DIMENSI TEOLOGIS PANCASILA
Sebagaimana telah saya tulis kemarin terkait dengan Sarasehan Pancasila yang diselenggarakan oleh Gubernur Jawa Timur di Balai Pemuda, maka hari ini saya akan menulis lagi tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa yang memiliki kekuatan di dalam menyatukan bangsa Indonesia. Saya ingin menyoroti tentang Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saya ungkapkan di dalam renungan Sarasehan Pancasila di Balai Pemuda tersebut, yaitu tentang mengapa para founding fathers kita itu memilih sila pertama dengan ungkapan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan kenapa mereka tidak menjadikan sila pertama sebagaimana tercantum di dalam Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter disebutkan ungkapan: “Ketuhanan dengan Kewajiban Mengamalkan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”.
Di dalam Sidang yang diselenggarakan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 untuk menentukan tentang dasar negara, maka pada waktu itu terdapat pilihan untuk menjadikan Jakarta Charter sebagai dasar negara. Akan tetapi ternyata terdapat keberatan yang diungkapkan oleh wakil Indonesia Timur, tentang implikasinya, jika dasar negara tersebut adalah Piagam Jakarta. Keberatannya adalah akan terjadinya disintegrasi bangsa, yang disebabkan oleh ketidaksepakan masyarakat Indonesia Timur tentang tujuh kata yang dianggapnya eksklusif dan sectarian.
Penatapan kata “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” akan dapat memicu konflik antar umat beragama. Pernyataan tersebut bercorak diskriminatif bagi agama lain. Makanya, mereka merasa benar-benar keberatan dengan pencantuman tujuh kata itu. Usulan tersebut yang kemudian menjadi pokok bahasan di dalam Sidang PPKI pada waktu perumusan dasar negara.
Oleh tokoh Islam, keberatan masyarakat Indonesia Timur tersebut direspon dengan sangat positif. Mereka melepaskan egoism sektoral dan ideologisnya demi kebersatuan Indonesia. Makanya kemudian tujuh kata tersebut dicoret dan diganti dengan pernyataan yang lebih konseptual-doktriner, yaitu: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jika dikaji secara lebih mendalam dengan menggunakan perspektif teologis dan doctrinal, maka pernyataan Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata jauh lebih bernuansa teologis dan doctrinal ketimbang pernyataan Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”. Ketuhanan Yang Maha Esa sangat relevan dengan konsepsi teologis, khususnya di dalam agama Islam.
Islam mengajarkan tentang doktrin teologis yang sangat tegas, yaitu “Tidak ada Tuhan selain Allah” dan Tuhan itu Esa. Tuhan itu Ahad. Di dalam konsepsi doktriner, bahwa ahad itu diartikan sebagai esa, yaitu dzat yang tunggal dengan sifat dan af’al yang menyertai keesaannya tersebut. Meskipun terdapat perbedaaan tafsir di kalangan kaum mutakallimin, akan tetapi yang jelas bahwa keesaan Tuhan tidak terbantahkan. Esa itu bukan satu, sebab satu masih bisa dibagi-bagi ke dalam bilangan-bilangan yang jelas.
Jadi konsepsi Pancasila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut sangat relevan dengan konsepsi doktriner Islam tentang dzat Tuhan yang esa. Oleh karena itu, konsepsi Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya tentu tidak memadai dibandingkan dengan pernyataan keesaan Tuhan tersebut.
Di dalam Islam, konsepsi keesaan Tuhan adalah doktrin Tauhid Uluhiyah, atau doktrin mengesakan Tuhan yang sangat ketat tanpa ada sesuatupun yang menyekutukannya. Sebab menyekutukan Tuhan berarti menganggap bahwa ada ilah lain selain Allah. Itulah sebabnya syahadat atau pernyataan pengakuan umat Islam dinyatakan “La Ilaha Illallah,” yang artinya: tidak ada Tuhan lain selain Allah. Sebagaimana tercantum di dalam surat Al Ikhlas, bahwa “Qul Huwallahu Ahad”, yang artinya: Katakanlah Wahai Muhammad, bahwa Tuhan itu esa.
Melalui konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, maka semua agama yang hidup di Bumi Persada Indponesia merasakan memilikinya. Dengan demikian, bahwa konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kontrak doktrin keagamaan antar agama-agama, yang diwujudkan di dalam kontrak politik sebagai dasar negara.
Jakarta Charter dengan konsepsinya tersebut memang kontrak politik murni yang mengandung dimensi sectarian, sebab hanya mengenakan kontrak politik tersebut kepada umat Islam. Padahal sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memang terdiri dari masyarakat yang sangat plural dan multicultural. Dengan 17.000 pulau lebih, 500 lebih bahasa dan suku bangsa, dengan agama yang bervariasi, maka kontrak politik tentu harus menggambarkan pengenaan kontrak politik tersebut kepada segenap bangsa. Dengan demikian menjadi pantaslah jika umat lain merasa bukan menjadi bagian dari kontrak politik yang dibuat.
Saya kira menjadi sangat wajar jika kemudian yang merasakan tidak dikenai kontrak politik tersebut keberatan terhadapnya. Wilayah yang kebanyakan beragama non Islam seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara dan seluruh Papua merasakan tidak terikat dengan kontrak politik tersebut. Maka dengan segenap kearipan social dan ideologis, tokoh-tokoh Islam kala itu lalu mengambil tindakan tegas membuang tujuh kata yang dianggap sebagai penyebab disintegrasi bangsa yang baru saja diproklamirkan.
Ketepatan mengambil tindakan para founding fathers, khususnya yang Beragama Islam, tentang dasar negara yang kemudian disebut Pancasila dengan sila pertamanya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa adalah langkah strategis yang harus diapresiasi oleh generasi penerus bangsa ini, sebab seandainya kala itu mereka ngotot untuk mempertahankan Piagam Jakarta, maka kita tentu tidak akan melihat Indonesia dengan varian-varian seperti sekarang.
Piagam Jakarta dengan demikian adalah kontrak politik implementatif dari Ketuhanan yang Maha Esa. Makanya, keinginan untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai konten dasar negara tentu adalah tindakan yang memaksakan kehendak di atas realitas. Pancasila dengan konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa jauh lebih substantive dan mendasar sebagai kontrak teologis dan politis ketimbang Piagam Jakarta sebagai kontrak politik implementatif. Makanya, penetapan Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sungguh sangat tepat.
Berdasarkan atas argumentasi seperti ini, maka mengamalkan Pancasila adalah kewajiban ijtimaiyah, yaitu kewajiban yang didasarkan atas ilat (alasan) social kemasyarakatan. Dengan kewajiban seperti ini, maka mengamalkan nilai-nilai Pancasila bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam, adalah sebuah kewajiban social kemasyarakatan di dalam kerangka melaksanakan kontrak teologis dan politik sebagai bangsa Indonesia.
Melalui kesepakatan seperti itu, maka segala keinginan yang bertentangan dengan makna substantive Pancasila rasanya tidak pantas dilakukan oleh masyarakat yang sudah mengikat kontrak sebagai bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.