• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERENCANAAN PARTNERSHIP

Di dalam suatu program pembangunan, maka perencanaan menempati posisi strategis, sebab melalui perencanaan yang tepat, maka pembangunan akan dapat dilaksanakan sesuai dengan apa yang menjadi rencana, implementasi, out put dan outcomenya. Disebabkan oleh betapa strategisnya perencanaan tersebut, maka di dalam dunia birokrasi mestilah didapati satu badan khusus yang menjalankan fungsi perencanaan.

Di tingkat pemerintah pusat, maka dijumpai Kementerian yang memiliki fungsi khusus di bidang perencanaan yaitu Bapenas, kemudian di tingkat provinsi juga ditemui bapeprov dan di tingkat kabupatan juga terdapat badan khusus, seperti Bapeda dan sebagainya.

Di zaman Orde Baru, badan perencanaan tersebut memiliki fungsi yang sangat vital, sebab segala hal yang terkait dengan pembangunan, maka badan inilah yang merencanakannya. Apalagi dengan pola perencanaan yang top down, maka badan ini sangat menentukan atau deterministic. Makanya, di badan ini bercokol para pakar terutama para ekonom untuk menentukan apa dan bagaimana seharusnya pembangunan tersebut dilaksanakan.

Akan tetapi seirama dengan perubahan zaman, terurama pasca reformasi, maka perencanaan pembangunan juga mengalami perubahan yang dramatis. Di masa Orde Baru, sesungguhnya juga sudah ada beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendampingan masyarakat dengan memanfaatkan pola perencanaan buttom up. 

LSM yang di dalam banyak hal memperoleh inspirasi pengembangan masyarakat dari negara-negara lain, seperti India, Brazil, Korea Selatan dan sebagainya ternyata memang memanfaatkan pola perencanaan dari bawah (buttom up) yang ternyata memang mengundang partisipasi masyarakat dengan relatif signifikan. Maka ketika era reformasi, maka pola inilah yang kemudian diadaptasi di dalam banyak hal.

Perencanaan tersebut kemudian dinegarakan dengan nama Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) secara bertingkat-tingkat.  Mulai dari musrenbang di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional.  Masing-masing musrenbang kemudian menghasilkan prioritas program yang akan diusung ke dalam musrenbang yang lebih tinggi dan kemudian menjadi program daerah dan nasional.

Propinsi Jawa Timur, misalnya mengedepankan tentang pengentasan kemiskinan sebagai Rencana pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dengan aksentuasi pada empat hal yaitu: pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan kesejahteraan social. Selain itu juga ada delapan lainnya,  yang menjadi arah pembangunan Jawa Timur sesuai dengan RPJMD tersebut.

Berdasarkan atas konsep ABG sebagaimana digagas oleh Pak De Karwo tersebut, maka perencanaan pembangunan tentu mendapatkan satu tambahan pola lagi, yaitu pola kemitraan atau partnership. Selama ini orang menganggap bahwa hanya ada dua pola perencanaan, yaitu pola top down dan pola buttom up.

Pola top down pernah dianggap sebagai pola yang dikembangkan oleh Orde Baru, karena adanya anggapan bahwa segalanya datang dari para ahlinya terutama yang ada di pusat. Sehingga segala perencaaan pembangunan lebih mengesampingkan peran serta masyarakat. Semua proyek pembangunan dirancang oleh para ahli –terutama ekonom dan teknolog—untuk merencanakan pembangunan masyarakat.

Akan tetapi kemudian seirama dengan tumbangnya pemerintah Orde Baru dan mencuatnya pemerintahan Orde Reformasi, maka muncullah pola buttom up, yaitu pembangunan yang dirancang oleh masayarakat dan dilaksanakan pembangunannya oleh masyarakat. Namun selalu saja ada anggapan bahwa pola top down adalah lawan pola buttom up atau top down versus buttom up.

Cara pandang seperti ini sering tidak membawa manfaat, sebab lalu ada tindakan untuk saling menafikan. Semua yang top down dianggap salah dan semua yang buttom up dianggap sebagai yang benar. Padahal sebenarnya ada kekuatan dan kelemahan masing-masing di antara pola perencanaan tersebut.  Di dalam pola buttom up memang mengandung maksud bahwa masyarakatlah yang paling tahu tentang kebutuhannya, sehingga jika pembangunan disesuaikan dengan kebutuhannya maka akan didapatkan tingkat partisipasi yang tinggi. Akan tetapi yang juga harus dipahami bahwa yang merumuskan agar sampai menjadi program  yang relavan tetaplah para ahli yang memiliki kompetensi memadai. Jadi tetap harus ada keterlibatan antara para ahli dengan masyarakat yang akan dijadikan sebagai subyek pembangunan.

Oleh karena itu, maka yang sesungguhnya diperlukan adalah pola perencanaan partnership atau kemitraan. Pola ini menurut saya lebih holistic karena mencoba untuk membuat pola perencanaan berbasis kemitraan yang saling membutuhkan.  Pola ini merupakan gabungan pola buttom up dan pola top down. Jika digambarkan, maka ada titik temu di antara dua pola dimaksud. Titik temu di antara pola itulah yang kemudian dijadikan sebagai kekuatan untuk mengembangkan pola perencanaan partnership itu.

Di dalam kenyataan bahwa harus ada sinergi antara kaum akademisi, bisnismen dan pemerintah, maka pola ini tentu sangat cocok. Akademisi sebagai bagian dari masyarakat memiliki kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat, sedangkan pemerintah  dan  pengusaha memiliki kemampuan untuk mendanai pembangunan masyarakat. Maka melalui pola kemitraan tersebut maka ketiga struktur social ekonomi ini akan bisa saling bersinergi untuk melaksanakan program pembangunan.

Kaum akademisi bersama masyarakat dan pemerintah bisa merumuskan perencanaan yang benar dan bermanfaat, kemudian pemerintah dan kaum pengusaha akan bisa mendanai pembangunan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Melalui pola perencanaan  kemitraan, maka diharapkan bahwa akan didapati pembangunan masyarakat yang lebih bercorak sistemik dan holistic, sehingga akan didapatkan hasil yang lebih bermanfaat dan signifikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini