KESATUAN SISTEM PENDIDIKAN
Saya masih akan meneruskan diskusi tentang Mengapa Kementerian Agama Mengelola Pendidikan? Hal ini saya anggap penting mengingat bahwa sekarang sedang ada pemikiran tentang bagaimana melakukan reformasi pendidikan dengan cara mendikotomikan pendidikan yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum, kemudian pengelola pendidikan yaitu kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama. Diskusi ini tentu saja dikaitkan dengan rencana DPR untuk membuat UU Pendidikan Tinggi, yang sekarang sedang berada di tahap perumusan.
Gagasan tentang pendidikan satu atap, saya rasa sudah merupakan wacana yang sangat lama. Bahkan jauh sebelum ditetapkannya UU Sisdiknas tahun 2003. Perbincangan dengan pendidikan satu atap merupakan gagasan untuk menyatukan kewenangan pendidikan pada kementerian pendidikan, sehingga semua pelaksanaan pendidikan berada di dalamnya. Tidak seperti sekarang yang pengelola pendidikan tersebut berada di mana-mana, sehingga tidak terdapat satu komando untuk mengelolanya.
Memang ada keresahan di kalangan DPR, bahwa yang dianggap belum melakukan reformasi adalah lembaga pendidikan, sebab pengelolaan pendidikan masih berada di mana-mana. Reformasi pendidikan menurut DPR adalah pendidikan satu atap, artinya bahwa lembaga pendidikan umum mestilah semuanya berada di dalam kawasan kementerian pendidikan, sedangkan kementerian lain cukup mengurus pendidikan khusus. Jadi, kementerian lain dapat menyelenggarakan pendidikan untuk kepentingan teknis dan bukan akademis.
Secara historis, bahwa kementerian agama memang memiliki wewenang di dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak hanya pendidikan teknis akan tetapi juga akademis. Meskipun sudah terdapat PP No 55 tahun 2005 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, akan tetapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kementerian agama dapat menyelenggarakan pendidikan agama dan keagamaan berbasis wider mandate. Makanya, berdirilah UIN dengan segala program studinya.
Kita tentu harus menghargai dan melihat realitas sebagai suatu kenyataan historis. Secara kontekstual, bahwa lembaga pendidikan di bawah kementerian agama sudah berkembang dengan sangat pesat. Di UIN dan IAIN sudah berkembang berbagai prodi umum berciri khas keagamaan. Memang ada prodi sosiologi, komunikasi, psikhologi, teknik informasi, kimia, biologi dan bahkan kedokteran, akan tetapi satu hal yang pasti bahwa semuanya harus mempelajari ilmu keislaman sebagai basis atau ciri khas kependidikannya.
Di kalangan pengelola pendidikan di UIN atau IAIN dan bahkan STAIN memimpikan bahwa ke depan akan muncul ahli-ahli sains dan teknologi yang menguasai disiplin keilmuannya, akan tetapi juga memahami ajaran agama dengan sangat baik. Menurut Prof. Imam Suprayogo, akhirnya banyak alumni prodi teknologi yang hafal Al-Qur’an, atau ahli Sains yang penguasaan kitab kuningnya sangat memadai. Jadi terdapat sebuah mimpi untuk menjadikan alumninya sebagaimana Ibn Rusyd, Al Kindi, Ibn Sina dan sebagainya.
Mungkin saja ini memang mimpi. Akan tetapi bermimpi tentu akan jauh lebih baik dibanding dengan tidak memiliki mimpi sama sekali. Dan melalui mimpi inilah ke depan semua keputusan, sikap dan tindakan akan dan harus diarahkan. Jadi saya sepenuhnya menyadari bahwa melalui program pendidikan yang sekarang dilaksanakan di UIN atau IAIN ke depan tentu akan menghasilkan sarjana atau akademisi yang memiliki ciri khas di dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keberagamaannya.
Pengelolaan pendidikan khas Indonesia ini menurut saya justru akan menjadikan kekuatan tersendiri. Melalui sistem yang satu yang terpateri di dalam UU Sisdiknas, dan kemudian diterjemahkan ke dalam pola penyelenggaraan pendidikan yang tersegmented-historis fungsional ternyata bisa menjadi salah satu alternative di dalam kerangka pengembangan SDM yang berilmu-beramal dan beriman-bertaqwa.
Oleh karena itu menanyakan tentang kewenangan kementerian agama yang mempunyai kewenangan pengelolaan pendidikan, hakikatnya adalah mempertanyakan tentang realitas empiris yang sudah memiliki keabsahan secara kontekstual dan normative. Secara empiris, bahwa kementerian agama sudah menyelenggarakan pendidikan yang bervariasi, baik yang berbasis agama dan keagamaan maupun pendidikan umum berbasis keagamaan. Di sisi lain, juga secara normative bahwa penyelenggaraan pendidikan tersebut juga sudah memiliki pengabsahan berdasarkan aturan yang berlaku, baik Surat Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden.
Dengan demikian yang jauh lebih penting adalah berpikir tentang penguatan sistem pendidikan dan bukan berpikir tentang tempat atau atap pendidikan. Dengan cara seperti ini, maka ke depan akan didapatkan semakin banyak akses pendidikan dan hal itu berarti akan meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi.
Semakin banyak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, maka akan semakin besar APK pendidikan tinggi dan hal itu berarti akan terjadi peningkatan kualitas SDM.
Wallahu a’lam bi al shawab.