MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
A. Pendahuluan
Dewasa ini kita sedang berada di era kompetisi, yaitu suatu era di mana terjadi persaingan yang luar biasa di dalam berbagai kehidupan masyarakat, termasuk juga kompetisi di bidang pendidikan. Kompetisi adalah sebuah konsep yang tidak bisa ditolak kehadirannya di tengah pergaulan dunia yang terjadi akhir-akhir ini.
Di dalam kerangka kompetisi tersebut, maka banyak orang yang beranggapan bahwa siapa yang memenangkan kompetisi, maka dialah yang akan menguasai dunia. Itulah sebabnya banyak orang yang kemudian menghalalkan segala cara untuk memenangkan kompetisi tersebut. Bahkan terkadang seseorang bisa melakukan tindakan yang dianggapnya benar meskipun hal itu bertentangan dengan tata nilai yang dijadikan pedoman oleh masyarakat. Atas nama kompetisi, maka orang bisa melakukan apa saja yang penting tujuannya tercapai.
Dunia pendidikan pun terperangkap di dalam kompetisi. Ada persaingan yang sangat tinggi terkait dengan usaha untuk mengembangkan pendidikan tersebut. Ada sebuah asumsi bahwa keberhasilan instutusi pendidikan akan diraih ketika institusi pendidikan tersebut memenangkan kompetisi dengan sesamanya. Dan yang menyedihkan bahwa kemenangan di dalam kompetisi tersebut selalu diukur dari seberapa tinggi minat “pembeli” pendidikan tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan tinggi adalah institusi yang menjual layanan jasa pendidikan. Artinya bahwa sebagai pelayan jasa pendidikan, maka ukuran keberhasilannya tentu terkait dengan seberapa banyak orang yang membeli layanan jasa pendidikan tersebut. Semakin banyak yang membeli maka semakin berkiprah lembaga pendidikan dimaksud.
Kemudian, problem yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Islam adalah bagaimana mendekatkan jarak penjual dan pembeli pendidikan dimaksud. Sebab kenyataannya bahwa lembaga pendidikan tinggi Islam selalu berada di wilayah “pinggiran” ketika lembaga pendidikan tinggi ini harus berkompetisi dangan lembaga pendidikan lainnya yang memang memiliki kedekatan dengan kebutuhan masyarakat. Artinya, bahwa tantangan pendidikan tinggi Islam memang kompleks di tengah kompetisi yang terjadi dewasa ini.
- B. Tantangan Pendidikan Tinggi Islam
Seharusnya dipahami bahwa sumbangan Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) terhadap dunia pendidikan di Indonesia tentu sangat signifikan. Hal itu tentu didasari oleh kenyataan betapa banyak alumni yang dihasilkan oleh PTAIN di dalam kerangka pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia dari dahulu hingga sekarang.
Bahkan jika dikaitkan dengan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), maka sumbangannya tentu jauh lebih besar. Di Indonesia, sebagaimana diketahui bahwa PTAIS tersebar di seluruh pelosok negeri dengan jumlah mahasiswa yan bervariasi. Besaran PTAIS tersebut tentu saja akan menjadikan adanya sumbangan pengembangan SDM yang sangat besar pula.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka tampak bahwa sumbangan dunia pendidikan tinggi Islam bagi kehidupan masyarakat di Indonesia tentu tidak bisa diabaikan. Artinya, bahwa PTAI sudah menjadi bagian penting di dalam proses pemberdayaan masyarakat Indonesia.
Terutama pasca reformasi, maka peranan PTAIN menjadi sangat dominan di dalam percaturan kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Dengan adanya reformasi yang meniscayakan terjadinya mobilitas vertical, maka banyak alumni PTAI yang kemudian terlibat di dalam dunia politik. Demikian pula di bidang sosial dan keagamaan. Hal ini menandakan bahwa alumni PTAI sesungguhnya memiliki talenta yang sangat baik di dalam aktualisasi diri di tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
Memang harus diakui bahwa yang dapat memasuki kawasan seperti itu masih sangat terbatas. Artinya hanya sejumlah kecil dari alumni PTAI yang kemudian bisa mengaktualisasikan perannya di tengah kehidupan sosial dan politik, sebab kebanyakan mereka tentu berada di wilayah keagamaan yang memang menjadi tugas dan fungsinya di tengah kehidupan masyarakat.
Meskipun PTAI telah memberikan sumbangan bagi peningkatan kualitas SDM di Indonesia, namun harus diakui bahwa banyak tantangan yang dimiliki oleh PTAI di dalam pengembangan akses pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, tata kelola dan juga sarana dan prasarana. Tantangan pengembangan PTAI inilah yang harus dipetakan oleh Kementerian Agama sebagai tempat bernaung PTAI dimaksud.
PTAI, memang harus diakui masih dianggap sebagai perguruan tinggi klas dua atau bahkan klas tiga. Diantara hal yang sangat mendasar sebagai tantangan pendidikan tinggi Islam adalah rendahnya daya tampung PTAI yang diakibatkan oleh kurang tersedianya sarana dan prasarana pendidikan. Rendahnya daya tampung tersebut juga terkait dengan perubahan persepsi masyarakat tentang alumni PTAI. Di tengah semakin kuatnya budaya materialism dan konsumerisme, maka semakin banyak anggota masyarakat yang memilih lembaga pendidikan tinggi yang memiliki kedekatan dengan dunia kerja.
Makanya, PT yang memiliki program studi (prodi) yang bersentuhan langsung dengan dunia kerja, maka akan laris manis di tengah persaingan dengan PT lain. Oleh karena itu, PTAI yang menawarkan program studi keagamaan lalu menjadi “terpinggirkan” di tengah persaingan dengan budaya materialism dan dunia pekerjaan. Perubahan respon masyarakat tentunya menjadi variable penting di dalam realitas rendahnya peminat studi agama di PTAI.
Tantangan lainya adalah kualitas layanan pendidikan dan kualitas pendidikannya. Harus diakui bahwa kualitas sarana dan prasarana pengembangan PTAI juga bisa menjadi variable yang menentukan terhadap pelayanan dan kualitas pendidikan di PTAI. Di tengah kehidupan global seperti sekarang, maka meniscayakan bahwa keterlengkapan sarana dan prasarana pendidikan, semisal ICT, klas multi media, ruang yang nyaman, dan lainnya akan menentukan imaje tentang kemajuan program pembelajaran di PTAI. Jika kelengkapan sarana dan prasarananya rendah, maka akan menghasilkan imaje yang kurang memadai bagi PTAI dimaksud.
Di dalam kerangka inilah maka PTAI dituntut untuk terus berbenah di dalam mengarungi dunia kompetisi di PT. jika kita tidak melakukan perubahan secara terus menerus, maka kita akan bisa terus berada di pinggiran. Agar bisa berada di tengah, maka harus ada percepatan. Dan hal itu tentu sangat tergantung kepada impian pimpinan PT. Pimpinan PT harus memiliki keterpercayaan akademis, kemampuan tata kelola yang baik dan jaringan yang memadai dan ditambah dengan visi perubahan yang sangat mendasar.
C. Menganalisis Variable Center of Excellence
Kemajuan sebuah lembaga sangat tergantung kepada visi yang dirumuskan oleh segenap pimpinan lembaga beserta seluruh jajarannya. Tentu saja visi saja juga tidak cukup, jika tidak diikuti dengan implementasi yang memadai. Makanya antara visi dan implementasi harus seimbang dan memadai. Untuk mengembangkan center of excellence tentu harus dilihat dari beberapa variable. Mempertimbangkan variabel-variabel ini tentu sangat mendasar, sebab tanpa eksistensi variabel yang menjadi inti pusat keunggulan tersebut, maka tujuan membangun center of excellence pasti tidak akan tercapai. Untuk menjadi excellence, tentu dibutuhkan beberapa persyaratan yang sangat ketat. Di antara variabel yang menjadi persyaratan tersebut yang mendasar adalah: pertama, pemihakan dalam bentuk kebijakan. Pemihakan pada kebijakan yang bersearah kepada penciptaan ekselensi menjadi variable substansial. Variable ini saya anggap sebagai sangat penting sebab tanpa pemihakan yang sangat mendasar tentang apa dan bagaimana agar menjadi excellence, maka segala sesuatunya pastilah tidak akan menjadi yang terbaik. Salah satu contoh yang sangat mendasar adalah pemihakan tentang anggaran. Betapapun memiliki visi yang sangat baik, tentang apa dan bagaimana program ekselensi tersebut akan dilaksanakan, namun jika tidak didukung oleh penganggaran yang sangat memadai, maka hanya akan menjadi mimpi. Work without vision is day dream. Vision without work is nightmare. Jadi mimpi harus diubah menjadi kenyataan. Dan agar ide dapat menjadi kenyataan, maka haruslah didukung oleh seperangkat tindakan praksis yang berupa kebijakan yang selaras dengan implementasi visi dimaksud.
Kedua, adalah variable structural. Yang saya kategorikan sebagai variable structural adalah bagaimana agar sebuah institusi menjadi ekselen. Yaitu institusinya sendiri harus menjadi ekselen. Untuk menjadi ekselen, maka harus ada pengakuan dari lembaga lain tentang ekselensi lembaganya tersebut. Misalnya adalah akreditasi kelembagaannya. Di dalam hal ini, maka status kelembagaan tersebut harus memperoleh pengakuan dari lembaga independen, seperti BANPT untuk status akreditasi. Kemudian dalam hal pelayanan, maka harus memperoleh sertifikasi dari lembaga yang selama ini melakukan akreditasi tentang pelayanan jasa, misalnya ISO 9000 atau lainnya. Kemudian juga status lainnya yang bisa membanggakan, misalnya pengakuan internasional tentang lembaga tersebut. Saya rasa pengakuan internasional tentang World Class University (WCU) melalui lembaga apapun menjadi penting. IAIN Sunan Ampel telah menjadi WCU melalui pengakuan Webometrics dengan peringkat 48 dari seluruh PT di Indonesia dan 6023 untuk seluruh perguruan tinggi internasional.
Pencapaian ini tentu saja sangat membanggakan, sebab banyak orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang IAIN Sunan Ampel, namun Webometrics yang berpusat di Perancis justru mengenalnya sebagai lembaga yang unggul. Yang sangat penting juga variable dosen. Agar menjadi PT dengan prodinya yang unggul, maka dosennya juga harus ekselen. Berapa banyak guru besar, doctor, praktisi yang terlibat di dalam program studi dimaksud. Satu contoh yang sangat mendasar, bagaimana akan menjadi ekselen di bidang prodi dakwah, jika pada prodi tersebut tidak didapatkan guru besar dakwah yang sangat andal, tidak hanya kemampuan teoretik, akan tetapi juga praktisi dakwahnya. Jika dakwah itu dimaknai tidak hanya retorika akan tetapi juga kolumnis, penulis buku, penulis sastra agama, penulis puisi keagamaan, dan sebagainya, maka ada berapa banyak dosen yang memiliki keahlian dakwah bil kalam dan bil qolam. Jika kita flash back yang sangat jauh, maka Ibn Sina, Ibn Khaldun, Ibn Rusyd, Imam Ghazali dan sebagainya dikenal oleh dunia internasional, karena tulisan-tulisannya yang menjadi referensi atas keunggulannya. Kemudian, dewasa ini, peraih hadiah Nobel ekonomi seperti Muhammad Yunus di Banglades menjadi dikenal oleh dunia internasional, karena tindakan praksisnya di bidang pemberdayaan masyarakat ekonomi kelas bawah. Jika lebih sempit lagi, maka UIN Jakarta dikenal sebagai lembaga yang unggul, karena tulisan Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat.
Untuk menjadi unggul di bidang ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu filsafat, pemikiran Islam, pendidikan Islam dan sebagainya, maka persyaratan mendasarnya adalah seberapa banyak guru besar dan doctor yang mengabdikan dirinya untuk lembaganya melalui karya akademis dan praksis yang orisinal dan unik. Meskipun banyak professor dan doctor, akan tetapi jika tidak memiliki ghirah untuk membesarkan lembaga melalui karya akademik, maka statusnya bisa diragukan orang. Guru besar bukan puncak karir akademis, akan tetapi awal dari karir akademis.
Jadi, dosen adalah magnit yang luar biasa untuk memperoleh status keunggulan bagi institusinya. Jika ini tidak dipenuhi, maka akan sangat sulit untuk memperoleh status keunggulan dimaksud. Dosen bukan hanya sebagai pengajar akan tetapi adalah penemu. Jadi kemampuan risetnya harus sangatlah unggul dalam bidangnya. Perguruan tinggi seperti UI bisa menjadi dikenal luar biasa di dunia internasional, karena penelitiannya yang memiliki standart temuan internasional. Dengan pendapatan pertahunnya yang mencapai dua trilyun rupiah, maka menjadi mustahil, jika UI tidak bisa mengembangkan keunggulan-keunggulannya. UI bisa membuat hibah penelitian yang outstanding dengan anggaran yang dimilikinya. Dengan demikian, jika kita ingin menjadi unggul, maka harus diperhatikan tentang variable substansial dan structural ini. Besuk saya masih akan menulis lagi tentang ekselensi tentang variable structural lainnya.
Kemajuan sebuah lembaga sangat tergantung kepada visi yang dirumuskan oleh segenap pimpinan lembaga beserta seluruh jajarannya. Tentu saja visi saja juga tidak cukup, jika tidak diikuti dengan implementasi yang memadai. Makanya antara visi dan implementasi harus seimbang dan memadai.
Untuk mengembangkan center of excellence tentu harus dilihat dari beberapa variable. Mempertimbangkan variabel-variabel ini tentu sangat mendasar, sebab tanpa eksistensi variabel yang menjadi inti pusat keunggulan tersebut, maka tujuan membangun center of excellence pasti tidak akan tercapai. Untuk menjadi excellence, tentu dibutuhkan beberapa persyaratan yang sangat ketat. Di antara variabel yang menjadi persyaratan tersebut yang mendasar adalah: pertama, pemihakan dalam bentuk kebijakan. Pemihakan pada kebijakan yang bersearah kepada penciptaan ekselensi menjadi variable substansial. Variable ini saya anggap sebagai sangat penting sebab tanpa pemihakan yang sangat mendasar tentang apa dan bagaimana agar menjadi excellence, maka segala sesuatunya pastilah tidak akan menjadi yang terbaik. Salah satu contoh yang sangat mendasar adalah pemihakan tentang anggaran.
Betapapun memiliki visi yang sangat baik, tentang apa dan bagaimana program ekselensi tersebut akan dilaksanakan, namun jika tidak didukung oleh penganggaran yang sangat memadai, maka hanya akan menjadi mimpi. Work without vision is day dream. Vision without work is nightmare. Jadi mimpi harus diubah menjadi kenyataan. Dan agar ide dapat menjadi kenyataan, maka haruslah didukung oleh seperangkat tindakan praksis yang berupa kebijakan yang selaras dengan implementasi visi dimaksud.
Kedua, adalah variable structural. Yang saya kategorikan sebagai variable structural adalah bagaimana agar sebuah institusi menjadi ekselen. Yaitu institusinya sendiri harus menjadi ekselen. Untuk menjadi ekselen maka harus ada pengakuan dari lembaga lain tentang ekselensi lembaganya tersebut. Misalnya adalah akreditasi kelembagaannya.
Di dalam hal ini, maka status kelembagaan tersebut harus memperoleh pengakuan dari lembaga independen, seperti BANPT untuk status akreditasi. Kemudian dalam hal pelayanan, maka harus memperoleh sertifikasi dari lembaga yang selama ini melakukan akreditasi tentang pelayanan jasa, misalnya ISO 9000 atau lainnya.
Kemudian juga status lainnya yang bisa membanggakan, misalnya pengakuan internasional tentang lembaga tersebut. Saya rasa pengakuan internasional tentang World Class University (WCU) melalui lembaga apapun menjadi penting. IAIN Sunan Ampel telah menjadi WCU melalui pengakuan Webometrics dengan peringkat 48 dari seluruh PT di Indonesia dan 6023 untuk seluruh perguruan tinggi internasional. Pencapaian ini tentu saja sangat membanggakan, sebab banyak orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang IAIN Sunan Ampel, namun Webometrics yang berpusat di Perancis justru mengenalnya sebagai lembaga yang unggul.
Yang sangat penting juga variable dosen. Agar menjadi PT dengan prodinya yang unggul, maka dosennya juga harus ekselen. Berapa banyak guru besar, doctor, praktisi yang terlibat di dalam program studi dimaksud. Satu contoh yang sangat mendasar, bagaimana akan menjadi ekselen di bidang prodi dakwah, jika di prodi tersebut tidak didapatkan guru besar dakwah yang sangat andal, tidak hanya kemampuan teoretik, akan tetapi juga praktisi dakwahnya. Jika dakwah itu dimaknai tidak hanya retorika akan tetapi juga kolumnis, penulis buku, penulis sastra agama, penulis puisi keagamaan, dan sebagainya, maka ada berapa banyak dosen yang memiliki keahlian dakwah bil kalam dan bil qolam.
Jika kita flash back yang sangat jauh, maka Ibn Sina, Ibn Khaldun, Ibn Rusyd, Imam Ghazali dan sebagainya dikenal oleh dunia internasional, karena tulisan-tulisannya yang menjadi referensi atas keunggulannya. Kemudian, dewasa ini, peraih hadiah Nobel ekonomi seperti Muhammad Yunus di Banglades menjadi dikenal oleh dunia internasional, karena tindakan praksisnya di bidang pemberdayaan masyarakat ekonomi kelas bawah. Jika lebih sempit lagi, maka UIN Jakarta dikenal sebagai lembaga yang unggul, karena tulisan Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat.
Untuk menjadi unggul di bidang ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu filsafat, pemikiran Islam, pendidikan Islam dan sebagainya, maka persyaratan mendasarnya adalah seberapa banyak guru besar dan doctor yang mengabdikan dirinya untuk lembaganya melalui karya akademis dan praksis yang orisinal dan unik. Meskipun banyak professor dan doctor, akan tetapi jika tidak memiliki ghirah untuk membesarkan lembaga melalui karya akademik, maka statusnya bisa diragukan orang. Guru besar bukan puncak karir akademis, akan tetapi awal dari karir akademis.
Jadi, dosen adalah magnit yang luar biasa untuk memperoleh status keunggulan bagi institusinya. Jika ini tidak dipenuhi, maka akan sangat sulit untuk memperoleh status keunggulan dimaksud. Dosen bukan hanya sebagai pengajar akan tetapi adalah penemu. Jadi kemampuan risetnya harus sangatlah unggul dalam bidangnya.
Perguruan tinggi seperti UI bisa menjadi dikenal luar biasa di dunia internasional, karena penelitiannya yang memiliki standart temuan internasional. Dengan pendapatan pertahunnya yang mencapai Rp. 800 milyar rupiah, maka menjadi mustahil, jika UI tidak bisa mengembangkan keunggulan-keunggulannya. UI bisa membuat hibah penelitian yang outstanding dengan anggaran yang dimilikinya.
Dengan demikian, jika kita ingin menjadi unggul, maka harus diperhatikan tentang variable substansial dan structural ini. Besuk saya masih akan menulis lagi tentang ekselensi tentang variable structural lainnya.
- D. Merenda Center of Excellence
Mengapa Perguruan Tinggi (PT) harus menjadi center of excellence? Mengapa diperlukan wilayah untuk pengembangan center of excellence? Apakah ada keraguan tentang pengembangan sebagai center of excellence yang selama ini sudah dilakukan oleh PTN, sehingga diperlukan pusat-pusat keungulan sebagaimana yang diinginkan?
Memang ada beberapa pandangan tentang pentingnya center excellence bagi PT, yaitu: pertama, ada anggapan secara historis bahwa untuk menjadi pusat keunggulan harus diperhatikan tentang banyak hal. Berdasarkan pandangan historis dinyatakan bahwa pola pengembangan pusat keunggulan di masa lalu sudah dilakukan. Misalnya, di dalam institusi pendidikan Islam (pesantren) ternyata di masa lalu sudah berbasis pada pusat-pusat keunggulan. Ada pesantren yang menjadi center of excellence fiqh seperti pesantren Tebuireng Jombang, center of excellence tarekat terdapat di pesantren Darul Ulum Jombang, center of excellence bahasa Arab di Pesantren Sarang dan sebagainya. Secara historis keberadaan pesantren pada zaman dulu memang seperti itu. Artinya bahwa pada masing-masing pesantren terdapat kekhususan yang menjadi ciri khasnya.
Sistem ini juga diadaptasi oleh institusi pendidikan tinggi umum. Misalnya kedokteran lalu identik dengan universitas Airlangga, ilmu budaya melekat pada UGM, ilmu sosial dan ekonomi terkait dengan UI, ilmu teknologi terkait dengan ITB, dan sebagainya. Di dunia pendidikan tinggi, center of excellence ternyata memang terkait dengan sejarah PT tersebut dan banyaknya ahli yang memiliki kompetensi yang relevan dengan keunggulannya.
Pandangan kesejarahan ini ternyata sudah tidak relevan lagi, sebab banyak institusi yang kemudian terus mengejar keunggulan yang memang dicita-citakan. Makanya kemudian muncul paradigma kedua, yang beranggapan bahwa keunggulan secara sosiologis bisa dilakukan oleh siapa saja asalkan yang bersangkutan telah berusaha secara maksimal. Oleh karena itu, maka dewasa ini sudah terdapat variasi-variasi keunggulan di berbagai tempat. Hal ini tentu saja terkait dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh masing-masing PT.
PT memang harus menjadikan dirinya sebagai center of excellence. Hal ini tentu saja terkait dengan keharusan PT untuk mengembangkan keunggulan yang memang dibutuhkan di era sekarang. Hanya saja bahwa banyak PT yang belum melakukan pemetaan secara maksimal tentang apa yang sesungguhnya bisa dijadikan sebagai center of excellence tersebut.
Di tengah persaingan yang semakin kuat dewasa ini, maka setiap PT harus terus berusaha agar memiliki pusat keunggulan. Kita tahu, bahwa institusi pendidikan tinggi memang memanggul lima tugas kependidikan. Ada jasa kurikuler, jasa non kurikuler, jasa penelitian, jasa pengabdian masyarakat dan jasa administrasi.
Jasa administrasi misalnya terkait dengan pelayanan, maka sekarang sudah saatnya pelayananpun harus terukur melalui standart pelayanan yang memadai. Untuk ini, maka pelayanan yang berbasis ISO 9000, misalnya menjadi penting untuk diraih dan diperoleh.
Bahkan misalnya beberapa perguruan tinggi sudah mencantumkan standart internasional tersebut di dalam surat menyurat. Bahkan juga peringkat internasional lainnya, seperti peringkat Webometrics dan peringkat perguruan tinggi unggulan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Di tengah kompetisi PT, maka berbagai usaha sudah dilakukan, termasuk melakukan berbagai pengembangan institusi, pengembangan kualitas PBM, pengembangan kapasitas dosen, mahasiswa dan sebagainya. Usaha ini tentu dilakukan di dalam kerangka untuk menjadi bagian dari center of excellence yang memang diniscayakan.
Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam telah mencoba untuk melakukan pembagian sesuai dengan wilayah dan kapasitas untuk pengembangan center of excellence ini, baik di PTAIN maupun PTAIS, misalnya centerof excellence ilmu fiqh di IAII Salafiyah Syafiiyah Situbondo, center of excellence ilmu dakwah di IAIT Kediri, kemudian center of excellence Bahasa Arab di UIN Malang, Ilmu Al-Qur’an di UNSIQ, Tafsir Hadits di IAIN SA dan sebagainya.
