• December 2024
    M T W T F S S
    « Nov    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    3031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SULITNYA MEMBANGUN BUDAYA BERSIH

Jika kemarin saya menyatakan bahwa perilaku kebersihan ditentukan oleh faktor lingkungan, maka saya ingin sekali lagi melihat bahwa budaya bersih sesungguhnya juga terkait dengan tradisi yang telah melembaga di dalam kehidupan masyarakat kita.

Memang ada perbedaan yang sangat kentara antara Singapura dengan Indonesia di dalam budaya kebersihan ini. Singapura sebagai negara kota, memang dengan sedikit gerakan untuk menertibkan warganya dan kemudian orang lain yang bermukim di negaranya, maka kota itu akan menjadi bersih. Akan tetapi di Indonesia memang harus mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk melakukan gerakan kebersihan tersebut.

Sebagai negara kota, Singapura memang harus menjadi ikon bagi kebersihan kotanya. Singapura memang sangat bergantung pada  kehadiran orang-orang untuk memperoleh nilai tambah bagi pendapatan negara dan penghasilan warganya. Sebagai kota Bandar, maka kehadiran kapal beserta orang-orangnya menjadi faktor penting. Makanya kebersihan kota lalu bisa dijual kepada mereka untuk menghasilkan imaje yang baik tentang kota tersebut.

Sebaliknya di Indonesia,  kota-kota terbentuk dari kaum migran dari pedesaan yang memang sedari awal memiliki tradisi yang kurang lebih permisif terhadap kebersihan lingkungan.  Masyarakat pedesaan memang kurang memiliki tradisi kebersihan lingkungan. Coba kita lihat, bagaimana binatang ternak bisa hidup serumah dengan pemilikinya.  Bukan di belakang rumah, akan tetapi di samping atau bahkan di depan rumahnya.  Maka, kebersihan lingkungan tentu bukan menjadi prioritas di dalam kehidupannya.

Kotoran sapi bisa menggunung di depan rumah. Mereka tetap menikmati bau kotoran sapi itu tanpa terganggu. Dunianya memang berdekatan dengan sapi, kambing, ayam dan sebagainya. Bau kotoran binatang ternak itu layaknya bau parfum para bintang film, Dian Sastrowardoyo, Atiqah Hasiholan, dan sebagainya.

Selain itu, di pedesaan juga terdapat banyak tanah lapang. Banyak halaman rumah yang luas, kebun dan ladang yang luas, sehingga orang bisa membuang sampah  di sembarang tempat. Bisa membuang sampah di kebun, di pinggir jalan, di sekitar rumah dan seterusnya. Tradisi ini terus berkembang hingga sekarang. Cobalah dilihat di daerah pedesaan. Meskipun sekarang sudah hidup di era transisi menuju modern, akan tetapi perilaku masyarakat terhadap lingkungan masih tetap sama.

Di pedesaan, memang tidak ada sangsi moral apapun terhadap perilaku kebersihan lingkungan. Masyarakat bisa membuang sampah di sembarang tempat. Makanya, jika kemudian terdapat banyak sampah berceceran di mana-mana juga tidak ada sangsi moral apapun. Tanah lapang, kebun yang luas, selokan dan sebagainya adalah tempat pembuangan sampah, baik kertas, bekas makanan, kain lusuh dan sebagainya bisa dibuang di mana saja.

Ketika mereka kemudian migrasi ke kota melalui proses urbanisasi, maka keberlanjutan tradisi tidak menjaga kebersihan lingkungan juga tetap terjadi. Makanya, banyak terjadi pembuangan sampah yang tidak terkendali. Di mana saja terdapat kerumunan orang, maka di situ sampah akan berserakan. Di terminal,  bandara,  sekolah,  universitas dan sebagainya, maka sampah bisa terdapat di mana saja.

Cobalah amati di tempat-tempat umum. Maka di sana akan banyak sampah yang terdiri dari puntung rokok, kertas, dan sebagainya yang berserakan di mana saja. Tentang hal ini, maka kiranya memang faktor kebiasaanlah yang menentukannya. Meskipun sudah disediakan tempat pembuangan sampah ang khusus, maka membuang sampah di tempat itu tidak dilakukan.  Jadi ketika mereka berada di kota, maka ketika itu pula tradisi membuang sampah sembarangan sebagaimana prilakunya di desa juga terus berlangsung.

Tradisi menjaga kebersihan lingkungan tersebut nyaris tidak ada. Hal tersebut tentu terkait dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan yang ternyata terus berlangsung, meskipun mereka berada di perkotaan. Jadi, ada continuitas di dalam tradisi membuang sampah di pedesaan tersebut dengan ketika mereka berada di perkotaan.

Itulah sebabnya problem kota yang paling berat adalah bagaimana menjaga agar lingkungan perkotaan menjadi bersih. Rasanya, banyaknya petugas kebersihan juga belum menjamin kebersihan kota, sebab selama tradisi membuang sampah sembarangan terus berlangsung, maka selama itu pula kebersihan lingkungan tidak akan tercapai.

Jadi, memang perlu memotong tradisi membuang sampah sembarangan dengan membuang sampah yang benar pada tempatnya. Hal ini tentu tergantung pada perubahan mindset dan tradisi kita sendiri.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini