DEKONSTRUKSI GENDER
Kemarin, 13/06/2011, dilaksanakan satu diskusi yang menarik tentang Hasil Penelitian dengan Tema “Gender Decontruction of the Role of Woman in Indonesia”. Tema ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Kuntari P. Djanuarsi, mahasiswa PPS Unesa, terhadap karya Lan Fang dengan judul “Ciuman di bawah Hujan”. Yang menarik diskusi tentu saja karena dihadiri oleh Konsulat Jenderal Amerika Serikat, Kristen Bauer, dan juga dihadiri oleh segenap staf Konjen, Lan Fang, dan beberapa dosen dari Unesa, Petra dan mahasiswa IAIN Sunan Ampel.
Acara yang dimotori oleh toko Buku Gramedia ini memang sengaja digelar di IAIN Sunan Ampel karena beberapa pertimbangan. Yaitu reputasi IAIN Sunan Ampel dan Mahasiswa IAIN Sunan Ampel yang selalu welcome terhadap diskusi yang diselenggarakan oleh Lan Fang. Dan saya secara pribadi juga sangat mendukung terhadap acara ini, bahkan menjadi pembicara tentu juga karena Lan Fang yang penulis produktif tersebut sering cangkruan di IAIN Sunan Ampel untuk membahas karya sastra, buku dan sebagainya.
Di dalam kesempatan yang membanggakan ini, saya lalu melihat tentang dekonstruksi peran perempuan tersebut di dalam kerangka sosiologis, sebagai ilmu yang sedikit atau banyak saya kuasai. Tentu saja karena saya adalah Guru Besar Sosiologi, sehingga ketika melihat tentang dekonstruksi perempuan di dalam peran sosialnya juga menggunakan perpektif teori yang saya pahami.
Membincang tentang relasi gender, maka ada dua pendekatan yang lazim digunakan, yaitu: gender sebagai nature dan gender sebagai nurture. Sebagai sesuatu yang nature atau alami, maka memang harus diakui bahwa ada perbedaan gender yang memang berasal dari sananya. Misalnya perempuan menyusui sedangkan lelaki tidak. Perempuan bisa hamil sedangkan lelaki tidak. Meskipun ada lelaki di Cina yang bisa hamil, akan tetapi hal itu bukan peristiwa alami, namun dibuat agar bisa hamil. Perempuan haidl sedangkan lelaki tidak dan seterusnya.
Sementara itu ada yang nurture atau hasil konstruksi manusia atau masyarakat. Di dalam konteks konstruksi social inilah kemudian dihasilkan konsep tentang ruang domestic dan ruang public untuk kaum perempuan. Lelaki dikaitkan dengan ruang public dan perempuan direlasikan dengan ruang domestic. Perempuan berada di dalam rumah dan lelaki di luar rumah. Ada semacam pembagian yang begitu ketat tentang ranah lelaki dan perempuan ini. Namun sesungguhnya di masyarakat Indonesia tidaklah sekeras itu di dalam memberikan batasan peran perempuan di dalam ranahnya masing-masing.
Masyarakat pedesaan Jawa, sebelum adanya modernisasi pertanian justru sudah mengenal peran public tersebut di dalam kaitannya dengan pekerjaan di sector perempuan. Nilai ekonomi perempuan di dalam rumah tangga begitu signifikan. Perempuanlah yang banyak mengerjakan pekerjaan di sector pertanian, mulai dari menanam padi sampai mengetamnya. Peran perempuan menjadi tergeser sebagai akibat adanya modernisasi pertanian terutama di era tahun 1980-an.
Konsep tentang gender dengan tiga ranah yang diskriminatif sesungguhnya berasal dari dunia barat, yaitu yang disebut sebagai gender differentiation, gender inequality dan gender oppression. Perbedaan peran gender memang ada di manapun. Akan tetapi sesungguhnya tentang ketatnya pembatasan ranah bagi perempuan khususnya masyarakat Jawa, saya kira tidak seperti masyarakat Timur Tengah.
Akhir-akhir ini terdapat gerakan perempuan untuk menuntut perempuan bisa mengemudi mobilnya sendiri di Timur Tengah, sementara itu di Indonesia tuntutannya sudah pada aspek yang lebih luas, yaitu bagaimana lelaki dan perempuan memiliki kesamaan dalam banyak hal. Misalnya, tentang peran perempuan di dalam dunia politik. Tuntutan tersebut adalah pada quota perempuan sebesar 30 persen untuk representasi perempuan.
Saya memang kurang setuju dengan pemberian quota perempuan 30 persen ini, sebab hal itu berarti memberikan porsi pada kaum perempuan tidak sesuai dengan kualitas dan kapabilitas lelaki dan perempuan. Saya akan setuju jika perempuan diberi kesempatan sesuai dengan kemampuannya yang memang sama atau hampir sama dengan kaum lelaki. Bukankah akses perempuan untuk pengembangan diri juga sudah sangat terbuka. Bukankah akses bagi perempuan untuk bekerja sudah sangat terbuka. Makanya kurang relevan memberikan quota yang seakan justru memberikan label perempuan harus diberikan haknya tanpa ada kompetisi.
Sekarang situasinya sungguh sudah sangat berbeda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Windyastuti, dosen Universitas Airlangga, tentang Perempuan di dalam Pilkada, Kasus di Jawa Timur dan Sulawesi Utara, maka ditemui begitu antusiasme perempuan di dalam pilkada. Dan mereka tidak menyinggung tentang relasi gender di dalam kampanyenya. Mereka menganggap bahwa perempuan sekarang sudah layak untuk menjadi pimpinan daerah. Hanya saja, bahwa masih ada di antara mereka yang beranggapan bahwa menjadi calon di dalam pilkada hanya sekedar numpang lewat.
Sesungguhnya, kran perempuan di dalam memasuki ruang public sudah dibuka lebar. Hanya saja yang penting adalah bagaimana perempuan memanfaatkannya di dalam kerangka untuk aktualisasi diri di tengah perubahan social yang terus terjadi.
Semakin konpetitif kemampuan perempuan di dalam banyak aspek kehidupan social, maka semakin besar peluang perempuan untuk memasuki ranah public. Jadi semuanya tergantung bagaimana perempuan mengkonstruksi dirinya sendiri di dalam peran social yang ingin dimainkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.