• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PROBLEMATIKA DAN SOLUSI NII DI JAWA TIMUR

LATAR BELAKANG

Semenjak kurun waktu antara 1945 hingga saat ini, berbagai peristiwa telah terjadi dan tidak sedikit yang mengakibatkan munculnya ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Persoalan ini memang selalu menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi-saksi sejarah. Fakta yang diungkapkan dalam buku pelajaran sejarah di bangku sekolah maupun yang tersimpan di dalam arsip nasional Pemerintah Indonesia dianggap sebagai kebohongan oleh sebagian pihak, termasuk di antaranya komunitas yang mengaku sebagai Warga Negara Islam Indonesia dan parsimpatisannya.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah nama yang tak dapat dilepaskan dari pembahasan masalah yang berkaitan dengan Negara Islam Indonesia. Dialah pendiri negara berasas Islam tersebut. Dalam sejarah yang kita pelajari, Kartosoewirjo adalah tokoh yang tidak lebih dari seorang pemberontak yang telah mendirikan negara baru di wilayah negara Republik Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah gerakan yang mengatasnamakan Negara Islam Indonesia sangat gencar melakukan rekrutmen anggota baru, tetapi cara-cara yang mereka gunakan ternyata berlawanan dengan syariah dan sunnah Rasulullah saw. 

Saat  ini ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa basis kelompok NII masih terus hidup dan berkembang dengan pesat. Kelompok ini berusaha membangun supremasi Islam, hingga akhirnya mereka memproklamasikan diri sebagai sebuah negara pada 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962).

PERMASALAHAN

Sebagai negara hukum dan berdaulat, Indonesia mewajibkan seluruh warga negaranya untuk menjalankan hak dan kewajibannya dalam upaya penjagaan kedaulatan republik. Pada konteks inilah kemudian muncul problem mendasar bagi keberadaan komunitas NII di Indonesia. Sebagai sebuah gerakan keagamaan dan politik, NII tidak menerima ideologi Pancasila dan tetap mempertahankan upaya menjadikan Islam sebagai dasar Indonesia.

Selain itu, kini sedang marak penipuan berkedok NII yang terjadi pada beberapa kalangan terpelajar (mahasiswa) di Jawa Timur. Kajian sementara menyebutkan bahwa kejahatan yang dijalankan oleh kelompok NII ini menggunakan teknik cuci otak (brain washing) pada para korbannya. Maka ada dua persoalan, yaitu masalah ideologi dan kriminalitas yang sekarang melekat pada komunitas NII.

SETTING HISTORIS BERDIRINYA NII

Kemunculan Negara Islam Indonesia[1] (NII) dinilai oleh beberapa pihak sebagai akibat dari merasa sakit hatinya kalangan Islam Politik pada saat terjadi vacuum of power di Republik Indonesia (RI). Sejak  tahun 1926,  telah berkumpul para ulama di Arab dari berbagai  belahan  dunia,  termasuk  Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, guna membahas rekonstruksi khillafah Islam (politik Islam) universal yang  runtuh pada  tahun 1924. Sayangnya, syuro para ulama tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak berkelanjutan.

Adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang  merupakan  orang kepercayaan Tjokroaminoto menindaklanjuti usaha rekonstruksi khilafah Islam dengan menyusun brosur sikap hijrah berdasarkan keputusan kongres PSII 1936.  Kemudian pada 24  April  1940,  Kartosoewirjo  bersama  para  ulama mendirikan  Institut Shuffah di  Malangbong.  Institut  Shuffah  merupakan  suatu  laboratorium pendidikan  tempat  mendidik  kader-kader mujahid  seperti  di  zaman  Nabi Muhammad  saw.  Institut  shuffah  yang  didirikan  telah melahirkan  para pembela Islam dengan ilmu Islam yang sempurna dan keimanan yang teguh. Mujahid dalam orientasi Institut Shuffah adalah mereka yang rela berkorban secara fisik dan material pada perjuangan yang diyakini sebagai representasi Islam paling benar.

Beberapa alumnus  Shuffah  ini kemudian  melebur kedalam Laskar  Hizbullah dan Sabilillah. Dalam perkembangannya, sebagian laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi alumni didikan RM Kartosoewiryo tidak diizinkan ikut hijrah ke Yogyakarta mengikuti langkah yang diambil tentara RI. Alasannya lebih didasarkan pada anggapan Kartosoewiryo pada aktifis politik Indonesia wakt itu bahwa mereka telah melakukan berbagai kekonyolan politik. Laskar inilah yang pada akhirnya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). 

Selanjutnya,  pada  tanggal  10  Februari  1948,  diadakan  sebuah konferensi  di  Cisayong  yang  menghasilkan  keputusan  membentuk  Majelis Islam  dan  mengangkat  Kartosoewirjo  sebagai  Panglima  Tinggi  Darul Islam/Tentara  Islam  Indonesia  (DI/TII). Konferensi di Cisayong  tersebut  juga

menyepakati bahwa perjuangan haruslah melalui langkah-langkah berikut:

  1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.
  2. Memberikan  penjelasan  kepada  rakyat  bahwa  Islam  tidak  bisa dimenangkan dengan feblisit  (referendum).
  3. Membangun daerah basis.
  4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
  5. Membangun Negara  Islam  Indonesia sehingga kokoh ke  luar dan ke dalam, dalam arti, di dalam negeri dapat melaksanakan syari’at Islam seluas-luasnya  dan  sesempurna-sempurnanya,  sedangkan  ke  luar, sanggup berdiri sejajar dengan warga negara lain.
  6. Membantu  perjuangan  umat  Islam  di  negeri-negeri  lain  sehingga dengan cepat dapat melaksanakan kewajiban sucinya.
  7. Bersama  negara-negara  Islam  membentuk  Dewan  Imamah  Dunia untuk mengangkat khalifah dunia.

Kemudian pada  tanggal  20  Desember  1948,  dikumandangkan  jihad  suci melawan  penjajah  Belanda  dengan  dikeluarkan  Maklumat  Imam  yang menyatakan bahwa situasi negara dalam keadaan perang, dan diberlakukan hukum Islam dalam keadaan perang. Setelah  sembilan  bulan  seruan  jihad  suci,  maka  pada  tanggal  7 Agustus  1949,  diproklamasikan  berdirinya  NII yang  dikumandangkan  ke seluruh  dunia.  Berbagai  sumber  literatur  tentang  NII  menyatakan  bahwa lahirnya  NII  sesungguhnya  bukanlah  hasil  rekayasa  manusia,  melainkan af’alullah (aktifitas Allah swt). Tujuan dan program yang diemban pemerintah NII adalah menyadarkan manusia bahwa mereka adalah hamba Allah dan berusaha menegakkan khilafah di muka bumi.

Pendirian  NII mengacu  pada  Negara  Madinah  di  zaman  Rasulullah saw. pasca  runtuhnya kekhalifahan  Islam  yang  terakhir di Turki pada  tahun 1924.  Hukum  yang  melandasi  Negara  Madinah  atau  hukum  kenegaraan (sosial  kemasyarakatan  anta rumat  beragama)  adalah  Hukum  Islam. Maka, Negara Islam Indonesia pun dalam Qanun Asasi (konstitusi)-nya, yakni Bab I Pasal 1, menegaskan bahwa:

  1. Negara  Islam  Indonesia adalah Negara Karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada bangsa Indonesia.
  2. Sifat  Negara  itu  jumhuryah  (republik)  dengan  sistem  pemerintahan federal.
  3. Negara menjamin berlakunya syari’at  Islam di dalam kalangan  kaum muslimin.  Negara  memberi  keleluasaan  kepada  pemeluk  agama lainnya dalam melakukan ibadahnya.

Selanjutnya, Pasal 2 Qanun Asasi tersebut menyebutkan bahwa:

  1. Dasar  dan  hukum  yang  berlaku  di  Negara  Islam  Indonesia  adalah Islam.
  2. Hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadits sahih.

 

GERAKAN NII RM KARTOSUWIRYO

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo  lahir pada  tanggal 7 Januari 1907 di  Cepu,  sebuah  kota  kecil  antara  Blora  dan  Bojonegoro  yang  menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Ayahnya,  yang bernama Kartosoewirjo,  bekerja  sebagai mantri pada kantor  yang mengoordinasikan para penjual candu  di  kota  kecil  Pamotan, dekat  Rembang.  Pada  masa  itu,  mantri  candu  sederajat  dengan  jabatan Sekretaris  Distrik.  Dalam  posisi  inilah,  ayah Kartosoewirjo  mempunyai kedudukan  yang  cukup  penting  sebagai  seorang  pribumi  saat  itu  dan menimbulkan  pengaruh  yang  sangat  besar  terhadap  pembentukan  garis sejarah  anaknya.  Kartosoewirjo  pun  kemudian  mengikuti  tali  pengaruh  ini hingga pada usia remajanya.

Dengan  kedudukan  istimewa  orang  tuanya  serta  makin  mapannya “gerakan pencerahan  Indonesia” ketika  itulah, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang.  Ia  terasuh  di  bawah  sistem  rasional  Barat  yang  mulai dicangkokkan  Belanda  di  tanah  jajahan  Hindia.  Suasana  politis  ini  juga mewarnai  pola  asuh  orang  tuanya  yang  berusaha menghidupkan  suasana kehidupan  keluarga  yang  liberal.  Masing-masing  anggota  keluarganya mengembangkan  visi  dan  arah  pemikirannya  ke  berbagai  orientasi.  Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 1950-an  yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak  laki-laki yang  memimpin  Serikat  Buruh  Kereta  Api  pada  tahun  1920-an,  ketika  di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.[2]

Pada tahun 1911, saat para aktivis di negeri ini mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK) atau Sekolah “Kelas Dua” untuk Kaum Bumiputera di Pamotan.  Empat  tahun  kemudian,  ia  melanjutkan  sekolah  ke  Hollandsch-Inlandsche  School  (HIS)  di  Rembang.  Tahun  1919,  ketika  orang  tuanya pindah  ke  Bojonegoro,  mereka  memasukkan  Kartosoewirjo  ke  sekolah Europeesche  Lagere  School  (ELS).  Bagi  seorang  putra  pribumi,  HIS  dan ELS  merupakan  sekolah  elit.  Karena  kecerdasan  dan  bakat  khusus  yang dimilikinya, Kartosoewirjo dapat masuk sekolah  yang direncanakan sebagai lembaga  pendidikan  untuk  orang  Eropa  dan  kalangan  masyarakat  Indo-Eropa.

Semasa  remajanya  di Bojonegoro  inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan  agama  dari  seorang  tokoh bernama Notodihardjo  yang menjadi guru  agamanya.  Dia  adalah  tokoh  Islam  modern  yang  mengikuti Muhammadiyah.  Notodihardjo  kemudian  menanamkan  banyak  aspek kemodernan  Islam  ke  dalam  alam  pikiran  Kartosoewirjo.  Pemikiran-pemikirannya  sangat  mempengaruhi  bagaimana  Kartosoewirjo  bersikap dalam merespon ajaran-ajaran  agama  Islam. Dalam masa-masa  yang  bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.

Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah,  tepatnya  pada  tahun  1926,  ia  terlibat  dengan  banyak  aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Selama  kuliah,  Kartosoewirjo  mulai  berkenalan  dengan  pemikiran-pemikiran  Islam.  Ia mulai  “mengaji”  secara  serius  hingga  kemudian  begitu “terasuki”  oleh  shibghatullah  sehingga  ia  kemudian menjadi  Islam minded. Semua  aktivitasnya  dilakukan  hanya  untuk mempelajari  Islam  semata  dan berbuat  untuk  Islam  saja. Dia  pun  kemudian  sering meninggalkan  aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan  ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda,  tentunya  setelah  ia mengkaji dan membaca banyak buku dari  berbagai  disiplin  ilmu,  dari  kedokteran  hingga  ilmu-ilmu  sosial  dan politik.

Dengan  modal  ilmu  pengetahuan  yang  tidak  sedikit  itu,  ia memasuki  organisasi  politik  Sjarikat  Islam  di  bawah  pimpinan  Haji  Oemar Said  (H.O.S.)  Tjokroaminoto.  Pemikiran-pemikiran  Tjokroaminoto  banyak memengaruhi  sikap,  tindakan,  dan  orientasi  Kartosuwirjo.  Maka,  setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan  didapati  memiliki  sejumlah  buku  sosialis  dan  komunis  yang  diperoleh dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat belajar tersebut tidak berani menuduh  Kartosoewirjo  sebagai  orang  yang  terasuki  ilmu-ilmu  Islam, melainkan  dituduh  komunis,  karena  ideologi  ini  sering  dipandang  sebagai paham  yang  membahayakan.  Padahal,  ideologi  Islamlah  yang  sangat berbahaya  bagi  penguasa  saat  itu.  Tidaklah  mengherankan,  selanjutnya Kartosuwirjo  tumbuh  menjadi  pribadi  yang  memiliki  kesadaran  politik sekaligus memiliki  integritas keislaman yang  tinggi. Dalam berbagai  literatur berbahasa  Indonesia  maupun  berbahasa  asing,  ia  digambarkan  sebagai seorang ulama besar di Asia Tenggara.

Kartosoewirjo  memulai  karir  politiknya  di  kota  Surabaya  dengan bergabung ke dalam organisasi pemuda Jong Java. Ia merupakan murid dari H.O.S.  Tjokroaminoto,  yang  kala  itu  juga  menjadi  guru  dari  Musso  dan Soekarno. Perbedaan  jelas  tampak dari ketiga  tokoh yang merupakan anak didik  dari  Trjokroaminoto  tersebut.  Soekarno  adalah  tokoh  nasionalis  yang akhirnya  menjadi  pemimpin  pertama  negara  ini,  sedangkan  Musso  dan Kartosoewirjo  adalah  dua  nama  yang  pada  masa  awal  pemerintahan Soekarno  dianggap  sebagai  pemberontak.  Perbedaannya  adalah,  Musso beraliran  komunis,  sementara  Kartosoewirjo  berniat  mendirikan  negara berasaskan syari’at Islam.[3]

Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya  gerakan  pemuda  Jong  Java  tersebut.  Kemudian,  pada  tahun 1925,  ia  termasuk  ke  dalam  anggota-anggota  Jong  Java  yang mengutamakan  cita-cita  keislamannya  dan  akhirnya  mendirikan  Jong Islamieten  Bond  (JIB).  Kartosoewirjo  pun  pindah  ke  organisasi  ini  karena sikap  pemihakan  kepada  agamanya. Dua  organisasi  inilah  yang  kemudian membawa dirinya menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang amat  berpengaruh  dalam  kebangkitan  pemuda  Indonesia,  “Sumpah Pemuda”.

Selain bertugas sebagai Sekretaris Umum Partij Sjarikat  Islam Hindia Timur  (PSIHT), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar harian Fadjar Asia. Semula  ia bekerja sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda, sekitar 22  tahun, Kartosoewirjo  telah menjadi Redaktur Harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah ia menerbitkan berbagai artikel yang isinya  dipenuhi  banyak  kritikan,  baik  kepada  penguasa  pribumi  maupun penjajah Belanda.

Dalam  perjalanan  tugasnya  ke  Malangbong,  ia  bertemu  dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana  pulalah  dia  berkenalan  dengan  Siti  Dewi  Kalsum,  putri  Ajengan Ardiwisastera,  yang  kemudian  dinikahinya  pada  bulan  April  tahun  1929. Perkawinan yang sakinah  ini kemudian dikarunia dua belas anak,  tiga yang terakhir  lahir  di  hutan-hutan  belantara  Jawa  Barat.  Begitu  banyaknya pengalaman  telah  menghantarkan  dirinya  sebagai  aktor  intelektual  dalam kancah pergerakan nasional.

Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat  terhenti. Dia bergabung dengan sebuah  organisasi  kesejahteraan  Madjlis  Islam  ‘Alaa  Indonesia  (MIAI) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.

