REVITALISASI SUFI BAGI KEHIDUPAN UMAT MANUSIA
Prof. Dr. Nur Syam, M.Si.
Muqaddimah
Islam menyuguhkan tiga dimensi utama dalam konteks peribadatan manusia kepada Sang Khalik. Pertama, tauhid, dimensi ini mengetengahkan penjelasan yang wajib diyakini oleh tiap muslim berkaitan dengan sesuatu di luar diri manusia yang bersifat makrokosmik dan supernatural. Keyakinan ini merupakan sistem doktrin religius yang membedakan Islam dengan beberapa agama samawi lainnya. Firtjof Schuon misalnya, mengkategorikan bahwa pendekatan tauhid Islam lebih mengutamakan aspek keyakinan daripada kehadiran. Artinya, tiap muslim diwajibkan untuk meyakini tiap doktrin dalam rukun iman, daripada membuktikan kebenaran doktrin tauhid tersebut secara riil. Bisa jadi fakta yang diharapkan dapat membuktikan “kebenaran” keyakinan tidak akan pernah terpahami oleh manusia secara empiris sebab dimensi yang diyakini bersifat meta-empiris. Tauhid menjadi dasar bagi tiap muslim dalam menjalankan keberagamaannya. Tanpa dasar tauhid, maka amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak berarti dalam upaya penggapaian pahala dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat.
Khazanah pemikiran Islam membuat kategori bahwa ulama yang ahli dalam bidang teologi ini disebut dengan ulama mutakallimin yang menjadi rujukan bagi pemikiran tauhid Islam. Diantaranya dikenal Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi yang menjadi rujukan tauhid oleh warga nahdliyyin.
Kedua, syariah, dimensi ini memberikan penjelasan bagaimana seorang muslim menjalankan peribadatan baik secara vertikal kepada Allah dan peribadatan sosial di tengah lingkungannya. Dalam hal ini, tiap muslim dapat mencontoh bentuk teknis pelaksanaan ibadah dari Nabi Muhammad SAW melalui hadits dan sunnah yang telah diajarkan langsung oleh beliau. Umat Islam juga dapat mempelajari kehidupan sahabat, tabi’in, tabiit tabi’in dan ulama yang mengerti ilmu syariat Islam. Muncullah disiplin fiqh dengan metode penentuan hukum (ushul fiqh) yang kemudian sangat membantu umat Islam dalam beribadah kepada Tuhannya. Fungsi syariah adalah sebagai petunjuk teknis bagaimana sebuah ibadah dilakukan. Jadi, jika ingin menjawab pertanyaan bagaimana menjalankan ibadah, maka ilmu fiqh merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Warga Indonesia umumnya dan nahdliyyin sendiri dalam dimensi fiqh menyandarkan diri pada 4 (empat) ulama fiqh yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ibn Hanbal. Empat imam fiqh ini populer di kalangan muslim Indonesia karena dianggap produk fiqh-nya sesuai dengan konteks keberagamaan khas nusantara.
Ketiga, akhlaq, dimensi ini mengatur pola relasi etik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Kode etik inilah yang kemudian menjadi penghias pelaksanaan syariah dengan dasar tauhid yang dijalankan tiap muslim. Dengan kata lain, fungsi akhlaq dalam Islam dapat mengajarkan tentang jawaban bagaimana ibadah yang kita laksanakan itu diterima oleh Allah. Pada masa berikutnya, muncullah sufisme dalam Islam dengan sekian banyak variasinya yang berupaya menjalin kedekatan hubungan antara kita sebagai makhluk dengan Tuhan sebagai khalik.
Ada banyak tokoh tasawuf yang dikenal, diantaranya yang dijadikan rujukan oleh nahdliyyin adalah al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
Dimensi Tasawuf
Beberapa kalangan mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang berfungsi untuk mengetahui bagaimana cara penyucian jiwa, akhlaq, dan membangun dimensi lahir-batin untuk menggapai kebahagian yang abadi. Dari sisi etimologis, tasawuf berakar dari kata suf (صوف), bahasa Arab yang berarti wol. Hal ini merujuk kepada jubah sederhana yang biasa dikenakan oleh para sufi muslim era permulaan Islam. Definisi etimologis lain menyatakan bahwa akar kata dari sufi adalah safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf mengutamakan pada pencapaian kemurnian hati dan jiwa. Ada pendapat yang juga mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie yang memiliki arti ilmu ketuhanan. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa tasawuf merujuk pada fenomena dari ashab al-suffah (sahabat beranda) atau ahl al-suffah (orang orang beranda). Golongan ini adalah beberapa muslim zaman Nabi Muhammad SAW yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid dan kediaman nabi serta mendedikasikan dirinya untuk beribadah.
Tentang kemunculan tasawuf, ada beberapa penjalasan. Salah satunya adalah pendapat yang menyebutkan bahwa tasawuf muncul ketika adanya pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dalam hal politik. Hal ini memicu reaksi dari sebagian umat Islam lain dengan munculnya sikap bahwa politik dan segala aspeknya hanya akan merusak apa yang telah dibangun oleh Rasulullah beserta para sahabatnya. Kelompok ini lalu melakukan uzlah, yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi. Kemudian munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah dan diikuti oleh tokoh lain seperti Shofyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[1]
Dalam perkembangannya, tasawuf mengalami polarisasi sehingga terpolakan dalam berbagai bentuk dengan kekhasannya masing-masing. Pertama, tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Tingkatan tersebut bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdat al-wujud (kesatuan wujud antara Tuhan dengan manusia). Konsep ini juga didasarkan pada dasar normative dalam QS. Qaf: 16 yang menyatakan bahwa kedekatan Tuhan dengan hambanya melebihi kedekatan urat nadi. Tafsir sufi falsafi pada ayat inilah yang kemudian melahirkan konsep wihdat al-wujud. Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Tokoh tasawuf falsafi ini adalah Abu Yazid al-Busthami, Ibn Masarrah, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn Arobi dengan teori Emanasinya.
Kedua, tasawuf akhlaqi. Model tasawuf ini mengarah pada penyucian segala sifat yang Allah tidak ridla, sehingga melahirkan komunitas manusia yang mulia di hadapan Allah dan makhluk-Nya. Akhlak sendiri merupakan isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan wazan tsulasi majid dari af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (watak, kelakuan, atau tabi’at), al-adat (kelaziman atau kebiasaan), al-maru’ah (peradaban atau adab yang baik), serta al-din (ajaran atau agama). Kata akhlaq merupakan jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang memiliki arti sama dengan arti akhlaq. Dalam al-Quran, kata yang idiom dengan akhlaq dapat ditemukan dalam QS. al-Qalam: 4 (wa innaka la ‘ala khuluqin adzim), dan QS. al-Syu’ara: 137 (in hadza illa khuluqu al-awwalin). Dalam surat al-Qalam, kata akhlak diartikan sebagai watak, tabiat atau perangai, sedangkan dalam surat al-Syu’ara diartikan dengan adat atau kebiasaan.
Pada aspek lain, akhlak sendiri memiliki beberapa arti. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[2] Sedang Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3] Maka dapat diartikan bahwa akhlak adalah perbuatan yang telah biasa dilakukan secara terus-menerus melalui kesadaran diri, baik itu bawaan lahir, maupun hasil dari didikan yang diperoleh dari orang lain yang telah menyatu dalam diri dan tertanam dalam jiwa sehingga menjadi sifat kepribadian manusia sehari-hari.
Beberapa tokoh sufi akhlaqi adalah Haris Al Muhasabi (w. 243 H), salah seorang sufi yang populer dalam pembahasan tasawuf akhlaki melalui konvergensi antara syariat dan akhlak. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu mempunyai substansi dan substansi manusia adalah akal-budi yang disertai moralitas kemudian substansi akal adalah kesabaran. Lalu Sirri al-Saqthi ( w. .257 H), pendapatnya yang populer ialah bahwa kekuatan yang paling tangguh ialah kemampuan mengendalikan diri. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya, niscaya ia akan sanggup mengendalikan orang lain.
Ketiga, tasawuf sunni. Tasawuf sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf al-shalihin. Corak Tasawuf Sunni juga lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an ibadah yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada Allah. Implikasinya, kelompok ini konsisten dalam kegiatan dzikrullah serta konsekwen dan juga konsisten dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi.
Dari awal prosesnya, corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama zahir baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek di mata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan Ghozali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf. Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat nabi. Pengertian umum dari zuhud sendiri adalah zuhhaad, jamak dari zahid. Zahid diambil dari zuhd yang artinya tidak ingin. Tidak ambisius terhadap dunia, keemegahan, harta benda dan pangkat.
Gerakan asketisme itu sendiri dapat dibedakan menjadi 4 aliran utama;
1. Aliran Bashrah
Aliran Bashrah mulai nampak pada abad kedua Hijriyah. Aliran ini muncul dengan ciri khasnya yaitu, sikap asketisme yang sangat kuat dan lebih ekstrim serta mengembangkan sikap yang amat takut terhadap murka Allah, serta amat sangat takut terhadap siksa diakhirat. Pada periode inilah, sufisme mulai meluas dan berkembang dalam arti bahwa konsep-konsep yang tadinya semata-mata sebagai sikap hidup saja kemudian disusun sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Tokoh terpenting dari aliran ini. Antara lain Malik Ibnu Dinar dan Hassan Al-Bashri.
2. Aliran Madinah
Sejak masa permulaan Islam, di Madinah sudah terlihat kelompok-kelompok asketis yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-sunnah dan menempatkan Rasulullah SAW sebagai idola kezuhudan mereka. Ciri yang paling utama di aliran ini adalah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah kepada Allah, konsekuen serta konsisten dalam sikap walaupun datang berbagai godaan. Bagi mereka yang terpenting bagi mereka adalah mendepatkan diri kepada Allah serta menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengurangi kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Tokohnya yang terkenal diantaranya adalah Salman al-Farisi dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
3. Aliran Kufah
Apabila kedua aliran diatas lebih mengarahkan perhatian kepada ibadah dan menghindari pengaruh-pengaruh yang merusak. Maka, aliran Kufah lebih bercorak idealis. Gemar kepada hal-hal yang bersifat imajinatif yang biasanya dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahami ketetapan dan sedikit mirip kepada aliran Syi’ah. Namun, secara keseluruhan aliran ini masih berpola ahlu sunnah wal jama’ah. Ciri khas aliran ini yaitu rasa keagamaan yang kental, asketisme yang keras, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Tokohnya yang terkenal yaitu, Shufyan al-Tsauri.
4. Aliran Mesir
Aliran mesir memiliki kesamaan ciri dengan aliran Madinah. Sebab aliran ini sebenarnya adalah perluasan dari aliran Madinah yang tersebar melalui sahabat yang ikut serta ke Mesir pada saat Islam memasuki kawasan itu. Tokohnya adalah Dzu al-Nun al-Mishri.
Dalam perkembangannya, tasawuf inilah yang kemudian melahirkan aliran tarekat dalam Islam. Dikenal nama tarekat seperti Qadiriyah yang didirikan Syaikh Abdul Qadir Jailani (w. 116 M), Rifa’iyah yang didirikan Muhammad al-Rifai (w. 1183 M), Sammaniyah yang didirikan Syeikh Muhammad Samman, Syattariyah yang didirikan Syaeikh Abdullah al-Syattari (w. 1417 M), dan Naqsabandiyah yang didirikan Syeikh Muhammad al-Naqsyabandi (w. 1388 M). Di Indonesia sendiri dikenal beberapa kelompok tarekat yang telah eksis sekian lama dalam memberikan kontribusi keindahan kehidupan beraga di Indonesia.
Dari Tasawuf Menuju Perdamaian
Dalam tasawuf, ada dua hal utama yang menjadi arus besar pendekatan kepada Tuhan, yaitu al-shidqu ma’a al-haqqi (jujur kepada kebenaran) dan al-khulqu ma’a al-khalqi (akhlaq kepada makhluk). Maka kejujuran dan akhlak adalah dua tema utama dalam pembahasan tasawuf.
