• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENILAI ULANG CLIFFORD GEERTZ

Clifford Geertz oleh kaum akademisi disebut sebagai jendela kajian Indonesia. Hal ini  tentu saja terkait dengan peran Geertz sebagai ilmuwan yang banyak melakukan pengkajian tentang Indonesia di dalam berbagai anggelnya. Jika orang mengkaji tentang  perubahan social di perkotaan, maka dia harus memulai perspektif teoretiknya dari hasil kajian Geertz. Jika orang akan mengkaji tentang social ekonomi, maka dia juga harus mengkaji tentang temuan Geertz di bidang social ekonomi. Jika orang akan mengkaji budaya Indonesia,  maka orang juga harus mengintip Geertz di dalam kerja akademik kebudayaannya. Dan lebih lagi jika orang akan mengkaji tentang Islam Indonesia, maka orang juga harus menjadikan Geertz sebagai guru akademiknya.

Berdasar atas keluasan kajian Geertz seperti itu, maka pantaslah jika Geertz bisa dipuja bagaikan dewa akademis yang telah berhasil membuat orang menjadi doctor, master dan bahkan professor. Ada ribuan kajian tentang Geertz baik yang berupa disertasi, tesis, skripsi, naskah di jurnal dan sebagainya. Atas sumbangannya yang luar biasa bagi kajian Indonesia tersebut, maka pantaslah jika Geertz menerima apresiasi akademik yang sangat penting.

Kehebatan seorang akademisi adalah ketika karya-karyanya banyak dijadikan sebagai rujukan. Dijadikan rujukan tersebut bisa saja ditolak atau diterima atau bahkan direvisi. Jika kita melihat para akademisi yang menggerakkan dunia akademis, maka kita bisa mengapresiasi terhadap Max Weber yang karyanya terus dibahas oleh orang hingga sekarang. Demikian Durkheim, Karl Marx dan sebagainya. Saya kira Geertz memiliki kesejajaran dengan mereka-mereka ini yang disebabkan oleh fungsi teoretik akademiknya yang terus menggelora menyemangati kaum akademisi hingga sekarang.

Salah satu kebahagiaan seorang akademisi adalah ketika konsep atau teori atau proposisinya dijadikan sebagai rujukan, diterima atau bahkan dibanting-banting karena dianggap tidak relevan, kadaluwarsa atau bahkan salah. Sebagai seorang akademisi, maka ketika tulisan itu dikaji orang maka akan memunculkan kebahagiaan karena ada yang memperhatikan, membincangkan dan mendiskusikan. Kaum akademisi tentu akan menjadikan diskusi tersebut sebagai sarana untuk melakukan kajian demi kajian berikutnya.

Geertz Sebagai Penemu Konsep Baru

Kepakaran Geertz dalam studi Indonesia tentu diakui oleh seluruh akademisi yang bergerak di dalam ilmu social.  Kehebatan Geertz di dalam studi Indonesia tentu saja diakibatkan oleh temuan-temuannya yang kemudian menjadi bahan perdebatan semenjak konsepsinya tersebut dipublis. Kehebatan Geertz adalah ketika beliau mampu untuk mencari celah atau gap antara teori yang dihasilkan oleh para pendahulunya dan kemudian meramunya menjadi temuannya sendiri yang unik dan orisinal.

Tidak banyak akademisi yang mampu untuk melakukannya. Tidak hanya sekedar satu disiplin ilmu yang kemudian menjadi pakar dan bahan perbincangan, akan tetapi juga bidang-bidang yang lain. Itulah sebabnya banyak akademisi di era berikutnya yang kemudian tertarik untuk memperbincangkan temuan konseptualnya.

Sebagai seorang penemu, sesungguhnya Geertz adalah seorang peramu yang sangat hebat. Cobalah simak bagaimana dia menemukan konsepsi antropologis, interpretative simbolisme. Sesungguhnya, Geertz sangat tertarik dengan konsepsi antropologi kognitif, yang mengkaji relasi antara kognisi, budaya dan  ide  manusia.  Sebagai system kognisi, maka kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang share dimiliki oleh manusia. Sebagai system kebudayaan, maka kebudayaan berisi tentang seperangkat pedoman yang dijadikan sebagai pegangan manusia untuk melakukan tindakan. Kemudian sebagai system ide, maka kebudayaan berisi tentang seperangkat gagasan manusia tentang sesuatu yang idel dan dicita-citakan.

Geertz kemudian bertanya, bagaimana menghubungkan ketiganya itu. Di sini maka Geertz menemukan yang kemudian disebut sebagai system symbol. Melalui system symbol itu, maka relasi antara system ide, system kognisi dan system kebudayaan akan bisa dipertemukan. Kebudayaan akan menjadi sesuatu yang share di antara sesame manusia disebabkan oleh adanya system symbol yang  terus menerus dilanggengkan.  Misalnya untuk mengetahui identitas keagamaan seseorang, maka tidak usah ditanyakan system ide, kognisi dan system kebudayaannya, akan tetapi cukup dipahami symbol-simbol yang digunakannya. Jika seseorang memakai kalung liontin “Salib” maka bisa diduga bahwa yang bersangkutan beragama Protestan atau Katolik. Meskipun juga ada yang bisa memiliki makna lain. Ada cerita tentang seorang Pemijat professional, berusia muda dan memakai liontin dengan lambang “Salib” akan tetapi yang bersangkutan bukan penganut agama Nasrani, akan tetapi hanya sebagai aksesoris. Dia menyatakan:  “senang dengan bentuknya”.

Makanya, kemudian Geertz bisa menjadi pemuka madzab baru di dalam jajaran kajian antropologi yang dikenal sebagai Madzab Simbolik Interpretatif. Dia menemukan konsep baru tentang relasi antara sistenm ide, kognisi dan kebudayaan manusia. Melalui system symbol inilah maka kebudayaan terus bisa dipahami dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui enkulturasi atau akulturasi budaya.

Orang tidak banyak menduga bahwa konsep “Abangan, Santri, Priyayi” adalah konsep yang dibangun dan dikembangkannya berdasarkan atas kajian Redfield tentang relasi  “Desa Kota”. Di dalam kajian sebelumnya, yang banyak dibahas adalah relasi desa kota. Sepertinya tidak ada varian lain yang bisa menjadi varian baru di dalamnya. Akan tetapi ketika Geertz melakukan kajian di Indonesia, maka dia melihat ada varian komunitas lain yang tidak tersentuh selama ini, yaitu komunitas pasar. Di dalam lokus desa beliau melihat ada komunitas petani dengan system kebudayaannya yang khas, kemudian ada lokus perkotaan dengan komunitas priyayi atau birokrat yang berkebudayaan khas dan ada lokus pasar dengan komunitas santri yang berkebudayaan khas. Makanya dari  konsep yang dikhotomis desa-kota bisa dihasilkan konsep baru yang  trikhotomis  “desa-kota-pasar.”

Dari pengamatannya inilah kemudian Geertz membangun konsepnya yang luar biasa, yaitu Abangan, Santri, Priyayi Pada Masyarakat Jawa. Yang Abangan adalah kaum Petani di pedesaan Jawa, Yang Santri adalah kaum pedagang  di pasar dan yang Priyayi adalah para pegawai pemerintah yang berpusat di kota.  Di dalam bukunya ini tergambarkan dengan sangat mendasar mengenai pandangan budaya orang Jawa yang sangat komplit. Bahkan suatu ketika, Parsudi Suparlan menyatakan “jika ingin belajar Kebudayaan Jawa, maka harus membaca Clifford Geertz.” Jadi, memang gambaran Geertz tentang kebudayaan Jawa sangatlah lengkap.

Melalui kajiannya itu, maka ada dua hal mendasar mengenai kebudayaan, yaitu kebudayaan sebagai pattern for behavior dan sebagai pattern of behavior. Sebagai pola bagi tindakan, maka kebudayaan adalah seperangkat aturan atau pedoman yang dijadikan sebagai poenginterpretasi tindakan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan, maka kebudayaan adalah apa yang terjadi sehari-hari di dalam tindakan masyarakat. Jadi di dalam realitas empiris, maka misalnya slametan juga memiliki dua pola tersebut, yaitu ada yang dijadikan pedoman untuk  melakukan tindakan slametan dan ada tindakan sehari-hari di dalam melakukan slametan.

Melalui kajiannya ini, maka dunia slametan yang khas Orang Jawa dan jauh berada di pelosok pedesaan Jawa bisa menjadi bahasa Akademik internasional. Slametan merupakan upacara komunal masyarakat Jawa yang oleh Geertz disebut sebagai upacara sinkretisme khas Jawa menjadi lahan kajian yang tidak habis-habisnya untuk dibicarakan.

Bahkan melalui kajiannya tentang The Religion of Java, maka Geertz telah mengambil posisi sebagai pemuka madzab  antroplogi Simbolik interpretative dan menghasilkan pendukung dan penentang yang luar biasa.  Saya mencoba untuk merumuskan ada dua tipologi untuk menjelaskan posisi Geertz di dalam dunia antropologi budaya.

Dua tipologi tersebut adalah Islam Jawa yang sinkretik dan Islam Jawa yang akulturatif.  Islam  sinkretik adalah Islam hasil perpaduan antara Islam dan budaya Jawa dan kenyataannya budaya jawalah yang lebih dominan. Islam hanyalah aksesori belaka akan tetapi substansinya dalah kebudayaan Jawa yang adiluhung. Di antara pendukung konsep Geertz adalah Andrew Beatty, Erni Budiwanti, dan sebagainya. Sedangkan yang menolak konsepsi Islam sinkretis dan memberinya nama Islam Akulturatif, adalah Mark Woodward, Muhaimin, John Ryle Bartholomew  dan sebagainya. Makanya muncul istilah-istilah, seperti  Islam Konvergensi, Islam alternative, Islam Kolaboratif dan sebagainya.  

Pertarungan konseptual ini justru menarik, sebab dengan begitu terjadi dialog konseptual yang sangat kreatif. Dan lebih lanjut kemudian menghasilkan pohon konsep yang memiliki cabang-cabangnya yang sangat jelas. Tugas akademisi adalah membangun kelanjutan pohon konsep tersebut dengan cara mendiskusikan secara memadai. Tipologi kajian-kajian ini kelak akan menjadi saksi akademis bahwa terdapat perbincangan akademis yang sangat serius untuk menemukan mana yang dianggap relevan dengan realitas social pada zamannya.

Menilai Ulang Geertz

Konsep Geertz tentang Abangan santri Priyayi mungkin sudah saatnya untuk dicek relevansi konseptual dan empirisnya di era sekarang. Apakah konsep-konsep tersebut masih relevan atau tidak. Sebagai konsep kebudayan, maka ada yang disebut sebagai pola umum berlaku mendasar dan pola khusus berlaku mendalam. Di dalam hal ini, maka tentunya terdapat konsep Geertz yang masih berlaku hingga sekarang dan ada yang kiranya memang membutuhkan evaluasi.

Konsep Abangan, meskipun dianggap pejorative, akan tetapi kenyataannya masih bisa dijumpai secara empiris meskipun dengan tingkat relevansi konsepnya yang semakin menciut. Meskipun geertz tidak berbicara generalisasi, akan tetapi hingga tahun 1970-an, maka konsep Abangan masih sangat mudah dijumpai di dalam kehidupan masyarakat.  Misalnya masih sangat mudah dijumpai upacara nyadran dengan berbagai tradisinya. Demikian pula system kebudayaan petani Jawa yang sangat kental dengan perhitungan-perhitungan Jawa.

Namun demikian, akhir-akhir ini sudah banyak modifikasi tradisi petani Jawa yang bersenyawa dengan tradisi Islam atau yang kemudian disebut sebagai tradisi Islam Jawa. Misalnya tradisi nyadran menjadi sedekah bumi, sedekah laut, kemudian tradisi  manganan menjadi tradisi khoul atau tradisi tayuban menjadi thayyiban. Tradisi tayuban yang biasanya dilaksanakan di sumur-sumur sacral dengan menyelenggarakan seni tayub kemudian berubah menjadi tahlilan dan pengajian atau thayyiban (kebaikan dalam perspektif Islam).

Tradisi kaum Abangan sudah didialogkan dengan tradisi Islam dan bahkan secara empiric bisa dinyatakan meskipun orang mengaku Islam dan tidak melaksanakan Islam secara baik, akan tetapi tidak merasa nyaman jika ada keluarganya yang meninggal dan kemudian tidak diselenggarakan acara tahlilan untuk seorang keluarga yang meninggal tersebut.

