INTEGRASI ILMU MELALUI PENDEKATAN INTUISI
Sebagaimana yang saya tulis kemarin, bahwa saya telah menjelaskan tentang pendekatan Burhani (demonstrative) sebagai salah satu pendekatan di dalam pengembangan ilmu keislaman. Di dalam perbincangan tentang pengembangan ilmu pengetahuan, maka pendekatan-pendekatan tersebut masuk di dalam kawasan epistemologi yang merupakan bagian penting dari pembicaraan tentang ilmu pengetahuan. Sebagai teori pengetahuan, maka epistemologi memang menjadi sangat penting di dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Penjelasan-penjelasan argumentatif ini tentu saja memiliki kelemahan yang disebabkan oleh keterbatasan akal manusia untuk menerangkannya baik melalui rasio atau logika. Akal manusia memang sangat terbatas. Bahkan begitu terbatasnya, maka kita tidak tahu ada apa dibalik dinding rumah kita.
Manusia bisa melakukan pengindraan jarak jauh karena kemampuan rasionya untuk menciptakan alat-alat sehingga pengindraan jarak jauh bisa dilakukan. Benda-benda yang tidak observable bisa diobservasi karena kemampuan manusia untuk menciptakan instrumennya. Stasiun Bosca di Lembang bisa dipakai untuk melihat tatasurya kita, karena terdapat alat untuk melihatnya. Jadi, memang manusia harus mengakui juga bahwa terdapat keterbatasan akalnya dan kemampuan observasinya terhadap seluruh alam. Ada hal-hal yang mereduksi terhadap kemampuan akal manusia, yaitu keterbatasan akal itu sendiri.
Di dalam al Qur’an, banyak dijumpai ayat-ayat tentang kegaiban-kegaiban. Sesuatu yang gaib berarti sesuatu yang tidak bisa dinalar dengan pendekatan rasional dan observabel atau didekati dengan pendekatan burhani atau demonstrative. Cerita tentang surga, neraka, malaikat, dan sebagainya merupakan rangkaian cerita yang tidak bisa dinalar. Di sana ada beyond the rationality.
Oleh karena itu, maka metode argumentatif tentu tidak bisa dipakai. Yang bisa digunakan di dalam hal ini adalah pendekatan irfani. Yaitu pendekatan yang lebih mengedepankan pada intuisi. Yang diasah di dalam hal ini adalah perasaan atau olah rasa. Makanya, yang bisa membenarkan adalah intuisi atau perasaan mendalam yang dimiliki oleh manusia.
Sebagai pendekatan, maka pendekatan irfani lebih mementingkan pemahaman terhadap hal-hal yang unobservable, yang tidak mampu diobservasi dan dinalar. Yang menjadi sasaran kajian atau subject matter-nya adalah kegaiban yang memiliki referensi di dalam teks-teks suci. Misalnya: malaikat, surga, neraka, siksa, kebahagiaan akherat dan sebagainya. Bukankah akal manusia tidak akan mampu menjamah terhadap persoalan-persoalan ini.
Di dalam konteks ini, maka yang mengedepan adalah dunia keyakinan. Basis dasar dari pendekatan irfani adalah keyakinan tentang kegaiban-kegaiban tersebut. Sebagaimana yang pernah digagas oleh Noeng Muhajir, maka beliau menyatakan ada suatu fenomena yang bisa dikaji dengan pendekatan empiric transcendental. Sesuatu yang diyakini ada namun berdasar atas hal-hal yang nonempirik. Namun demikian, wujud dari yang empiric transcendental tersebut bisa berupa pengalaman-pengalaman manusia di dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib, seperti pengalaman beragama di kalangan penganut agama yang esoteric.
Saya melihat bahwa ada dua obyek kajian yang bisa didekati dengan pendekatan irfani, yaitu: pertama, pengalaman manusia di dalam berkomunikasi dengan kegaiban, misalnya pengalaman berdzikir atau wiridan yang kemudian menghasilkan nuansa trance yang sedemikian hebat. Banyak pengalaman keagamaan yang bercorak seperti ini. Pengalaman para sufi tentu bisa didekati dengan pendekatan irfani ini.
Pengalaman manusia adalah bercorak individual sehingga memiliki varian yang sangat banyak. Di dalam hal ini, maka pengalaman manusia tersebut lebih bercorak psikhologistik. Sebagaimana kajian tentang the holistic experience of the God, maka masing-masing akan bisa mengalami pengalaman yang berbeda-beda tentang relasinya dengan Tuhan tersebut. Kajian di bidang psikhologi agama kiranya bisa menjawab tentang bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan berbasis pada pendekatan irfani ini.
Kemudian kedua: tentang kegaiban itu sendiri, yaitu sesuatu yang memang hanya bisa dipahami sebagai keyakinan dan belum bisa dikaji dengan pengalaman manusia. Di dalam teks, maka didapati seperti surga yang kejadiannya berada di era the day after. Maka yang seperti ini, satu-satunya yang bisa menjawab adalah dunia keyakinan murni tanpa bisa dialami oleh manusia. Atau tentang dunia eksternal-nonempiris seperti keberadaan malaikat dan sebagainya, maka manusia tidak akan bisa menyapanya –kecuali Nabi-Nabi—yang disebabkan oleh keterbatasan instrument rohani yang dimiliki oleh manusia.
Berdasarkan atas realitas keyakinan ansich dan keyakinan yang berimplikasi pada pengalaman manusia, maka sesungguhnya teks suci mengajarkan bahwa ada pengetahuan yang memang bersumber dari ketauhidan, yaitu pengetahuan yang hanya bisa dipahami oleh manusia berdasarkan keyakinannya saja, dan ada pengetahuan yang memang bersumber dari keyakinan atas kebenaran teks, akan tetapi bisa saja mengejawantah di dalam pengalaman manusia.
Pelajaran yang bisa diambil dari pendekatan-pendekatan ini adalah bahwa ada keterbatasan ratio dan pengindraan manusia, sehingga manusia harus juga meyakini bahwa teks-teks tentang kegaiban haruslah dipahami sebagai kegaiban dan perangkat untuk membenarkannya adalah melalui keyakinan saja. Jadi, ada dunia keyakinan yang bisa mengejawantah di dalam dunia pengalaman inderawi dan ada dunia keyakinan yang memang harus dipahami apa adanya sesuai dengan teksnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.