Ada beberapa klasifikasi tentang kejujuran, pertama, shidqu al-qalb (kejujuran hati). Kejujuran seperti ini menuntut tiap orang untuk memurnikan hatinya sebelum memurnikan tindakan af’aliyahnya. Kejujuran hati dapat ditempuh ketika manusia berupaya untuk ikhlas dalam berbuat, tawakkal, khusyuk dan selalu berzikir. Kedua, shidqu al-qoul (kejujuran ucapan). Kejujuran dalam berucap menuntut keberanian seseorang untuk dapat menerima sikap sosial yang diberikan oleh orang lain atas ucapan yang disampaikannya. Akan sangat mungkin dengan ucapan yang jujur tersebut, ada orang lain yang merasa dirugikan dan pada nantinya orang tersebut akan mencela orang yang berkata jujur itu. Konsekwensi sosial inilah yang sulit mendorong untuk dapat berkata dengan jujur, walaupun juga disadari bahwa perkataan yang jujur akan menumbuhkan sikap yang maslahah bagi lingkungan sekelilingnya. Ketiga, shidqu al-amal (kejujuran dalam berbuat). Keempat, shidqu al-wa’d (kejujuran dalam berjanji), dan kelima, shidqu al-hal (kejujuran dalam kenyataan lahir). Jika konsep ideal seperti ini dapat dibawa dalam konteks yang lebih makro seperti kehidupan sosial yang nyata, alangkah indah jika semua orang mengutamakan kejujuran sebagai landasan berfikir, berbicara dan berperilaku.
Dalam konteks akhlak kepada Tuhan, diri dan lingkungan, kita dapat mengkaji pergulatan hidup Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terlahir sebagai budak, mendorongnya untuk menjadi pecinta Tuhan, sebuah cinta yang tidak mengarah pada penguasaan dan pembelengguan. Sejauh pengalaman manusia, cinta biasanya akan melahirkan penguasaan. Sederhananya adalah cinta orang tua terhadap anaknya. Meskipun bisa dinilai sebagai cinta yang tulus, yang tidak mengharapkan kompensasi, namun ia tetap melahirkan penguasaan. Orang tua akan sedih jika anak tersebut meninggalkannya baik dalam bentuk kematian atau bentuk perpisahan lain.
Sebab itu, Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan untuk menaklukan keinginan menguasai. Sejatinya cinta itu membebaskan. Cinta yang pada dasarnya menyatu dalam kehidupan manusia harus bisa menciptakan keharmonisan dan keamanan. Konflik dan peperangan menggambarkan bahwa sejauh ini cinta justru melahirkan penguasaan dan pembelengguan.
Maka dapat dicermati bahwa tasawuf mengajak untuk berdamai dengan diri. Perdamaian dengan diri menjadi kunci kebahagiaan. Bagi kaum sufi, keinginan adalah kekuatan yang dapat menyengsarakan manusia. Keinginan merupakan hasrat yang tidak terkait dengan kebutuhan primer seseorang. Keinginan hanyalah dorongan untuk mendapatkan kepuasan. Karena itu, seseorang yang sudah dikuasai oleh hawa nafsu akan mengalami konflik batin. Dalam kata lain, nurani akan berpotensi terluka. Keserakahan dan arogansi lahir dari nurani yang telah berubah menjadi kegelapan.
Pelajaran dari konsep cinta ini adalah kemampuan untuk berdamai dengan diri sendiri, dalam arti dapat menghentikan perang yang berkecamuk dalam konflik batin. Kemampuan menundukkan keinginan dengan sendirinya akan melahirkan kebahagiaan. Dalam ajaran tasawuf, kebahagiaan manusia tidak terletak pada kepemilikan, melainkan pada kecintaan dan ketaatan kepada Allah. Bisa dibayangkan, ajaran perdamaian semacam inilah yang mewarnai penyebaran Islam di Indonesia. Hal ini akan berpengaruh terhadap penilaian tentang apa yang dinilai oleh agama sebagai kemungkaran dan dosa.
Sebab itu, karakter keberagamaan yang moderat di Indonesia sebenarnya diwarnai oleh pengaruh tasawuf tadi. Penyebaran Islam di Indonesia pada abad ke-13 hingga beberapa ratus kemudian lebih berorientasi pada perenungan problem eksistensi manusia, bagaimana manusia memandang hidupnya, relasinya dengan alam dan mahluk lain. Nah, dalam konteks inilah muncul harapan agar perkembangan Islam akan dapat berkaitan dengan arus perbaikan perdamaian dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat baik dalam skala lokal, regional maupun internasional. Semoga.
[1] Solihin, M. Anwar dan M Rosyid. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Nuansa ,2005) h. 177-178
[2] Imam Al-Gazali, Ihya ‘Ulumuddin, Jld. III, Dar al-Fikri, Beirut, tt, Hal. 56.
[3] Ibnu Maskawaih, Tahzib Al-Akhlaq Wa Tathhir Al-A’raq, Al-Mathba’atul Mishriyah, Mesir, Cet. I, 1934, Hal. 40.