ETOS KERJA SAMA DENGAN ETOS BERIBADAH
Secara terminologis, etos adalah keyakinan tentang kerja yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang baik secara individual, sosial maupun institusional. Etos merupakan pattern for behavior yang mengarahkan perilaku atau tindakan manusia untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan pedomannya tersebut.
Jansen H Sinamo merumuskan standart etos kerja ke dalam delapan hal yang sangat empiris. Artinya bahwa etos kerja tersebut dapat diukur dengan menggunakan indikataor-indikator tertentu.
1. Kerja adalah Rahmat
2. Kerja adalah Amanah
3. Kerja adalah Panggilan
4. Kerja adalah Aktualisasi
5. Kerja adalah Ibadah
6. Kerja adalah Seni
7. Kerja adalah Kehormatan
8. Kerja adalah Pelayanan
Ada berbagai terminologis tentang makna kerja. Islam sesungguhnya memberikan pemahaman tentang kerja sebagaimana tertuang di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Allah SWT menyintai keperjaan yang berkualitas. Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, amal yang “Ihsan”, amal yang “Itqan”, dan ”al-Birr”. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibat buruk pula dalam beberapa istilah. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan, perbuatan yang sia-sia, pekerjaan yang bercampur dengan keburukan, pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk.
Kerja adalah ibadah dan status hukumnya adalah wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Sebagai kewajiban individual, maka bekerja haruslah dilaksanakan sesuai dengan standart pekerjaan yang seharusnya dilakukan. Di dalam terminologi kerja disebut bekerja harus bersumber dari etos kerja. Kerja harus dilakukan sebagai panggilan ibadah. Kerja harius didasari oleh mencari rahmat Allah swt, kerja harus disandarkan pada tanggungjawab sebagai khalifah fil ardl. Kerja harus bernafaskan panggilan. Kerja harus dimaknai sebagai amanah yang diberikan oleh masyarakat dan Allah swt. Kerja harus menjadi kehormatan bagi pelakunya dan yang lebih penting bahwa bekerja adalah memberikan pelayanan kepada sesama umat manusia dan diabdikan kepada kepentingan umat manusia.
Jika bekerja didasari oleh hal ini, maka tentu akan ada keyakinan bahwa bekerja merupakan sesuatu hal yang harus dilakkan secara sungguh-sungguh sehingga tidak ada orang yang bekerja hanya dengan semaunya sendiri. Dan pekerjaan itu tidak hanya akan dipertanggungjawabkan secara administratif kepada pimpinan akan tetapi juga dipertanggungjawabkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Wallahu a’lam bi al shawab.