RADIKALISME DI LEMBAGA PENDIDIKAN NEGERI
Membaca Laporan Tempo, 6-12/06/2011, tentang Radikalisme di dunia pendidikan, maka sungguh menyedihkan bahwa radikalisme justru tumbuh di lembaga pendidikan negeri. Laporan Tempo ini dimulai dengan adanya laporan di Pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Agama Islam di Jember akhir tahun 2006. Di dalam musyawarah tersebut ikut pula Farcha Ciciek, yang menjadi Direktur Rahima Institut. Dari laporan Farcha Ciciek tersebut kemudian dilakukanlah penelitian di tujuh kota, yaitu: Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap dan Yogyakarta. Ternyata hasil penelitian tersebut mengejutkan karena para guru agama Islam dan murid-muridnya itu kurang toleran.
Dari kajian ini dapat digambarkan tentang kenyataan bahwa pendidikan agama di sekolah tenyata mengandung unsur intoleransi. Misalnya terdapat sebanyak 13 persen siswa yang mendukung terhadap gerakan radikal. Selain itu juga terdapat sebanyak 14 persen yang setuju dengan cara Imam Samodra di dalam melakukan gerakan terorisme. Secara lebih lengkap, sebagaimana dilaporkan oleh Tempo, bahwa terdapat mayoritas siswa yang bersedia memberi dukungan dan kesediaan terlibat untuk merusak tempat hiburan, merusak anggota aliran yang menyimpang, merusak tempat ibadah agama lain, membantu umat Islam di daerah konflik.
Membaca tulisan itu saya menjadi teringat akan peristiwa yang terjadi di Sidoarjo, tepatnya di Desa Tebel kabupaten Sidoarjo. Menurut penuturan Habib Mustafa, bahwa di dekat rumahnya terdapat pengajian yang dilakukan oleh seorang guru SMPN di Sidoarjo. Kegiatan mengaji tersebut dilakukan dari rumah ke rumah murid. Ketepatan suatu siang itu pengajian dilakukan di sebuah mushalla di dekat rumah Habib Mustafa.
Pengajian itu dilakukan oleh seorang guru yang menduduki wakil kepala sekolah bidang akademik? Sebagaimana pengajian keagamaan lainnya, maka digunakanlah pengeras suara, sehingga yang mendengarkan pengajian itu bukan khusus anak-anak usia SMP akan tetapi juga masyarakat luas. Sampai kemudian penceramah yang guru tersebut mengkafirkan para ulama yang selama ini menjadi panutan masyarakat. Dinyatakannya bahwa para ulama menjadi kafir karena membiarkan terjadinya penyimpangan agama di semua level masyarakat.
Terdorong oleh pengajian tersebut, maka Habib Mustafa lalu mendatangi pengajian tersebut. Dengan semangat keislamannya yang moderat, maka pengajian itu dimintanya berhenti. Sebab tidak layak pengajian bertujuan untuk mengkafirkan para ulama. Terjadilah perdebatan di antara mereka dan akhirnya diketahui bahwa pemahaman agama guru yang memberi ceramah itu memang tidak tuntas. Tidak tahu apa yang menjadi sumber-sumber ungkapannya. Pengetahuannya tentang sumber-sumber keislaman ternyata rendah.
Bukan keinginan saya untuk mendiskusikan kedalaman materi keagamaan guru tersebut, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah untuk menggambarkan bahwa gerakan radikal memang sudah memasuki kawasan sekolah. Jadi bukan hanya dilakukan secara terstruktur di sekolah akan tetapi juga menggunakan cara yang sistematis melalui tradisi pengajian yang selama ini menjadi medium penyebaran dan pendalaman keagamaan.
Guru agama seharusnya menjadi agen bagi pengembangan Islam yang moderat atau Islam yang rahmatan lil alamin. Tentu akan menjadi naif jika guru kemudian justru menjadi penyebar gerakan radikalisme. Apa yang ditemukan oleh Farcha Ciciek kemudian laporan penelitian tentang gerakan kekerasan agama di sekolah dan pengalaman pengajian di Sidoarjo tentu menjadi salah satu alarm bagi masyarakat Indonesia –terutama yang beragama Islam—bahwa gerakan radikalisme sudah memasuki ruang-ruang public, tidak hanya di lembaga politik akan tetapi juga lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sebagaimana catatan Tempo, bahwa sikap keras dan intoleransi dalam beragama tak tumbuh di pesantren, tapi justru di sekolah-sekolah negeri. Jika catatan Tempo ini benar, maka sesungguhnya para pimpinan lembaga pendidikan negeri harus berpikir dan bertindak lebih arif agar di kemudian hari melakukan penyaringan secara memadai tentang pemahaman Islam di lembaganya.
Pendidikan adalah instrument bagi pengembangan SDM di masa depan. Jika kita salah memanej maka akan terjadi kerugian bagi bangsa ini di masa depan. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, maka kerahmatannya harus dijaga oleh siapapun juga termasuk para guru.
Wallahu a’lam bi al shawab.