KEKERASAN AGAMA PASCA VONIS ABU BAKAR BAASYIR
Ketika Abu Bakar Baasyir, Amir Jamaah Anshorut Tauhid, akan divonis, maka banyak eksponen gerakan Jamaah Anshorut Tauhid yang datang ke Jakarta. Mereka datang tentu saja dengan maksud untuk mendukung terhadap gerakan keagamaan Jamaah Anshorut Tauhid, dan sekaligus juga memberikan pressure kepada para hakim di dalam proses penentuan hukuman tersebut.
Memang pasca reformasi banyak kejadian tentang penentuan hukuman bagi seseorang yang dianggap melakukan tindakan “melawan” hukum dengan cara berdemontrasi ketika akan dibacakan putusan pengadilan kepada yang bersangkutan. Kita tentu masih ingat ketika Habib Rizieq akan dikenai hukuman terkait dengan tindakan yang dianggap “kekerasan” agama, maka jamaah FPI kemudian datang ke pengadilan untuk show of force tentang kekuatan kelompoknya.
Di dalam kasus Abu Bakar Baasyir pun juga terjadi seperti itu. Di dalam pemberitaan disebutkan ada sebanyak 40 orang dari Mojokerto yang bertret-tet-tet ke Jakarta untuk memberikan dukungan kepada Abu Bakar Baasyir tentang kasus yang dihadapinya. Mereka datang ke Jakarta dengan menggunakan kereta api dan akan menginap di daerah Bekasi. Begitulah pemberitaan di sejumlah televisi kemarin, 16/06/2011.
Bertepatan saya memang diundang khusus untuk berbicara tentang bagaimana kekerasan agama pasca vonis Abu Bakar Baasyir di MetroTV pada acara Titik Tengah yang dikaitkan dengan seputar Berita Jawa Timur. Acara yang dipandu oleh Brigitta Manohara ini memang banyak menghadirkan orang yang dianggap memahami tentang hal-hal yang dibicarakan. Ketepatan yang diundang di dalam acara ini adalah saya, yang memang dalam banyak hal sering dimintai komentar tentang kekerasan agama.
Ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Gita tentang bagaimana pandangan saya tentang keputusan Hakim menghukum 15 tahun penjara kepada Abu Bakar Baasyir dan bagaimana dukungan jamaahnya terhadap tokoh yang satu ini? Maka saya nyatakan bahwa persoalannya bukan berapa lama Abu Bakar Baasyir dihukum akan tetapi yang lebih penting adalah bahwa apakah pemberian hukuman tersebut sesuai dengan bukti keterlibatannya di dalam gerakan teror di Indonesia.
Maka menurut saya, bahwa hakim di dalam menentukan hukuman tersebut tentu sudah mempertimbangkan dengan cermat tentang bukti-bukti yang bisa dihadirkannya. Saya percaya bahwa bukti-bukti itulah yang dijadikan sebagai rujukan oleh para hakim di dalam menentukan hukuman yang pantas kepada seseorang yang dianggapnya salah di dalam melakukan tindakan, terutama terkait dengan tindakan kekerasan agama.
Pasti akan ada pro dan kontra tentang apakah hukuman itu adil atau tidak. Terbukti adanya sejumlah orang yang melakukan “pembelaan” dan juga “pressure” terhadap putusan hakim itu. Mereka adalah orang yang selama ini menjadi penganut setianya dan tentu mereka ada di mana-mana. Terbukti misalnya dari Mojokerto, yang selama ini mungkin luput dari perhatian kita semua. Aparat tentu harus memahami bahwa gerakan-gerakan seperti ini ternyata telah menjadi bagian dari sebagian kecil dari masyarakat kita. Tetapi melihat banyaknya aparat yang datang di stasiun Mojokerto, tentu asumsi bahwa kepolisian tidak memahami tentang keberadaan jamaah yang mengusung gerakan-gerakan seperti ini lalu terbantahkan.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Bill Liddle, bahwa gerakan keagamaan fundamental akan menjadi semakin kuat di era reformasi di mana keterbukaan, demokratisasi dan HAM menjadi arus utama. Terbukti bahwa gerakan Keagamaan Keras seperti ini kemudian menjadi kekuatan yang bukan lagi laten sebagaimana di era Orde Baru, akan tetapi sudah menjadi kekuatan riil di masyarakat kita. Saya berkeyakinan bahwa di hampir seluruh kabupaten di Jawa Timur terdapat gerakan-gerakan keagamaan seperti ini. Di dalam pertemuan Bakesbang Provinsi Jawa Timur pernah diungkapkan semakin menjamurnya gerakan-gerakan yang mengkafirkan terhadap umat Islam lainnya.
Oleh karena itu, maka aparat kepolisian harus semakin meningkatkan kewaspadaannya. Cara yang dilakukan dengan melakukan sweeping terhadap kendaraan adalah salah satu cara yang bisa dilakukan, dan apalagi juga terbukti ada yang kemudian menemukan senjata api di dalam kendaraan roda empat. Ini juga membuktikan bahwa memang ada gerakan yang dilakukan oleh pengikut agama dengan format kekerasan tersebut.
Selain itu, masyarakat juga tentu harus membantu terhadap aparat keamanan. Jika kemudian didapati pengajian atau pertemuan yang kemudian mengkafirkan terhadap pemeluk Islam sendiri, maka masyarakat harus melakukan tindakan persuasive agar pengajian lebih diarahkan untuk memberi keteduhan dan bukan permusuhan.
Melalui tindakan partisipatif seperti ini, maka saya berkeyakinan bahwa ke depan akan didapati kegiatan keagamaan yang bisa membuat kita semua tidur nyenyak dan beribadah kepada Allah dengan kedamaian dan bukan dengan acamanan kekerasan.
Wallahu a’lam bi al shawab.