Di IAIN Sunan Ampel, misalnya untuk program studi tafsir hadits sudah menjelma menjadi kelas internasional yang peminatnya relatif memadai. melalui program pemihakan yang dilakukan oleh Kementerian Agama dan selanjutnya menjadi pemihakan oleh Institusi pendidikan setempat, maka program ini sekarang sudah menjadi program unggulan.
Jadi yang sesungguhnya diperlukan di era kompetisi ini adalah kemampuan melihat potensi yang dimiliki oleh PT dan kemudian diusahakan adanya pemihakan secara total terhadap program yang diinginkan untuk menjadi center of excellence. Melalui cara ini, maka program tersebut secara pasti akan dapat menjadi tumpuan unggulan di masa depan.
E. Mengembangkan Lulusan yang Andal
Jika menggunakan model analisis input and ouput process, tentu saja jika inputnya bagus, maka outputnya juga baik. Artinya bahwa kehebatan ouput sangat ditentukan oleh seberapa baik input yang masuk. Namun demikian yang juga penting untuk diperhatikan adalah variable proses. Artinya bahwa proses pendidikan juga sangat menentukan terhadap output pendidikan tersebut. Sebagaimana telah saya jelaskan kemarin, bahwa terdapat beberapa variabel struktural yang terlibat di dalam proses pendidikan untuk menghasilkan keunggulan atau ekselensi. Variable tesebut adalah dosen, PBM dan sarana-prasarana yang memadai. Oleh karenanya, untuk menciptakan unggulan bagi sebuah institusi pendidikan yang unggul haruslah diperkuat variable variabel struktural tersebut. Sebenarnya di dunia institusi pendidikan tinggi sudah banyak lembaga yang menjadi pengukur keunggulan. Misalnya adalah peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin peringkat, misalnya Webometrics, Time Higher Education Suplement, Shanghai Jiaotong, dan sebagainya. Masing-masing memiliki standart ukuran yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Webometrics misalnya berkepentingan untuk memberikan peringkat tentang keunggulan PT dalam ICT dan demikian pula yang lain. Di antara ukuran tersebut, misalnya ada yang membuat ukuran pada keunggulan dosennya dalam meraih hadiah Nobel, seperti Shanghai Jiaotong. Makanya perguruan tinggi yang bisa memiliki peringkat hebat adalah PT yang memiliki banyak dosen yang memperoleh Hadiah Nobel. Dapat dipastikan yang memperolehnya adalah PT yang memang sudah memiliki sejarah panjang dalam belantara instutusi pendidikan tinggi, seperti Harvard University, Oxford University, dan sebagainya.
Bagi PTAIN tentu masih jauh dari harapan itu. Sebab kita tahu bahwa PTAIN memang rata-rata baru berusia kira-kira 50-60 tahun. Selain itu juga belum memiliki tradisi akademik yang sangat unggul. Mungkin secara umum bisa dinyatakan bahwa yang sudah memiliki sejumlah guru besar yang memadai barulah UIN Jakarta. Selain jumlahnya yang cukup banyak, kira-kira 70-an, namun juga terdapat guru besar yang memiliki reputasi internasional, misalnya Prof. Azyumardi Azra, dan untuk UIN Yogyakarta adalah Prof. Amin Abdullah. Sedangkan yang lain barulah berusaha untuk menjadi dikenal oleh dunia akademis nasional.
Sebagaimana yang menjadi topik di dalam pembahasan ini, maka yang sesungguhnya dapat menjadi ukuran keunggulan sebuah PT adalah bagaimana alumninya berkiprah di dalam dunia sosial kemasyarakatan, birokrasi dan bisnis. Banyaknya alumni yang memiliki kiprah di dunia sosial kemasyarakatan, birokrasi dan bisnis tentu menandai bahwa PT tersebut telah dapat menjadi jembatan untuk meraih prestasi. Melalui reformasi, sebenarnya terdapat berkah yang tidak terduga, blessing in disguise. Yaitu terbukanya akses di dunia politik. Sehingga banyak di antara alumni PTAIN yang kemudian memasuki dunia politik. Meskipun banyak yang tidak linear, akan tetapi sekurang-kurangnya memberikan peluang bagi alumni PTAIN untuk memasuki kawasan dunia pengabdian melalui keterlibatannya di dalam dunia politik.
Hanya saja hal ini bukanlah menjadi ukuran keberhasilan sebuah proses panjang pendidikan. Sebab yang paling baik adalah jika lulusan pendidikan tersebut bekerja sesuai dengan kapasitas dan profesinya. Artinya, jika mereka adalah lulusan ilmu-ilmu agama, maka seharusnya yang bersangkutan akan bekerja sesuai dengan kapasitasnya tersebut. Alumni Fakultas Dakwah tentunya harus menjadi da’i dalam kapasitas keilmuannya. Jika dia adalah lulusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), maka semestinya akan menjadi da’i dalam perspektif retorika atau menjadi penulis yang andal dalam bidangnya. Harus dilahirkan dari fakultas ini orang sekaliber Jefri al-Bukhari, Yusuf Mansur dan sebagainya. Jadi, mestinya yang menjadi input di fakultas ini adalah mereka yang telah memiliki pengetahuan agama yang sangat memadai, sehingga pemolesan yang dilakukan adalah pemberian bekal kemampuan metodologis, dan praksis berdakwah, serta ilmu-ilmu pendukung yang mencukupi. Makanya untuk kepentingan ini, maka menjadikan alumni PT sebagai alumni unggulan tentu sangat penting. Di antara pola yang dapat dilakukan adalah dengan mempertimbangkan kembali tentang muatan kurikulum pendidikan tinggi. Review kurikulum dirasakan menjadi salah satu cara untuk selalu meninjau ulang terhadap muatan atau contennya, sehingga kurikulum tersebut akan selalu up to date. Jika dipandang penting, maka muatan praksis harus lebih banyak. Sebab yang akan dicetak adalah alumni yang memiliki keahlian praksis dan bukan keahlian teoretis.
Dengan demikian, ketika akan menjadikan sebuah prodi untuk menjadi prodi unggulan, maka yang harus diperhatikan adalah tujuan dan target lulusan apa yang akan dihasilkan. Keunggulan dosen, keunggulan administrasi, keunggulan infrastruktur dan sebagainya tidak akan bermakna jika tidak diikuti oleh keunggulan lulusannya. Jadi, variabel-variabel substansial dan struktural untuk menciptakan prodi unggul tentu harus menjadi perhatian utama.
Pengembangan Kualitas Infrastruktur
Saya akan memperdalam tentang apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para stakeholder PT yaitu menjadikan PT sebagai PT yang unggul. Saya telah menguraikan bahwa dosen dan proses pembelajaran merupakan variabel penting di dalam pengembangan center of excellence. Saya telah kupas beberapa indikator dasar yang kemudian bisa dibuatkan ukuran-ukurannya dan bahkan juga untuk merumuskan program akseleratif yang menyangkut pengembangkan pusat keunggulan dosen. Kini saya ingin menggambarkan bahwa selain dosen dan PBM juga ada variabel struktural yang perlu diperhatikan, yaitu variable infrastruktur dan sarana prasarana. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab terkait dengan sarana dan prasarana adalah apakah keunggulan bisa digapai tanpa memperhitungkan variable sarana dan prasarana PT? Di dalam hal ini jangan dibayangkan bahwa yang dimaksud dengan sarana dan prasarana adalah gedung-gedung atau bangunan-bangunan fisik saja, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana pemenuhan laboratorium yang andal bagi mahasiswa, keberadaan perpustakaan yang hebat dengan koleksi dan teknologinya, serta keberadaan SDM yang andal untuk memanaj dan mendayagunakan semuanya itu untuk kepentingan pengembangan kemampuan intelektual, akademis dan keterampilan mahasiswa di dalam penguasaan bidang studinya.
Tentang perpustakaan, betapa pentingnya penguatan di dalamnya. Bagi saya, perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi. Bagaimana sebuah perguruan tinggi dapat dianggap unggul jika perpustakaannya hanya sebuah lokal yang hanya berisi sejumlah koleksi. McGill University di Kanada sangat terkenal akan koleksinya yang luar biasa. Melbourne University juga sangat terkenal akan koleksinya. Semuanya menggambarkan bahwa perpustakaan adalah jantung perguruan tinggi. Makanya, perpustakaan tersebut juga memberikan layanan secara maksimal bagi mahasiswa yang membutuhkannya.Sebuah perpustakaan dapat dinilai unggul, jika koleksinya tidak terhingga –karena banyaknya—dan juga teknologi informasinya yang sangat baik. Koleksi buku, jurnal, bulletin, majalah, bahkan teks-teks klasik menjadi sangat penting. Sedangkan dari sisi teknologi, maka sudah menggunakan system on line atau Online Public Access Catalogue (OPAC), sudah menerapkan digital library (Digilib), dan juga memiliki relasi yang kuat dengan perpustakaan lain dalam pelayanan peminjaman dan juga jurnal-jurnal internasional yang banyak. Tidak sekedar itu, di dalamnya juga banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki mimpi tentang bagaimana memberikan yang terbaik bagi para penggunanya.
Kemudian, perpustakaan itu juga sangat mudah diakses oleh para peminatnya untuk bisa bergabung di dalamnya melalui tersedianya layanan on line di website PT. Jangan pernah berharap untuk dinyatakan sebagai perpustakaan yang hebat, jika koleksi itu hanya bisa dinikmati atau dikunjungi secara fisikal. Di tengah arus perkembangan teknologi informasi ini, maka hal-hal yang bisa diakses tentu harus diakses sebagai bagian dari kebebasan untuk memperoleh informasi. Makalah, hasil penelitian, jurnal, majalah, buku dan karya akademis lain haruslah dapat diakses dengan mudah melalui layanan di website PT. Keunggulan website Universitas Petra adalah karena semua tulisan apakah dari mahasiswa atau dosen sudah terpublis di dalam websitenya dan dapat diakses oleh siapa saja. Selain itu, laboratorium juga sangat penting. Untuk menjadikan mahasiswa sebagai alumni yang hebat tentu sangat tergantung kepada keberadaan laboratorium. Saya teringat pidato Pak De Karwo, 29/09/2010, bahwa banyaknya lembaga pendidikan umum (SMU) disebabkan karena mendirikan SMK memerlukan laboratorium. Atau jika mendirikan SMK, maka tidak ada praktiknya. Beliau menyatakan yang demikian itu disebut sebagai praktik “kognisi” kebudayaan dan bukan praktikum “hasil” kebudayaan. Laboratorium merupakan sarana untuk membekali mahasiswa dengan pengalaman praksis. Dia tidak hanya memperoleh pengetahuan praktis, akan tetapi juga pengalaman praktis. Bagaimana seseorang akan menjadi ahli ilmu Falaq, jika tidak pernah praktik teknologi tentang falaq. Bagaimana seseorang akan bisa menjadi juru dakwah melalui retorika, jika tidak memiliki pengalaman melalui laboratorium micro-preaching. Melalui laboratorium ini, maka dia akan dapat memahami apa kekurangannya dan kemudian secara terus menerus memperbaikinya. Makanya untuk menjadi unggul dalam ilmu dakwah juga harus ditunjang oleh kelengkapan infrastruktur untuk menjadi unggul. Cobalah sekali waktu kita petakan, apakah dari sisi sarana dan prasarana kita sudah bisa dinyatakan sebagai unggul itu. Kita memang harus menyadari bahwa masih ada gap yang sangat tinggi di antara PTAI kita. Bagi yang sudah menjadi UIN dan memperoleh dana loan dari IDB, maka problem kelas dan ruangan sudah tidak lagi dirasakan. Maka yang seperti ini, tentu sudah bisa merancang untuk memenuhi kebutuhan seluruh laboratoriumnya. Perencanaan ke depan adalah bagaimana agar kebutuhan mahasiswa mengenai laboratorium dapat dipenuhi agar mahasiswanya menjadi ekselen. Oleh karena itu, pemenuhan laboratorium untuk mengangkat prodi agar menjadi unggulan juga sangat mendasar dan penting. Tanpa hal ini, rasanya kita memang benar-benar berada di alam mimpi.
G. Penutup
Dilihat dari keterlengkapan sarana dan prasarana beserta infrastruktur di dalamnya, maka saya melihat bahwa beberapa UIN seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta dan lainnya sudah cukup memadai. Melalui skema Loan IDB, maka kelengkapan sarana dan prasarana serta infrastrukturnya sudah sangat memadai, sehingga beberapa UIN tersebut sudah tidak lagi dipusingkan oleh pemenuhan standart sarana dan prasarana.
Makanya, ke depan tentu sudah bisa mengembangkan secara lebih mendasar tentang capacity building terutama yang menyangkut pengakuan internasional tentang kualitas perguruan tinggi Islam ini. Oleh karena itu, kita tentu berharap banyak akan kemajuan dari beberapa UIN ini di dalam kerangka untuk menjawab “keraguan” orang tentang kualitas PTAIN.
Sementara itu, bagi PTAIN yang masih belum memenuhi standart akademik dan sarana prasarana, maka tentunya harus terus berupaya agar lembaga pendidikan tinggi ini juga meraih pengakuan dari sesuatu yang sangat dekat untuk diunggulkan. Oleh karena itu, maka tidak ada kata berhenti untuk berusaha mengembangkan PT.
Ke depan, saya kira semua pimpinan perguruan tinggi harus terus bekerja keras, bekerja cerdas dab bekerja ikhlas di dalam mengembangkan perguruan tinggi Islam agar mercu suar ilmu keislaman multidispliner yang menjadi andalan tersebut akan semakin memperoleh posisi penting strategis bagi pengembangan akademik yang unggul.
Saya kira peluang untuk menjadi “the winner” masih terbuka luas, asalkan kita mau melakukan perubahan sesuai dengan api Islam yang terus berkobar. Wallahu a’lam bi al shawab.