Pada masyarakat pesisir Jawa, banyak orang Abangan yang kemudian menjadi NU yang disebabkan oleh adanya cultural sphere yang mempertemukan dua tradisi itu. Orang NU bertemu dengan orang Abangan di medan budaya Sumur, Makam dan kemudian lebih lanjut bertemu di Masjid. Di Sumur mereka bertemu di dalam tradisi Nyadran yang kemudian dijadikan sebagai upacara sedekah bumi. Di makam mereka bertemu di dalam tradisi manganan yang kemudian diislamkan dengan upacara khaul dan kemudian akhirnya mereka bertemu di masjid untuk melakukan upacara keagamaan.

Konsep Priyayi juga sudah mengalami pemudaran. Dahulu orang merasa bangga dengan symbol kepriyayian itu. Kepriyayian adalah lambang genealogis dan tindakan social sekaligus. Akan tetapi dewasa ini symbol priyayi lebih merupakan bentuk tindakan social yang dilakukan oleh orang yang “bisa” dianggap sebagai priyayi. Yang jelas priyayi sudah bukan lagi sebagai identitas social yang tertutup, yang given  sebagaimana di masa lalu akan tetapi merupakan sesuatu yang bisa diraih atau merupakan achievement. Budaya priyayi yang merupakan representasi tindakan “halus” orang Jawa kiranya sudah berubah di tengah perubahan social yang terus terjadi.

Konsepsi Geertz tentang santri juga sudah mengalami perluasan yang sangat tinggi. Geertz mengkategorikan santri dengan dua kelompok utama yang sangat konfliktual. NU dan Muhammadiyah merupakan dua kelompok yang berada di dalam  nuansa konfliktual. Mulai dari ibadah wajib sampai yang sunnah, mulai yang dianggap sebagai islam orisinal sampai yang ditambah-tambahi  atau yang dianggap bidh’ah.  Memang di dalam shalat saja dijumpai ada sebanyak 11 perbedaan antara orang Muhammadiyah dan NU. Di tahun 1950-an hingga 1970-an, nuansa konfliktual tersebut memang masih sangat kental. Mereka masih saling menyerang antara satu dengan lainnya. Perkara slametan, tahlilan dan yasinan saja bisa menjadi bahan perdebatan dan perseteruan yang hebat.

Namun di era sekarang, relasi antara NU dan Muhammadiyah sudah berada di dalam  kenyataan empiris yang sinergik. Melalui pembelajaran sosiologis, antropologis dan ilmu social lainnya, maka orang Muhammadiyah menjadi semakin menghargai upacara-upacara keagamaan selain yang ada di dalam kelompoknya, di sisi lain semakin banyaknya orang NU yang mengalami pendidikan umum juga mengantarkan mereka untuk menjadi memahami orang lain. Jika di masa lalu dakwah cultural begitu melekat di kalangan orang NU, maka sekarang sudah menjadi agenda juga di kalangan orang Muhammadiyah.     

Di antara varian baru yang sekarang lagi semarak adalah mengenai gerakan radikalisme. Salah satu hal yang menarik untuk dicermati adalah semakin banyaknya masayarakt  Indonesia yang tertarik terhadap gerakan radikalisme, baik yang bercorak Salafi Intelektual maupun Salafi Haraqi dan bahkan juga ada yang kemudian meningkat menjadi Salafi Jihadi. Kita tentu masih ingat ketika ada beberapa komponen masyarakat Indonesia yang kemudian terlibat di dalam gerakan Salafi Jihadi dan kemudian tertangkap. Hal ini berarti bahwa gerakan Salafi di dalam berbagai variannya ternyata memang menarik bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Maka sebagaimana tesis Bill Liddle, bahwa era reformasi akan membawa angin segar bagi gerakan radikal dan ternyata memang benar adanya.  Jika di masa Orde Baru gerakan seperti ini sulit berkembang karena cengkeraman pemerintah yang sangat kuat, maka di era Reformasi yang di dalamnya terdapat keterbukaan, demokratisasi dan HAM, maka gerakan radikal sepertinya  menuai zamannya. 

Dengan demikian, ternyata sesuai dengan perubahan zaman yang terus terjadi, maka konsep Geertz tentang masyarakat Indonesia yang dilihatnya berdasarkan konsep trikhotomi juga mengalami perubahan yang dramatis. Jadi memang tidak ada sebuah konsep di dalam ilmu social yang terus ajeg tanpa mengalami perubahan. Tentu termasuk konsepsi teoretik Geertz.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini