MEMBINCANG PANCASILA DENGAN KYAI MUCHID MUZADI
Kemarin, 05/07/2011, saya berkesempatan untuk menjenguk Kyai Muchid Muzadi di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya. Seperti biasanya, saya mesti berkesempatan berbicara panjang dengan Beliau di sekitar negara atau pemerintahan dan juga Pancasila. Maklumlah karena sesama berasal dari Tuban, maka sering kali pembicaraan menjadi gayeng dalam banyak hal.
Saya masih teringat, ketika saya call Beliau dan saya nyatakan: “saya Nur Syam, Kyai”, maka beliau mesti menanyakan balik, “Nur Syam Merakurak ya”. Itu adalah sapaan akrab beliau kepada saya setiap kali saya call Beliau. Saya masih ingat, ketika Beliau diundang bareng saya dan Beliau berhalangan hadir, maka Beliau menitipkan apa yang ingin Beliau sampaikan di forum diskusi. Begitulah Kyai Muchid Muzadi, Kyai yang sederhana dan penuh perhatian terhadap NU dan orang-orang dekatnya.
Saya selalu menyatakan kepada Beliau, bahwa pandangannya tentang “Menjadi NU Menjadi Indonesia” sering saya jadikan sebagai bagian untuk mengingatkan kepada generasi muda NU atau yang lain ketika saya diundang di forum-forum penting. Saya nyatakan bahwa ungkapan Beliau itu sangat relevan di era sekarang ketika kita sedang menghadapi kegalauan sebagai bangsa yang besar. Di tengah arus gerakan ideology yang bervariasi, maka pemikiran Kyai Muchid tentu sangat mendasar.
Semestinya, saya juga tidak merencanakan untuk berbicara apapun dengan Beliau. Saya tahu bahwa Beliau tentu harus istirahat. Akan tetapi tanpa saya sadari akhirnya kami juga berbicara panjang lebar tentang banyak hal. Dan akhirnya saya berbincang dengan Beliau tentang Pancasila. Saya sungguh mengagumi Beliau karena ingatannya yang masih sangat bagus tentang hal-hal mendasar tentang NU, Pancasila dan perjalanan bangsa ini.
Pancasila, bagi NU memang mengalami masa-masa fluktuatif. Artinya, bahwa ada masa di mana NU yang secara organisasional adalah bagian dari MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), maka pikiran-pikiran di dalam MIAI juga banyak mewarnai pemikiran NU. Akibatnya adalah dukungan secara politik NU terhadap pemikiran politik MIAI yang lebih puristik dalam memandang Islam dalam relasinya dengan Negara.
Sebagai akibat persinggungan di dalam MIAI, maka NU juga pernah terlibat mendukung Pancasila dengan rumusan Sila Pertama, sebagaimana yang tercantum di dalam Piagam Jakarta. Namun demikian, ketika terjadi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, maka NU menjadi penyangga Pancasila sebagai dasar Negara dan bahkan menjadi pilar pemerintah di dalam hal ini.
Puncak dukungan NU terhadap Pancasila adalah ketika NU bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial keagamaan dan politik di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa perjalanan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas bukan melalui jalan yang lempang. Penuh liku dan perdebatan. Salah satu perdebatan yang disulut oleh Kyai As’ad Syamsul Arifin adalah “apakah Presiden Soeharto akan menjadikan Pancasila sebagai agama”. Akhirnya diperoleh jawaban dari Presiden Soeharto, bahwa Beliau tidak akan menjadikan Pancasila sebagai agama. Pancasila adalah pedoman bermasyarakat dan berbangsa.
Untuk kepentingan tersebut, maka Kyai Muchid dimintai untuk merumuskan pikiran tentang relasi Islam dan Pancasila berdasarkan atas diskusi yang dilakukannya berdua. Begitu pentingnya naskah itu, sehingga tidak boleh ada orang lain yang tahu. Naskah itu beliau bawa sendiri ke Jakarta dan kemudian dipidatokannya di arena Muktamar di Situbondo. Naskah setebal 41 (?) halaman itulah yang kemudian menjadi dasar bagi penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Akan tetapi untuk merumuskan hal itu tentu melalui pedebatan yang panjang. Dan akhirnya bisa dirumuskan bahwa Pancasila bukan agama dan agama bukan Pancasila dan yang juga penting adalah bahwa mengamalkan Pancasila secara benar dan konsekuen merupakan pengamalan sebagian agama Islam. Dengan demikian, penerimaan NU terhadap Pancasila adalah sesuatu yang total, sebab tidak ada di dalam sila-sila Pancasila yang bertentangan secara teologis maupun sosial kemasyarakatan yang bertentangan dengan Islam. Nilai keesaan Tuhan, musyawarah dan mufakat, nasionalisme, kemanusiaan dan keadilan adalah prinsip-prinsip di dalam Islam yang sangat agung.
Keesaan Tuhan adalah doktrin teologis Islam yang sangat murni. Jadi sama sekali tidak ada pertentangannya dengan ajaran Islam. Konsepsi kemanusiaan yang digariskan sebagai sila kedua di dalam Pancasila juga merupakan prinsip Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Persatuan yang disemangati oleh nasionalisme merupakan bagian dari prinsip Piagam Madinah yang sangat mendasar, prinsip musyawarah dan mufakat juga memiliki justifikasi di dalam konsepsi Islam dan keadilan adalah prinsip Islam yang sangat mendasar.
Berdasarkan atas relevansi Pancasila dengan Islam itulah, maka Ulama NU di dalam Munas Alim Ulama di Situbondo menetapkan bahwa mengamalkan Pancasila adalah mengamalkan sebagian ajaran Islam. Oleh karena itu jika kemudian sikap NU yang menerima secara total di dalam menghadapi pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan adalah sesuatu yang sudah final tentu disebabkan oleh keyakinan keagamaan seperti itu.
Jadi sungguh tidak benar, jika ada yang menyatakan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas adalah keinginan untuk menyenangkan pemimpin bangsa, sebab ada dasar-dasar teologis dan sosiologis yang dijadikan sebagai pedoman di dalam hal itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.