• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENEMPATKAN PANCASILA BUKAN DI LORONG GELAP

Akhir-akhir ini sungguh ada nuansa menggembirakan tentang kesadaran baru mengenai Pancasila. Hal itu terutama dibuktikan dengan berbagai event yang digelar terkait dengan peringatan hari lahir Pancasila, 01 Juni. Jika beberapa hari yang lalu diselenggarakan acara Kongres Pancasila di Universitas Airlangga,  maka semalam (06/06/2011) dilaksanakan acara Sarasehan Pancasila yang dilaksanakan di Balai Pemuda Surabaya.

Acara yang unik ini dihadiri oleh Gubernur Jawa  Timur dengan seluruh jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Timur, beberapa Bupati di Jawa Timur, masyarakat Surabaya dan para mahasiswa dari IAIN Sunan Ampel, dan lainnya. Memang IAIN Sunan Ampel mengirimkan mahasiswa sejumlah 60 orang di dalam acara yang menarik dan unik ini. Yang didaulat untuk menjadi nara sumber adalah pak De Karwo, Prof. Muchlas Samani, Dr. Muhajir Efendi dan saya. Selain itu, saya juga kebagian membacakan Pancasila, sebab Pak Sirmaji yang didaulat datang ternyata beliau ada acara lain. Acara ini juga menjadi sangat segar sebab dipandu oleh Sukowidodo dan Cak Priyo, yang selama ini dikenal sebagai pembawa acara Cangkruan di TVRI Stasiun Surabaya.

Gemerlap acara ini juga tampak dari sajian makanan khas Jawa Timuran. Ada lontong balap, ada pencel pincuk, rawon, sate, gule, soto Lamongan dan sebagainya. Memang acara ini dimaksudkan sebagai suasana untuk kembali ke basis kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Gubernur, bahwa  seharusnya bangsa Indonesia itu seperti Orang Italia. Meskipun di Italia itu disajikan makanan KFC dan Mc Donald,  akan tetapi Orang Italia tetap menyerbu makanan khas Italia. Jadi mestinya, tadi ketika makan, yang diserbu adalah pecel dan makanan khas Jawa Timur lainnya. Marilah kita menjadi bangsa yang mencintai produk bangsanya sendiri. Orang Korea Selatan, tidak mau memakai mobil produk Jepang. Mereka memilih produknya sendiri.

Ungkapan ini betapa sederhananya, akan tetapi tentu sebagai koreksi terhadap kecenderungan kita bersama sekarang ini. Orang lebih suka datang dan makan makanan junk food, cepat saji, ketimbang makanan produk sendiri. Bukankah kita ini sungguh kaya akan berbagai jenis makanan. Bisa dibayangkan bahwa di makanan Junk Food, maka hanya ada ayam goreng dengan nasi yang rasanya tentu begitu saja. Coba bandingkan dengan makanan khas Jawa Timuran dengan cita rasa yang luar biasa kaya. Jadi, orang tua juga harus mengajarkan makan makanan khas daerah dan bukan makan makanan junk food model luar negeri. Tradisi makan tentu saja dibentuk ketika mereka masih kecil.

Pasca reformasi, maka banyak orang yang menempatkan Pancasila di dalam lorong yang gelap, sendirian, tanpa disapa, tanpa dihiraukan. Orang semua sibuk untuk melakukan pembalikan terhadap apapun yang dianggapnya sebagai Orde baru. Bahkan Pancasila yang semenjak semula menjadi dasar negara dan falsafah kehidupan bangsa juga dianggap sebagai sesuatu yang absurd. Pancasila dianggap sebagai ideologi rongsokan yang sudah tidak lagi relevan dengan kehidupan yang sedang terjadi.

Banyak orang kemudian tertarik dengan ideologi yang datang dari tempat lain. Dianggapnya bahwa ideologi baru  itu,  lalu bisa menyelesaikan semua masalah. Ada ideologi yang diimpor dari Libanon, Mesir, Barat, dan negara lain yang justru di negara asalnya sudah dibubarkan. Gerakan khilafah yang diusung oleh Kaum Fundamental, misalnya di Libanon sudah dilarang. Sementara itu gerakan liberalism juga mulai memasuki kawasan yang sangat membahayakan,  sebab semuanya bisa menjadi bebas atas nama HAM dan sebagainya.

Di lorong gelap itulah Pancasila ditempatkan pada akhir-akhir ini.  Namun  justru di ruang gelap itulah Pancasila kembali bersinar yang disebabkan oleh betapa banyak berseliweran ideologi yang jika tidak dimanej dengan benar, maka akan menghacurkan persatuan bangsa kita. Dari sini justru muncul kesadaran baru untuk melakukan tindakan yang cocok dan relevan bagi keindonesiaan kita.      

Sesungguhnya, Pancasila itu hanya terdiri dari 26 kata. Tidak lebih. Akan tetapi ternyata bahwa 26 kata tersebut bisa menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Tidak ada Negara di dunia ini yang bisa dipersatukan dengan kata sederhana sebagaimana  tertuang di dalam Pancasila itu selain Indonesia. Di dalam sila yang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa tergambar betapa kehebatan kata itu. Di dalam kata-kata ini tergambar dengan jelas tentang aspek mendasar agama-agama.

Kemudian didapatkan prinsip kemanusiaan, yang digambarkan sebagai yang adil dan beradab. Prinsip keadilan menggambarkan bahwa tidak ada disparitas antara satu dengan lainnya di dalam kehidupan. Termasuk juga kesejahteraan yang bukan semata-mata kekayaan. Sebab kekayaan bercorak individual sebagai  capaian atau prestasi individual. Akan  tetapi kesejahteraan yang diinginkan adalah kesejahteraan komunal dan kemasyarakatan. Keadilan juga tidak akan terwujud,  jika tidak didasarkan atas masyarakat yang beradab. Masyarakat beradab ditandai dengan sikap dan tindakannya yang mengedepankan kesantunan, kearipan dan kebijakan. Santun di dalam bertindak, arif di dalam mengambil keputusan dan bijak di dalam melakukan tindakan-tindakan individual dan social.

Di dalam Pancasila, maka yang didahulukan adalah musyawarah dan bukan pilihan one man one vote. Bisa dibayangkan bahwa melalui sistem yang dianggap paling demokratis –voting—maka bisa terjadi jika ada sembilan orang bersekongkol tentang kejelekan, maka pastilah akan mengalahkan satu orang yang tidak mau berkonspirasi tentang kejahatan tersebut. Maka melalui musyawarah berbasis pada  ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, maka akan bisa dipastikan akan terjadi kebaikan-kebaikan.

Oleh karena itu setelah Pancasila ditempatkan di  lorong gelap selama ini, maka yang penting kemudian untuk dilakukan adalah mengembalikan Pancasila sebagai kontrak social dan politik sekaligus, sehingga tujuan untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara besar akan bisa dicapai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini