INTEGRASI ILMU BERBASIS EPISTEMOLOGI
Sampai hari ini, saya secara khusus belum menemukan jawaban untuk menjawab pertanyaan Zubaidah Yusuf tentang bagaimana bentuk integrasi ilmu dan bagaimana model integrasinya. Baginya, model saling menyapa antara ilmu agama dan sains saja tidak cukup, sebab dengan begitu hanya akan menghasilkan ilmu yang memang tidak terintegrasi secara utuh.
Selama ini memang perbincangan integrasi ilmu agama dan sains barulah sampai pada tahapan mendialogkan atau salingmenyapakan antara sains dan agama. Jadi untuk sampai pada integrasi yang sistemik memang membutuhkan pemikiran yang sangat mendalam.
Saya baca bukunya Prof. Osman Bakar tentang Tauhid dan Sains. Saya ingin memperoleh jawaban bagaimanakah kiranya integrasi sains dan ilmu agama tersebut. Saya memperoleh gambaran semangat Prof. Osman Bakar di dalam tulisannya ini. Artinya bahwa tulisan beliau memang mengandung semangat untuk menggambarkan integrasi ilmu tersebut berbasis pada tauhid. Baginya, tauhid adalah sumber kesatuan antara sain dan agama.
Sebagaimana pendahulunya, Ismail Raqi al Faruqi, maka sumber ilmu pengetahuan adalah Allah, sehingga tauhid adalah sesungguhnya sumber dari segala ilmu pengetahuan, apakah ilmu umum atau ilmu agama. Pandangan ini tentu penting, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah menggambarkan tentang kesatuan epistemology di dalam kerangka integrasi tersebut. Di dalam asumsi Prof. Osman Bakar, bahwa hakikat ilmu pengetahuan adalah sama, di manapun ilmu tersebut dikaji dan diteliti, mak sesungguhnya ilmu tersebut bersumber dari Dzat yang sama, yaitu Allah. Maka prinsip Tauhid ini yang mendasari pengembangan ilmu pengetahuan.
Yang sesungguhnya diperlukan adalah bagaimana membangun epistemologi yang bisa bersearah dengan corak dan bentuk integrasi ilmu dimaksud. Di sinilah persoalannya, sebab prof. Osman Bakar tidak menjelaskan secara mendasar tentang bagaimana epistemologi bisa menjadi basis integrasi ilmu. Di dalam bukunya itu, hanya dijelaskan secara ringkas tentang metodologi sebagai turunan epistemologi, yaitu tentang eksperimen dan observasi sebagai metode keilmuan yang tetap harus diapresiasi di dalam sains Islam sebab metode eksperimen (tajribi) tersebut memang didapati di dalam Islam.
Rasanya jika menggambarkan integrasi ilmu dengan menempatkan metodologi keilmuan melalui observasi (nadzari) dan eksperimen (tajribi) memang sudah memberikan gambaran yang memadai tentang integrasi ilmu tersebut. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh al Kindi, yang tidak hanya dikenal sebagai filosof, akan tetapi juga ilmuwan yang menggunakan metode observasi di laboratoriumnya ketika beliau ingin memperoleh penjelasan-penjelasan ilmiah di bidang fisika dan kimia. Demikian Nashiruddin al Thusi yang juga menggunakan oservasi ketika mengkaji mengenai astronomi.
Dengan cara ini, rasanya kita akan kembali mengklaim bahwa metodologi keilmuan tersebut terdapat di dalam konsepsi Islam. Rasanya juga kita tidak akan malu menyatakan bahwa eksperimen dan observasi adalah suatu metode yang telah digunakan dalam khasanah ilmu pengetahuan dan selama ini sudah menjadi kebiasaan kita.
Hal ini tentu saja menepis pandangan bahwa metode tersebut adalah khas ilmu pengetahuan barat, sebab ada dugaan bahwa yang mengembangkan observasi dan eksperimen adalah para ilmuwan barat. Dan ternyata secara historis, bahwa metode tersebut sudah menjadi kelaziman di kalangan ilmuwan Islam semenjak dahulu. Para ilmuwan Islam, sesungguhnya telah mengembangkan berbagai metodologi di dalam sains. Di bidang ilmu social, maka Ibnu Khaldun telah mengembangkan observasi ketika meneliti masyarakat Arab nomaden. Demikian pula ilmuwan di bidang sains juga sudah mengembangkan metodologi eksperimen dan observasi.
Tentang ayat ashab al kahfi, tentu bisa dijelaskan dengan pendekatan burhani bagaimana orang bisa tidur di dalam ratusan tahun berdasarkan penjelasan-penjelasan alam yang bercorak rasional dan observable, tentu saja bisa ada penjelasan yang terkait dengan peristiwa alam yang aneh atau unik yang luar biasa di dalam kasus pemuda Ashab al Kahfi ini. Jika sekarang belum ditemukan, maka bukan karena tidak ada penjelasan argumentatifnya, akan tetapi karena nalar argumentative dan observasinya yang belum sampai ke arah itu.
Tentang kemampuan manusia untuk menembus cakrawala di dunia bintang gemintang, maka pada tahun 40an sampai 50-an tentu belum bisa dibayangkan bagaimana manusia bisa menembus planet-planet di jagad raya yang luas ini. Akan tetapi pada tahun 60-an hingga sekarang maka dunia planet lain merupakan obyek kajian dan sekaligus secara empiris bisa dijelajahi oleh manusia karena kemampuan teknologi transportasi antar planet yang sudah bisa dirancang dan digunakan.
Di dalam hal pencarian kebenaran, maka dikenal sekurang-kurang tiga pendekatan, yaitu burhani (demonstrative) atau argumentasi rasional tentang kebenaran ilmu pengetahuan. Melalui argumentasi rasional tersebut, maka ayat-ayat kauniyah atau ayat tentang alam akan bisa dijelaskan dengan menggunakan logika dan segala argumentasinya. Jika kita menggunakan konsep-konsep al Qur’an sebagai basis pijakan kebenaran dan kemudian ingin dicabar dari perspektif pendekatan burhani, maka yang dicari adalah argumentasi rasional atau logika, yang berbasis pada proposisi yang dibuat berdasarkan premis-premis logis.
Saya berkeyakinan bahwa melalui pendekatan burhani, maka akan didapatkan kekayaan teoretik yang sangat memadai. Akan tetapi yang perlu diingat bahwa melalui pendekatan ini bukan berarti kita akan menyalahkan atau memfalsifikasi terhadap ayat-ayat kauniyah di dalam Al Qur’an akan tetapi sesungguhnya untuk menemukan penjelasan mengapa Al Qur’an berbicara seperti itu dari pendekatan logika yang memang masuk akal.
Wallahu a’lam bi al shawab.