD melakukan sosialisasi draft akhir Arah Riset Daerah (ARD) Provinsi Jawa Timur ke Kabupaten Kediri dan Nganjuk. Dua kabupaten di wilayah Mataraman yang keduanya menempati posisi strategis di wilayah tersebut. Makanya di dalam pembangunan kawasan, maka keduanya masuk dalam lingkar Wilis yang diharapkan menjadi  pusat pengembangan ekonomi di wilayah ini. Selain sebagai kawasan ekonomi, maka Kediri dan Nganjuk juga sebagai kawasan masyarakat dengan religiositas yang sangat tinggi. Kediri dikenal sebagai daerah dengan pesantrennya yang sangat banyak. Demikian pula Kabupaten Nganjuk. Meskipun tidak seperti Kediri, akan tetapi religiositas masyarakatnya juga tergolong tinggi.

Dari perbincangan di dua kabupaten ini, ternyata ada satu hal yang menarik untuk dicermati, yaitu tentang egoisme sektoral.  Sebagai wilayah yang diharapkan berkembang dari sisi ekonomi, maka kabupaten Nganjuk membutuhkan banyak waduk atau embung untuk program pengairan. Namun untuk membangun waduk juga tidak gampang. Suatu hal yang sangat menarik adalah ketika di wilayah Nganjuk akan dibangun waduk dan ternyata waduk tersebut berada di tengah hutan. Maka, secara prosedural, bahwa untuk membangun waduk tersebut pemerintah kabupaten harus memperoleh ijin dari kementerian Kehutanan. Akibatnya proses pembangunan tersebut harus mengalami proses yang panjang.

Persoalannya adalah pembangunan di wilayah kehutanan haruslah memperoleh ijin atau apa namanya dari yang memiliki kewenangan terhadap hal itu. Sehingga ketika pemerintah kabupaten akan membangun waduk untuk kepentingan ekonomi,  maka pemerintah mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Padahal  anggaran untuk kepentingan tersebut sudah disiapkan. Bahkan kabupaten Nganjuk sudah menyiapkan anggaran sebesar tiga setengah milyar.

Program pembangunan waduk ini ternyata tidak mulus, sebab proses untuk memperoleh ijin prinsip penggunaan wilayah untuk pembangunan waduk tersebut ternyata tidak sesuai rencana. Yang diperkirakan proses perijinan tersebut selesai dalam tiga bulan ternyata sampai dua tahun pun tidak selesai. Akibatnya tentu saja adalah hangusnya anggaran pembangunan waduk tersebut karena kedaluwarsa.  Jadi untuk melaksanakan pembangunan ternyata juga terdapat kendala struktural.

Kita tentu tidak menyalahkan siapapun di dalam proses pembangunan ini. Akan tetapi satu hal yang bisa menjadi catatan adalah bahwa antar sektor di dalam pemerintahan ini sepertinya tidak ada koordinasi dan sinkronisasi. Bagi kementerian Kehutanan tentu juga benar sebab ada aturan yang mengatur mekanisme pemanfaatan lahan hutan untuk kepentingan lainnya. Akan tetapi pemerintah kabupaten juga benar sebab tujuan untuk membangun w aduk adalah untuk kepentingan ekonomi.

Persoalannya adalah bagaimana mencari celah di antara dua kebenaran ini?  Maka di sini mestilah digunakan asas manfaat bagi kesejahteraan umat. Melalui pencerahan tentang asas manfaat ini, maka sekurang-kurangnya akan didapatkan jalan keluar yang memadai. Jadi tidak perlu ada ketegangan di antara dua kepentingan tersebut.

Jika ada aturan yang kemudian membelenggu kemajuan dalam hal apapun, maka mestinya harus ada kemampuan agensi untuk memahami bagaimana jalan keluar yang diharapkannya. Dua kepentingan akan bisa dipertemukan melalui kemampuan agensi ini. Di dalam kemampuan agensi, maka diperlukan  mutual understanding. Jadi yang diperlukan adalah penafsiran tentang aturan tersebut agar sesuai dengan kepentingan yang diharapkan.

Oleh karena itu seharusnya tidak diperlukan arogansi sektoral ketika ada sesuatu yang diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika tolok ukurnya adalah kesejahteraan masyarakat, maka tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan, sebab muaranya adalah kesejahteraan rakyat tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini