PROBLEMATIKA DAN SOLUSI NII DI JAWA TIMUR
LATAR BELAKANG
Semenjak kurun waktu antara 1945 hingga saat ini, berbagai peristiwa telah terjadi dan tidak sedikit yang mengakibatkan munculnya ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Persoalan ini memang selalu menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah. Fakta yang diungkapkan dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah maupun yang tersimpan di dalam arsip nasional Pemerintah Indonesia dianggap sebagai kebohongan oleh sebagian pihak, termasuk di antaranya komunitas yang mengaku sebagai Warga Negara Islam Indonesia dan parsimpatisannya.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah nama yang tak dapat dilepaskan dari pembahasan masalah yang berkaitan dengan Negara Islam Indonesia. Dialah pendiri negara berasas Islam tersebut. Dalam sejarah yang kita pelajari, Kartosoewirjo adalah tokoh yang tidak lebih dari seorang pemberontak yang telah mendirikan negara baru di wilayah negara Republik Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah gerakan yang mengatasnamakan Negara Islam Indonesia sangat gencar melakukan rekrutmen anggota baru, tetapi cara-cara yang mereka gunakan ternyata berlawanan dengan syariah dan sunnah Rasulullah saw.
Saat ini ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa basis kelompok NII masih terus hidup dan berkembang dengan pesat. Kelompok ini berusaha membangun supremasi Islam, hingga akhirnya mereka memproklamasikan diri sebagai sebuah negara pada 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962).
PERMASALAHAN
Sebagai negara hukum dan berdaulat, Indonesia mewajibkan seluruh warga negaranya untuk menjalankan hak dan kewajibannya dalam upaya penjagaan kedaulatan republik. Pada konteks inilah kemudian muncul problem mendasar bagi keberadaan komunitas NII di Indonesia. Sebagai sebuah gerakan keagamaan dan politik, NII tidak menerima ideologi Pancasila dan tetap mempertahankan upaya menjadikan Islam sebagai dasar Indonesia.
Selain itu, kini sedang marak penipuan berkedok NII yang terjadi pada beberapa kalangan terpelajar (mahasiswa) di Jawa Timur. Kajian sementara menyebutkan bahwa kejahatan yang dijalankan oleh kelompok NII ini menggunakan teknik cuci otak (brain washing) pada para korbannya. Maka ada dua persoalan, yaitu masalah ideologi dan kriminalitas yang sekarang melekat pada komunitas NII.
SETTING HISTORIS BERDIRINYA NII
Kemunculan Negara Islam Indonesia[1] (NII) dinilai oleh beberapa pihak sebagai akibat dari merasa sakit hatinya kalangan Islam Politik pada saat terjadi vacuum of power di Republik Indonesia (RI). Sejak tahun 1926, telah berkumpul para ulama di Arab dari berbagai belahan dunia, termasuk Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, guna membahas rekonstruksi khillafah Islam (politik Islam) universal yang runtuh pada tahun 1924. Sayangnya, syuro para ulama tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak berkelanjutan.
Adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang merupakan orang kepercayaan Tjokroaminoto menindaklanjuti usaha rekonstruksi khilafah Islam dengan menyusun brosur sikap hijrah berdasarkan keputusan kongres PSII 1936. Kemudian pada 24 April 1940, Kartosoewirjo bersama para ulama mendirikan Institut Shuffah di Malangbong. Institut Shuffah merupakan suatu laboratorium pendidikan tempat mendidik kader-kader mujahid seperti di zaman Nabi Muhammad saw. Institut shuffah yang didirikan telah melahirkan para pembela Islam dengan ilmu Islam yang sempurna dan keimanan yang teguh. Mujahid dalam orientasi Institut Shuffah adalah mereka yang rela berkorban secara fisik dan material pada perjuangan yang diyakini sebagai representasi Islam paling benar.
Beberapa alumnus Shuffah ini kemudian melebur kedalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Dalam perkembangannya, sebagian laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi alumni didikan RM Kartosoewiryo tidak diizinkan ikut hijrah ke Yogyakarta mengikuti langkah yang diambil tentara RI. Alasannya lebih didasarkan pada anggapan Kartosoewiryo pada aktifis politik Indonesia wakt itu bahwa mereka telah melakukan berbagai kekonyolan politik. Laskar inilah yang pada akhirnya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
Selanjutnya, pada tanggal 10 Februari 1948, diadakan sebuah konferensi di Cisayong yang menghasilkan keputusan membentuk Majelis Islam dan mengangkat Kartosoewirjo sebagai Panglima Tinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Konferensi di Cisayong tersebut juga
menyepakati bahwa perjuangan haruslah melalui langkah-langkah berikut:
- Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.
- Memberikan penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan feblisit (referendum).
- Membangun daerah basis.
- Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
- Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di dalam negeri dapat melaksanakan syari’at Islam seluas-luasnya dan sesempurna-sempurnanya, sedangkan ke luar, sanggup berdiri sejajar dengan warga negara lain.
- Membantu perjuangan umat Islam di negeri-negeri lain sehingga dengan cepat dapat melaksanakan kewajiban sucinya.
- Bersama negara-negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat khalifah dunia.
Kemudian pada tanggal 20 Desember 1948, dikumandangkan jihad suci melawan penjajah Belanda dengan dikeluarkan Maklumat Imam yang menyatakan bahwa situasi negara dalam keadaan perang, dan diberlakukan hukum Islam dalam keadaan perang. Setelah sembilan bulan seruan jihad suci, maka pada tanggal 7 Agustus 1949, diproklamasikan berdirinya NII yang dikumandangkan ke seluruh dunia. Berbagai sumber literatur tentang NII menyatakan bahwa lahirnya NII sesungguhnya bukanlah hasil rekayasa manusia, melainkan af’alullah (aktifitas Allah swt). Tujuan dan program yang diemban pemerintah NII adalah menyadarkan manusia bahwa mereka adalah hamba Allah dan berusaha menegakkan khilafah di muka bumi.
Pendirian NII mengacu pada Negara Madinah di zaman Rasulullah saw. pasca runtuhnya kekhalifahan Islam yang terakhir di Turki pada tahun 1924. Hukum yang melandasi Negara Madinah atau hukum kenegaraan (sosial kemasyarakatan anta rumat beragama) adalah Hukum Islam. Maka, Negara Islam Indonesia pun dalam Qanun Asasi (konstitusi)-nya, yakni Bab I Pasal 1, menegaskan bahwa:
- Negara Islam Indonesia adalah Negara Karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada bangsa Indonesia.
- Sifat Negara itu jumhuryah (republik) dengan sistem pemerintahan federal.
- Negara menjamin berlakunya syari’at Islam di dalam kalangan kaum muslimin. Negara memberi keleluasaan kepada pemeluk agama lainnya dalam melakukan ibadahnya.
Selanjutnya, Pasal 2 Qanun Asasi tersebut menyebutkan bahwa:
- Dasar dan hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Islam.
- Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadits sahih.
GERAKAN NII RM KARTOSUWIRYO
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu, mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu dan menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya “gerakan pencerahan Indonesia” ketika itulah, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 1950-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 1920-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.[2]
Pada tahun 1911, saat para aktivis di negeri ini mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK) atau Sekolah “Kelas Dua” untuk Kaum Bumiputera di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang. Tahun 1919, ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah Europeesche Lagere School (ELS). Bagi seorang putra pribumi, HIS dan ELS merupakan sekolah elit. Karena kecerdasan dan bakat khusus yang dimilikinya, Kartosoewirjo dapat masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi guru agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Notodihardjo kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah, tepatnya pada tahun 1926, ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Selama kuliah, Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara serius hingga kemudian begitu “terasuki” oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya dilakukan hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak memengaruhi sikap, tindakan, dan orientasi Kartosuwirjo. Maka, setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat belajar tersebut tidak berani menuduh Kartosoewirjo sebagai orang yang terasuki ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh komunis, karena ideologi ini sering dipandang sebagai paham yang membahayakan. Padahal, ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa saat itu. Tidaklah mengherankan, selanjutnya Kartosuwirjo tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Dalam berbagai literatur berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing, ia digambarkan sebagai seorang ulama besar di Asia Tenggara.
Kartosoewirjo memulai karir politiknya di kota Surabaya dengan bergabung ke dalam organisasi pemuda Jong Java. Ia merupakan murid dari H.O.S. Tjokroaminoto, yang kala itu juga menjadi guru dari Musso dan Soekarno. Perbedaan jelas tampak dari ketiga tokoh yang merupakan anak didik dari Trjokroaminoto tersebut. Soekarno adalah tokoh nasionalis yang akhirnya menjadi pemimpin pertama negara ini, sedangkan Musso dan Kartosoewirjo adalah dua nama yang pada masa awal pemerintahan Soekarno dianggap sebagai pemberontak. Perbedaannya adalah, Musso beraliran komunis, sementara Kartosoewirjo berniat mendirikan negara berasaskan syari’at Islam.[3]
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java tersebut. Kemudian, pada tahun 1925, ia termasuk ke dalam anggota-anggota Jong Java yang mengutamakan cita-cita keislamannya dan akhirnya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakan kepada agamanya. Dua organisasi inilah yang kemudian membawa dirinya menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang amat berpengaruh dalam kebangkitan pemuda Indonesia, “Sumpah Pemuda”.
Selain bertugas sebagai Sekretaris Umum Partij Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar harian Fadjar Asia. Semula ia bekerja sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda, sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi Redaktur Harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah ia menerbitkan berbagai artikel yang isinya dipenuhi banyak kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Dalam perjalanan tugasnya ke Malangbong, ia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia bergabung dengan sebuah organisasi kesejahteraan Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga shuffah yang pernah dia bentuk. Namun, kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian, siswa yang menerima latihan kemiliteran di institut shuffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Berdasarkan beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Akan tetapi, proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada republik dan menerima proklamasi tersebut.
Namun, sejak kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kaum nasionalislah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang dianggap sekuler oleh kalangan nasionalis Islam. Semenjak itu, kalangan Nasionalis-Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 1970-an kalangan nasionalis Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan nasionalis Islam dan kaum nasionalis “sekuler”.
Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dianggap sebagai pertentangan antara Islam dan negara. Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda. Perjanjian tersebut berisi antara lain, gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Artinya, Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan itu merupakan pil pahit bagi republik ini. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan RI di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, tentara RI di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Presiden RI saat itu, Soekarno menyebut “mundurnya” TNI ini dengan memakai istilah Islam, “hijrah”. Namun, sebaliknya, pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah menganggap diri mereka lebih tahu apa makna “hijrah” itu. Pada tahun 1949, Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat sebagai “Islam yang muncul dalam wajah tegang.” Bahkan, peristiwa ini tercatat dalam sejarah sebagai sebuah “pemberontakan”.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal 16 Agustus 1962, menyatakan bahwa perjuangan Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo. Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, tidak banyak sumber yang memaparkan informasinya secara jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius.
SINONIM NII DI NUSANTARA
Gerakan pemberontakan yang dilakukan NII Kartosoewiryo sendiri memiliki kesamaan dengan gerakan makar di beberapa tempat lain dengan tokoh yang berbeda. Dikenal beberapa nama seperti Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Kahar Muzakkar[4] di Sulawesi Selatan.
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan “Proklamasi” Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953. Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai “Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh” sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu ” Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh “orang-orang Kiri”, dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh “orang-orang Kiri” tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
ANALISIS
Jawa Timur merupakan propinsi di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi. Pada tahun 2007, tercatat ada sebanyak 36.895.571 jiwa manusia yang hidup di Jawa Timur dengan tingkat kepadatan sebesar 814 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2008, tercatat ada 37.094.836 jiwa yang hidup di Jawa Timur dengan laju pertumbuhan sebesar 0,54%. Secara umum, kawasan perkotaan memiliki tingkat kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding dengan kepadatan penduduk yang hidup di kawasan pedesaan.
Dari sisi etnisitas, Jawa Timur menjadi satu kawasan yang relatif heterogen, walaupun secara umum suku Jawa menjadi mayoritas dengan menempati sebagaian besar kawasan di tiap kawasan. Selain itu juga ada suku Madura yang umumnya bermukim di pulau Madura dan kawasan timur dari Jawa Timur. Pada umumnya, suku ini bekerja pada aspek informal dan dapat dijumpai di tiap kota. Di kawasan Tengger juga terdapat suku Tengger yang merupakan keturunan para pelarian dari kerajaan Majapahit setelah mengalami keruntuhannya. Terdapat juga suku Osing yang menempati sebagian kawasan di Banyuwangi, ada juga suku Samin yang menempati kawasan di kabupaten Bojonegoro. Selain etnis asli Indonesia, Jawa Timur juga dihuni oleh suku Cina, Arab dan warga ekspatriat yang secara umum memiliki pekerjaan dalam sektor industri dan perdagangan.
Dalam aspek keyakinan, tercatat angka 95,76% penduduk JawaTimur mayoritas beragama Islam. Kemudian 1,98% beragama Protestan; 0,98% beragama Katolik; 0,94% beragama Hindu; 0,29% beragama Budha; dan lainnya sebanyak 0,05%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek agama dan keyakinan, masyarakat Jawa Timur juga merupakan mayarakat yang heterogen.
Keragaman agama dan keyakinan ini juga dapat dilihat dengan adanya fasilitas rumah ibadah dari tiap pemeluk agama yang ada. Sampai tahun 2007, di Jawa Timur tercatat ada 36.390 masjid; 156.902 langgar atau mushalla; 1.936 gereja Protestan; 342 gereja Katolik; 397 pura dan 169 vihara.
Keragaman agama dan suku ini, terkadang dapat menimbulkan konflik atau kerusuhan antar kelompok dalam masyarakat. Sebelum tahun 2010, terdapat beberapa konflik bertemakan suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) di Jawa Timur. Tahun 2005 terjadi 13 kasus kerusuhan SARA di kabupaten Malang (2 kasus); dan kabupaten Probolinggo (11 kasus). Tahun 2006 terjadi 4 kasus kerusuhan, yaitu di Sidoarjo (1 kasus); kabupaten Jember (2 kasus); dan di kabupaten Nganjuk (1 kasus). Tahun 2008 terjadi satu kerusuhan SARA di kabupaten Pasuruan.
Beberapa waktu terakhir ini, telah terjadi penipuan terhadap beberapa mahasiswa di Jawa Timur melalui modus brain washing. Penipuan tersebut terungkap setelah beberapa mahasiswa yang menjadi korban terkuak oleh media massa. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari faktor doktrin ajaran dari kelompok NII dalam proses rekrutmen anggota.
Terkait dengan persoalan doktrin. NII Kartosoewiryo berpendapat bahwa sesungguhnya saat ini sedang terjadi kebodohan baru (jahiliyah modern) dalam diri umat Islam. Sayangnya, jahiliyah modern ini di-back-up oleh penguasa di tiap lini. Penguasa yang berpihak kepada kelaliman ini disebut oleh mereka sebagai penguasa thaghut. Tiap muslim memiliki kewajiban moral untuk menegakkan ajaran Allah sekaligus membenarkan kelaliman yang sedang terjadi. Penegakan ajaran Tuhan sesuai dengan doktrin la hukma illa lillah (tidak ada hukum yang wajib dijalankan selain hukum Allah). Jalan yang paling efektif untuk melakukan pembenahan tersebut adalah dengan cara menegakkan pemerintahan Islam (khilafah a-Islamiyah) yang harus dijalankan dengan melakukan jihad ofensif. Maka jadilah NII Kartosoewiryo melakukan gerakan makar kepada RI dengan doktrin ini.
Sampai saat ini, di tubuh NII sendiri telah terjadi polarisasi gerakan yang mengidentitaskan dirinya sebagai “NII asli” dan “NII KW IX”. NII KW (Komendemen Wilayah) IX adalah sempalan dari NII yang telah lebih dulu lahir. NII KW IX inilah yang pada waktu belakangan ini dituding sebagai organisasi dan jaringan yang bertanggung jawab atas praktek penipuan pada beberapa mahasiswa. NII KW IX disinyalir merupakan sempalan dari NII yang diwariskan oleh Kartosoewiryo. NII KW IX dituding oleh NII Kartosoewiryo sebagai hasil bentukan intelejen RI untuk melemahkan NII yang asli. Upaya untuk memperlemah NII asli itu dijalankan dengan melakukan berbagai penipuan kepada tiap kalangan untuk membangun citra negatif dari NII yang asli. Kelompok ini (NII KW IX) tidak bertujuan mendirikan negara Islam, tapi hanya ingin mencari keuntungan material semata.[5]
Kini NII Kartosoewiryo lebih identik dengan kegiatan halaqah (kajian) yang dilakukan dengan basis massa yang dimilikinya. Kelompok ini tidak begitu lagi semarak menganjurkan warganya untuk melakukan kegiatan jihad ofensif kepada problematika kontemporer yang sedang terjadi. Kelompok ini lebih memilih untuk melakukan penyadaran internal tanpa pencucian otak pada orang lain. Mediasi penyadarannya adalah melalui kajian antar personal dan kelompok yang sudah ada dan diwariskan secara turun temurun. Keturunan laskar DI/TII Kartosoewiryo kini diyakini masih banyak bermukim di sekitar daerah Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan NII Kartosoewiryo ini mendapat tekanan pada masa rezim Orde Lama dan Orde Baru dalam bentuk fisik dan militer. Ini juga dialami oleh gerakan makar lain yang memiliki kesamaan dengan NII Kartosoewiryo, yaitu upaya membentuk Negara Islam Indonesia. Berbagai gerakan tersebut seperti yang pernah dilakukan oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai bagian dari “bahaya latent” dari pemerintah Orde Baru, sehingga mendapatkan perlakuan yang determinatif dari pemerintah. Jadilah “ideologisasi” yang masih dijalankan akan melalui jalur rahasia dengan harapan agar tidak terendus oleh intelejen negara. Ideologisasi ini hanya akan maksimal bila dilakukan dan dilambari secara tertutup dari keluarga ke keluarga lain yang memiliki hubungan kekerabatan. Maka konsep extended family menjadi sebuah media yang dapat menunjang ideologisasi NII versi Kartosoewiryo.
Kelompok NII KW IX yang kini diyakini berada dalam kendali Abu Toto atau Panji Gumilang yang menjadi pengasuh di pesantren Al Zaytun[6], ditegaskan bukan menjadi bagian resmi dari NII Kartosoewiryo. Kelompok ini (NII KW IX) merupakan hasil rekayasa intelejen yang disusupkan oleh negara dalam upaya memperlemah NII warisan Kartosoewiryo.[7] Upaya memperlemah ini dijalankan melalui sebuah operasi untuk merekrut anggota baru NII KW IX dengan orientasi agar mereka akan dijadikan garda terdepan dalam pengumpulan uang yang wajib disetorkan sebagai bagian dari jihad membela kebenaran. Uang inilah yang kemudian dikelola oleh pimpinan NII KW IX. Diharapkan nantinya muncul banyak kerugian pada masyarakat secara luas, dan ketika khalayak menyadarinya, maka akan terjadi sikap antipasti terhadap NII. Sikap antipati ini diskenario oleh intelejen melalui NII KW IX agar muncul kekuatan aktif dari dalam masyarakat untuk menghindari NII Kartosoewiryo.[8]
Terlepas dari itu rekayasa atau tidak adanya campur tangan intelejen negara terhadap NII Kartosoewiryo, pada dasarnya NII KW IX memiliki kejanggalan doktrin keagamaan yang sengaja di-agitasikan pada pengikutnya.[9] Hal itu dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, yaitu adanya konsep RMU (rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyah) dalam konsep ketauhidannya. Ikrar syahadat “asyhadu an la ilaha illallah” dalam sistem doktrin NII KW IX adalah ibarat dasar tauhid yang menjelaskan keyakinan bahwa dalam keimanan dapat diumpamakan dengan tanaman. Ada akar, batang dan buah. Pengakuan pada Allah, menuntut penjalanan syariat Islam dengan kaffah, hal ini diibaratkan dengan batang dari pohon, sedangkan akarnya adalah negara Islam, dan buahnya adalah umat Islam secara keseluruhan. Maka upaya aktif untuk mendirikan negara Islam merupakan bagian penting dari tauhid yang diyakini. Jika tidak merasa berkewajiban untuk mendirikan negara Islam, maka ketauhidan yang diyakini belum benar.[10]
Kedua, kelompok meringkas lima Hukum Dasar Islam (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) menjadi hanya tiga, yaitu wajib, haram dan sunnah. Tindakan ini berdampak pada status fiqh (hukum Islam) dari aktifitas yang mereka jalankan, termasuk dalam hal shalat. Dalam keyakinan NII KW IX, shalat masih belum diwajibkan pada saat ini, karena masih dalam kondisi jahiliyah yang sama dengan masa Rasulullah saw di Makkah. Maka jika ada anggota NII KW IX yang tidak shalat, juga tidak berdosa karena kewajiban itu sudah ditanggung oleh pemimpin mereka (Imam). Kewajiban melaksanakan shalat sudah tergantikan ketika mereka melakukan propaganda dan mengajak orang lain masuk kelompoknya.
Ketiga, tentang puasa Ramadlan. Kelompok ini mengartikan puasa (shaum) bukan dengan pelaksanaan puasa di bulan Ramadlan, namun diartikan dengan upaya menjaga diri untuk menggunakan harta secara berlebihan. Harta yang digunakan secara berlebihan merupakan bagian dari perbuatan dosa, dan untuk menghindari itu mereka diwajibkan menyerahkan sebagian hartanya untuk organisasinya. Dengan menyerahkan harta pada organisasi, maka kewajiban puasa Ramadlan menjadi lunas.
Keempat, dalam masalah zakat, kelompok ini menegaskan bahwa memberikan harta kepada orang miskin adalah kewajiban mutlak yang harus dilakukan tiap anggota. Pemberian harta zakat itu dapat diberikan langsung, atau disalurkan kepada organisasinya. Untuk memenuhi kewajiban mutlak tersebut, kelompok ini menghalalkan segala macam cara, termasuk menipu. Doktrin seperti ini dapat ditengarai menjadi alasan kuat dimana dihalalkan berbagai macam cara penipuan untuk melunasi kewajiban terhadap organisasi.
Kelima, tentang haji, kelompok NII KW IX menyatakan bahwa ibadah ini bukan merupakan kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana mayoritas muslim melaksanakannya. Namun, kelompok ini menganggap bahwa haji adalah sebuah program organisasi yang waktu dan tempat pelaksanaannya diatur secara mandiri oleh NII KW IX.
Beberapa doktrin tersebut menjadi dasar bahwa perbuatan aktifis NII KW IX bukan semata-mata persoalan kriminal. Persoalan agama juga tidak menjadi satu faktor utama dalam melihat permasalahan tersebut.[11] Namun lebih dari itu, persoalan tersebut juga merupakan persoalan perbedaan ideologi yang diyakini kebenarannya oleh pengikut kelompok ini. Tindakan kriminal yang lahir oleh kelompok ini tidak berangkat dari latar belakang yang kosong dan tiba-tiba. Ada sesuatu yang mendasari mereka untuk rela melakukan penipuan dan tindakan melanggar hukum lain, yaitu ideologi.
Terkait dengan hal ini, maka sebenarnya yang menjadi perhatian serius adalah adanya ancaman sungguh-sungguh terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Ancaman itupun tidak bersifat sementara, namun bersifat laten yang berisi potensi kemunculannya pada dimensi ruang, waktu dan model yang berbeda. Bahaya latency ini ditambah dengan fakta bahwa korban atau orang yang direkrut oleh kelompok NII KW IX adalah kelompok mahasiswa dan pelajar yang dalam proyeksi 10 sampai 30 tahun kedepan mereka akan menjadi pelaku di semua sektor pembangunan di negara Indonesia. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia ketika Pancasila sudah terancam dalam sistem ideologi baru pada masa puluhan tahun mendatang. Tentunya hal ini harus dipandang tidak secara hitam-putih semata, namun harus dicermati secara komprehensif demi kepentingan Indonesia sebagai negara dan bangsa.[12]
SOLUSI NII DI JAWA TIMUR
Terkait dengan persoalan ini, maka ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, yaitu:
- Memantapkan pilar kebangsaan melalui perkuliahan serta program pendidikan baik di tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat SLTA;
- Menyelenggarakan berbagai seminar, simposium, semiloka, dan workshop dengan tema membedah ideologi NII dan pemantapan sila kebangsaan;
- Membuat instrument dalam seleksi tenaga pendidik/tenaga kependidikan/dan PNS lain untuk memahami ideologi peserta orang yang akan direkrut;
- Merumuskan aturan-aturan yang terkait dengan pentingnya penjaringan orang-orang atau kelompok yang memiliki ideologi berbeda dengan Pancasila. Di dalam aturan tersebut ditegaskan bentuk sangsi terhadap orang atau kelompok yang berideologi selain Pancasila;
- Menyelenggarakan temu organisasi mahasiswa/organisasi pemuda/organisasi pemuda Agama dalam rangka memahami pilar penyangga kebangsaan dan menghindari ideologi selain Pancasila;
- Membentengi mahasiswa/pemuda dari pengaruh negatif ideologi yang berseberangan dengan Pancasila;
- Pemerintah hendaknya berorientasi pada upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial, lapangan kerja, dan mengurangi jarak kemiskinan dalam masyarakat.
[1] Yon Machmudi, Islamising Indonesia, (Canberra: ANU Press, 2008) h. 40
[2] Al-Chaidar, “Siapa S.M. Kartosoewirjo?”, (http://www.hidayatullah.com/sahid/9905/sejarah.html)
[3] Lubis, Muhammad Ridwan, Pemikiran Sukarno tentang Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), h. 86-87
[4] Lihat Syafaruddin UsmanMhd, Tragedi Patriot dan Pemberontakan Kahar Muzakkar, (Yogyakarta: Narasi, 2010)
[5] Ini didasarkan pada penuturan Al Chaidar yang menjadi mantan aktifis NII Kartosoewiryo. Periksa http://ihwansalafy.wordpress.com/2011/04/28/beda-nii-kw-9-abu-toto-panji-gumilang-dan-nii-karto-soewiryo/
[6] Beberapa kajian menyatakan bahwa gerakan NII dengan berbagai propaganda ajaran yang menyimpang terbungkus rapi selama beberapa kurun waktu di pesantren Al-Zaytun. Lihat Umar Abduh, Membongkar Gerakan Sesat NII di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun, LPPI
[7] Dalam beberapa literatur dituliskan bahwa dalam tubuh NII pernah ada konflik internal yang direkayasa oleh intelejen Indonesia. Klaim Adah Djaelani bahwa dirinya adalah penerus NII Kartosoewiryo, tidak dibenarkan oleh Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa usaha Komendemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang saat polemic itu terjadi bertugas mengangkat panglima komandemen wilayah. Lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005) h. 228
[8] http://ihwansalafy.wordpress.com/2011/04/28/beda-nii-kw-9-abu-toto-panji-gumilang-dan-nii-karto-soewiryo/
[9] Kejanggalan tersebut melahirkan berbagai opini yang mempertanyakan kembali otentitas NII, khususnya doktrin ajaran NII yang ada. Lihat Nur Syam, Masih Adakah Yang Percaya Gerakan NII, dalam http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2619. Hal ini juga didukung dengan komparasi antara ajaran NII dengan substansi ajaran Islam yang bertolak belakang. Periksa juga Nur Syam, Dimanakah Rasionalitas NII, http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2626.
[10] Lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005) h. 233
[11] Nur Syam, NII Adalah Ideologi, http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2629.
[12] Nur Syam, Mempertahankan NKRI di Era Pertarungan Ideologi. Lihat http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2613