MEMBINCANG RADIKALISME MENGEMBANGKAN NILAI PANCASILA
Di dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Nasional Demokrat (Nasdem), 04/07/2011, saya digoda habis oleh Dr. Suparto Widjojo, rekan saya dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Ketika beliau memberikan orasi dalam acara tersebut, beliau menyatakan bahwa Nasdem Jawa Timur ini membuat keterkejutan, “bagaimana tidak”, katanya, bahwa yang menjadi moderator ternyata adalah Profesor, Rektor, Doktor. Tapi ya itulah kok ya mau-maunya menjadi moderator”. Tapi ya kloplah, Profesor, Doktor, Rektor dan Moderator”. Tentu saja semuanya menjadi tertawa.
Acara yang diselenggarakan oleh Nasional Demokrat (Nasdem) memang menghadirkan tokoh-tokoh nasional yang luar biasa, yaitu Dr. KH. Hasyim Muzadi, dan Prof. Dr. Dien Syamsudin, MA., sebagai panelis utama dan enam lainnya sebagai panelis, yaitu Prof. Dr. Suparto Widjojo (Unair), Dr. Widya Utama, DEA (ITS), Dr. Njlatun Naqiyah (Unesa), Muhammad Yunus (MUI), Dr. Sutanto Soepiady (Untag), Ahmad Fauzi (DPR RI Partai Demokrat).
Di dalam pemaparannya, Dr. KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar Negara itu sesungguhnya sudah memenuhi kaidah di dalam agama Islam. Dilihat dari dimensi syariah, aspek politik dan mabadi’ khairo ummah. Dari dimensi syariah, maka keberadaan Pancasila dapat dikaitkan dengan Piagam Madinah. Di dalam piagam Madinah, maka semua unsure di dalam masyarakat memperoleh perlindungan secara nyata. Kaum agamawan apapun agamanya memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan. Yang dibedakan hanya kewajibannya terhadap Negara yang berupa pajak. Bagi mereka yang beragama selain agama Islam, maka diwajibkan membayar pajak lebih. Akan tetapi dalam pelayanan apapun tidak ada perbedaan. Bahkan dilihat dari sisi nasionalisme, maka semua berkewajiban membela madinah ketika Madinah diserang oleh bangsa lain atau masyarakat lain.
Kemudian secara politis, bahwa Pancasila itu merupakan consensus nasional. Memang Pancasila itu sudah yatim semenjak lahir. Dilahirkan tanggal 22 Juni 1945 akan tetapi baru diakui sebagai dasar Negara maka baru pada tanggal 18 Agustus 1945. Itulah sebabnya Pancasila juga sering diganggu di dalam perjalanannya. Pada pertengahan tahun 1950-an, bentuk Negara juga menjadi parlementer bukan lagi presidensiil. Maka kemudian, pada tanggal 5 Juli 1959 kemudian dikembalikan sebagai Negara Kesatuan. Lalu Pancasila juga ditarik ke arah komunisme di era tahun 1960-an dan kemudian menjadi liberalism di era tahun 1970-an- hingga 1990-an. Maka Pancasila kemudian menjadi tertarik ke sana-kemari sesuai dengan yang menafsirkannya.
Ketika Orde baru, maka Pancasila dijadikan sebagai pedoman di dalam berbangsa dan bernegara, akan tetapi yang dihafalkan adalah butir-butir Pancasila, sehingga yang diamalkan bukan Pancasilanya akan tetapi butir-butirnya saja. Tentu saja, upaya-upaya ini sangat baik di dalam kerangka mengembangkan kehidupan masyarakat atas dasar Pancasila, akan tetapi jika pengamalan Pancasila tersebut tidak relevan dengan kenyataan, misalnya merebaknya kemiskinan, korupsi dan sebagainya, maka akan menjadi masalah.
Kemudian tibalah reformasi yang dalam banyak hal salah arah. Memang demokrasi menjadi pilihan yang tepat. Akan tetapi yang terjadi adalah demokrasi liberal. Bahkan demokrasi identik dengan uang. Jadi bukan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi Keuangan Yang Maha Kuasa. Jika dicermati lebih lanjut, maka yang terjadi adalah “Industri demokrasi”. Siapa yang memiliki banyak uang, maka dialah yang berkuasa. Prof. Nur Syam ini tidak akan bisa menjadi bupati, sebab tidak memiliki uang yang cukup untuk menjadi bupati”. Jadi di dalam banyak hal terjadi penyelewengan di dalam pengamalan Pancasila.
Kemudian, pilihan Pancasilan dan NKRI juga sangat tepat bagi bangsa Indonesia. Berbeda dengan Negara-negara di Timur Tengah yang kebanyakan agamanya Islam saja. Maka pantas jika mengembangkan Negara Islam atau Negara agama. Tidak terdapat varian yang sedemikian besar sebagaimana Negara Indonesia. Di wilayah Timur Indonesia mayoritas Kristen, di Bali Mayoritas Hindu, lalu ketika Indonesia menggunakan Negara agama, maka dipastikan akan terjadi polarisasi. Makanya pilihan menjadikan Pancasila dan NKRI adalah relevan dengan tuntutan mabadi’ khoiru ummah.
Oleh karena itu yang dibutuhkan ke depan adalah bagaimana membangun system yang jelas-jelas relevan dengan Pancasila dan kepemimpinan yang tegas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua system peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada Pancasila. Makanya, UU di bidang ekonomi, perdagangan dan sebagainya juga jangan menjadi UU yang liberal terlepas dari nilai-nilai Pancasila. Jangan sampai Pancasila itu menjadi dasar Negara akan tetapi di dalam praktiknya tidak dilaksanakan. Sebagaimana akarnya adalah pohon mangga tetapi dicangkok dengan pohon jambu, maka buahnya adalah pohon jambu. Jadi akhirnya yang terjadi bukan buah mangga akan tetapi buah jambu.
Persoalan kepemimpinan bangsa juga harus tegas. Jangan menjadi pemimpin dengan membiarkan masalah-masalah berlalu tanpa penyelesaian. Biarkan saja masalah itu berlalu nanti minggu depan akan tertumpuk dengan masalah lainnya. Akhirnya yang terjadi adalah akumulasi masalah dan bukan penyelesaian masalah.
Namun demikian, kita semua tentu tetap yakin bahwa melalui pelestarian Pancasila maka kehidupan bangsa Indonesia akan terus berlangsung. Melestarikan dan membangun bangsa melalui empat pilar kebangsaan menjadi keniscayaan bagi bangsa ini. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan keberagaman adalah sesuatu yang mutlak bagi bangsa Indonesia.
Jadi, kita memang harus meneladani para ulama kita masa lalu yang dengan susah payah telah mendarmabhaktikan kehidupannya untuk keindonesiaan kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.