MENJAGA AGAR RUUPT TIDAK MENGARAH KE SEKULARISASI
Saya diundang oleh Panja RUUPT Komisi X dalam acara Rapat Dengar Pendapat (RDP), dengan seluruh Rektor UIN di ruang siding Komisi X DPR RI, 13/07/2011. Acara ini memang didesain untuk mendengarkan pendapat para rector UIN dan saya adalah satu-satunya rector IAIN yang turut serta diundang. Saya tentu sangat bergembira dengan undangan itu, sebab paling tidak saya mengetahui kea rah mana perbincangan RUUPT yang sekarang sudah memasuki masa-masa penting.
Selain rektor UIN dan IAIN, maka pejabat di lingkungan Kementerian Agama dan Pendidikan Nasional juga turut serta diundang. Hal ini tentu menandakan bahwa acara RDP ini sangat penting terkait dengan bagaimana merumuskan UUPT yang nantinya akan memiliki daya akseptabilitas yang tinggi dan tidak terdapat peluang untuk dilakukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan pengakuan yang dinyatakan oleh seorang anggota Panja, bahwa mereka merasakan trauma dengan dibatalkannya UUBHP oleh MK beberapa saat yang lalu. Saya memahami hal ini sebab untuk merumuskan UU tentu membutuhkan waktu yang sangat lama dengan biaya yang tidak sedikit, akan tetapi akhirnya dibatalkan sebab dianggap memang tidak relevan dengan tuntutan masyarakat tentang UU tersebut. Pengalaman pembatalan UUBHP inilah yang kemudian memantik keinginan Panja untuk mendengarkan berbagai saran dan masukan masyarakat, khususnya dunia pendidikan tinggi.
Sebagai pimpinan PTAIN yang selama ini mengabdi di bawah Kementerian Agama, maka saya ungkapkan bahwa penggunaan konsep umum dan khusus untuk menandai kewenangan menyelenggarakan pendidikan tentu tidak lagi relevan, sebab kenyataannya bahwa konsep umum dan khusus tersebut tidak relevan dengan UU Sisdiknas. Di dalam UU Sisdiknas istilah khusus digunakan untuk pendidikan dengan layanan khusus, seperti pendidikan di daerah terpencil dan sebagainya. Yang digunakan adalah istilah pendidikan kedinasan. Jadi penyelenggaraan pendidikan kedinasan dilakukan oleh instansi tertentu karena untuk memenuhi kebutuhan instansi dimaksud.
Jika istilah penyelenggara pendidikan khusus dibakukan di dalam UUPT, maka juga akan menjadikan Fakultas Kedokteran, Farmasi, dan lain-lain yang bertujuan untuk memenuhi ketenagaan di Kementerian Kesehatan seharusnya juga diboyong ke Kementerian Kesehatan dan bukan di Kementerian Pendidikan Nasional. Saya memiliki keyakinan bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi. Oleh karena itu, penggunaan istilah khusus untuk penyelenggaraan pendidikan di kementerian lain rasanya akan menjadi kesulitan tersendiri.
Di sisi lain, bahwa PTAIN juga sudah menyelenggarakan pendidikan secara variatif dalam konsepsi integrasi. Sebagaimana penuturan para rektor UIN yang sudah menyelenggarakan program integrasi keilmuan, maka dengan dibukanya kran penyelenggaraan pendidikan non-keislaman di Kementerian Agama maka project integrasi ilmu tersebut akan menjadi terealisasi. Di berbagai PTAIN kemudian muncul semangat untuk mengembangkan ilmu keislaman integrative secara luar biasa.
Jika saya boleh menyatakan, maka tahun integrasi ilmu keislaman dengan ilmu lainnya tersebut menuai masa luar biasa di era terbukanya kran pengembangan variasi ilmu pengetahuan di Kementerian Agama. Dengan dibukanya UIN Jakarta, UIN Jogyakarta, UIN Malang, UIN Riau, UIN Makasar, dan UIN Bandung, maka terjadilan proses integrasi ilmu yang sangat tinggi. Bahkan di IAIN juga terdapat semangat untuk melakukan integrasi ilmu dimaksud. IAIN Sunan Ampel mengembangkan Integrated Twin Towers untuk menandai proses integrasi ilmu dimaksud.
Melalui konsep pendidikan umum dan khusus, maka secara akademik akan memiliki implikasi yang sangat tinggi, sebab ada pendidikan umum dan khusus, dan yang khusus itu adalah pendidikan agama. Jadi pendidikan agama adalah bagian dari pendidikan khusus sebagaimana pendidikan paramedic, tenaga pertanian dan sebagainya. Melalui status pendidikan khusus ini, maka posisi ilmu agama hanyalah bagian dari pendidikan khusus yang dirancang untuk itu.
Inilah yang menjadi kendala utama proses islamisasi ilmu atau integrasi ilmu yang selama ini telah menjadi arah baru di dalam pengembangan keilmuan di PTAI di bawah Kementerian Agama. Proses yang sudah berjalan ini menandakan bahwa ada upaya luar biasa di kalangan PTAIN untuk semakin mendekatkan konsep ilmu umum dan ilmu agama.
Persoalannya adalah ketika proses ini berjalan dengan kuat, maka kemudian dilakukanlah proses sekularisasi ilmu pengetahuan, yaitu memisahkan ilmu agama dan ilmu umum. Konsep umum dan khusus bukan hanya menyebabkan penyelenggaraan pendidikan yang tereduksi, akan tetapi juga muatan akademik yang dipastikan akan tergelar.
Makanya, menurut saya kita semua harus tetap focus dan menjaga agar proses sekularisasi ilmu pengetahuan tidak akan terjadi di masa yang akan dating yang disebabkan oleh penggunaan konsep-konsep yang akan membawanya kea rah sana.
Wallahu a’lam bi al shawab.