KEDISIPLINAN SEBAGAI TANTANGAN BANGSA
Ada pelajaran lain yang bisa saja dipetik dari perjalanan ke luar negeri. Tidak usah jauh-jauh, ke Singapura saja. Sebagaimana yang telah saya tulis tentang “Antara Bandara Chicago, Changi dan Soekarno Hatta”, yaitu tentang kebersihan dan kedisiplinan. Saya masih ingin mengulas hal ini terkait dengan perilaku kita yang masih sangat permissive tentang kebersihan.
Mari coba kita amati perilaku warga Indonesia yang berada di luar negeri, ketika di Bandara luar negeri saja, misalnya di Bandara Changi. Maka bisa kita perhatikan bagaimana mereka memperlakukan sampah. Pastilah bahwa sampah itu akan dibuang di tempat sampah. Bahkan ketika tempat sampah itu jauh, maka mereka akan berjalan kaki untuk membuang sampah tersebut di tempatnya.
Kemudian, mari kita amati orang itu ketika sampai di Bandara Soekarno Hatta, maka perilaku itu berubah seketika, yaitu membuang sampah sekenanya. Sampah itu dibuang pada tempat sembarangan. Mereka tidak lagi mau berjalan untuk membuang sampah di tempat sampah. Mereka kembali menjadi permisif dalam urusan sampah.
Kita sesungguhnya lalu bisa bertanya: apakah yang mempengaruhi perilaku kita itu? Apakah lingkungan atau tradisi kita yang memang menyediakan ruang untuk bertindak seperti itu. Memang agak sulit dijawab. Akan tetapi melalui perspektif teori behavioral, maka akan bisa dicari jawabanya bahwa perilaku kita memang dipengaruhi oleh lingkungan kita. Ketika kita melihat lingkungan yang bersih, maka kita juga akan mengikutinya, akan tetapi ketika kita melihat lingkungan yang kotor, maka perilaku kita juga akan permisif melihat kekotoran.
Dalam kasus tindakan hukum, memang Singapura dikenal sebagai jago menerapkan hukum kebersihan lingkungan. Tidak ada ampun terhadap tindakan indisipliner terkait dengan kebersihan. Jika ada orang yang membuang sampah sembarangan, maka ketika itu pula akan dilakukan penindakan secara hukum. Melalui perangkat teknologi yang sudah sangat canggih, maka bisa saja tidak ada polisi atau petugas kebersihan, akan tetapi rekaman tentang tindakan indisipliner itu akan bisa diketahui.
Kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya juga sudah menerapkan gerakan Pro-Justisia. Salah satu di antara yang diusung oleh gerakan ini adalah gerakan kebersihan, melalui ungkapan: “Jangan Buang Sampah Sembarangan”. Bahkan papan layanan masyarakat juga sudah dipasang, dengan ungkapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sayangnya saya tidak hafal seluruh ungkapan itu. Akan tetapi bisa dinyatakan: “Bahwa barang siapa membuang sampah sembarangan maka akan dikenai sangsi denda uang atau hukuman kurungan.”
Akan tetapi berbagai papan layanan masyarakat itu juga hanya menjadi “pajangan” di jalan. Bahkan yang menyedihkan adalah ketika orang membuang sampah di tempat pengumuman itu. Sungguh sangat ironis. Perilaku indisipliner ini sebenarnya merupakan perpaduan antara mindset, lingkungan dan tradisi kita yang permisif. Ketiganya kemudian membentuk perilaku yang pemisif terhadap kebersihan lingkungan tersebut.
Mindset kita menyatakan berangkat dari posisi yang menyatakan: “gak apa-apa membuang sampah di sini” atau membiarkan sampah berseliweran dengan menyatakan: “kan sudah ada petugas kebersihan”. Atau yang lebih ekstrim, “petugas kebersihan kan dibayar” dan seterusnya. Melalui ungkapan ini, maka kemudian akan tertanam secara kuat dari orang ke orang, dari komunitas ke komunitas dan terus ke masyarakat.
Sebagai akibat mindset kita itu, maka orang juga menjadi abai terhadap kebersihan lingkungan. Bahkan secara langsung juga menyumbang kekotoran lingkungan. Orang tidak mau mencari tempat sampah meskipun tempat sampah itu ada di dekatnya. Apalagi yang jauh. Maka orang dengan mudah membuang sampah dari tempat duduknya, atau membuang sampah begitu saja sambil berjalan dan sebagainya. Bahkan yang menyedihkan ketika ada mobil plat merah (mobil dinas) dan kemudian orang dari dalam mobil itu membuang sampah sekenanya.
Kemudian berbagai tindakan itu lalu membuat tradisi buang sampah sembarangan menjadi kelaziman. Orang tidak peduli apakah kotoran di lingkungannya banyak atau sedikit, ada atau tidak ada. Yang jelas bahwa semuanya berjalan terus tanpa ada yang merasa hal itu sebagai tindakan indisipliner. Makanya, ketika kita melihat fasilitas umum kita kotor, maka hal itu memang karena tradisi kita yang permisif terhadap kekotoran.
Di dalam ajaran agama sudah ada peringatan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Artinya sesiapapun yang melakukan tindakan kebersihan, maka yang bersangkutan sudah memiliki separoh iman. Hanya problemnya bahwa belum semua masyarakat kita mengapresiasi terhadap ajaran teologis ini.
Jadi, memang perlu ada gerakan kebersihan ingkungan bagi masyarakat kita. Jika Negara lain bisa semestinya kita juga bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.