Dalam masa pendudukan Jepang  ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga  shuffah  yang  pernah  dia  bentuk.  Namun,  kali  ini  lebih  banyak memberikan pendidikan  kemiliteran  karena  saat  itu  Jepang  telah membuka pendidikan militernya. Kemudian, siswa yang menerima latihan kemiliteran di institut  shuffah  itu  akhirnya  memasuki  salah  satu  organisasi  gerilya  Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia  juga  telah  mengetahui  kekalahan  Jepang  dari  sekutu,  bahkan  dia mempunyai  rencana:  kinilah  saatnya  rakyat  Indonesia,  khususnya  umat Islam,  merebut  kemerdekaannya  dari  tangan  penjajah.  Berdasarkan beberapa literatur, disebutkan bahwa Kartosoewirjo telah memproklamasikan kemerdekaan  pada bulan Agustus 1945. Akan  tetapi, proklamasinya ditarik kembali  sesudah  ada  pernyataan  kemerdekaan  oleh  Soekarno  dan Mohammad Hatta. Untuk  sementara waktu  dia  tetap  loyal  kepada  republik dan menerima proklamasi tersebut.

Namun,  sejak  kemerdekaan  RI  diproklamasikan  pada  17  Agustus 1945,  kaum  nasionalislah  yang memegang  tampuk  kekuasaan  negara  dan berusaha  menerapkan  prinsip-prinsip  kenegaraan  modern  yang  dianggap sekuler  oleh  kalangan  nasionalis  Islam.  Semenjak  itu,  kalangan  Nasionalis-Islam  tersingkir  secara  sistematis  dan  hingga  akhir  1970-an  kalangan nasionalis  Islam berada di  luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius  antara  kalangan  nasionalis  Islam  dan  kaum  nasionalis  “sekuler”.

Karena kaum nasionalis “sekuler” mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka  pertentangan  ini  untuk  selanjutnya  dianggap  sebagai pertentangan antara Islam dan negara. Situasi  yang  kacau  akibat  agresi  militer  kedua  Belanda,  apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara Pemerintah RI dengan Belanda.  Perjanjian  tersebut  berisi  antara  lain,  gencatan  senjata  dan pengakuan  garis  demarkasi  van  Mook.  Artinya,  Pemerintah  RI  harus mengakui  kedaulatan  Belanda  atas  Indonesia  dan  itu merupakan  pil  pahit bagi  republik  ini. Tempat-tempat  penting  yang  strategis bagi pasukan RI di daerah-daerah  yang  dikuasai  pasukan  Belanda  harus  dikosongkan,  dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini,  tentara  RI  di  Jawa  Barat,  Divisi  Siliwangi,  mematuhi  ketentuan-ketentuannya. Presiden RI saat itu, Soekarno menyebut “mundurnya” TNI ini dengan memakai istilah Islam,  “hijrah”.  Namun,  sebaliknya,  pasukan gerilyawan  Hizbullah  dan  Sabilillah,  bagian  yang  cukup  besar  dari  kedua organisasi  gerilya  Jawa Barat, menolak  untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah menganggap diri mereka lebih tahu apa makna “hijrah” itu. Pada  tahun  1949,  Indonesia  mengalami  suatu  perubahan  politik besar-besaran.  Pada  saat  Jawa  Barat mengalami  kekosongan  kekuasaan, maka  ketika  itu  terjadilah  sebuah  proklamasi  Negara  Islam  di  Nusantara, sebuah  negeri  Al-Jumhuriyah  Indonesia  yang  kelak  kemudian  dikenal sebagai Ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang  lebih  dikenal  oleh masyarakat  sebagai DI/TII. DI/TII  di  dalam  sejarah Indonesia sering disebut para pengamat sebagai “Islam yang muncul dalam wajah  tegang.” Bahkan, peristiwa  ini  tercatat dalam sejarah sebagai sebuah “pemberontakan”.

Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper pada tanggal 16  Agustus  1962,  menyatakan  bahwa  perjuangan  Kartosoewirjo  dalam menegakkan  Negara  Islam  Indonesia  itu  adalah  sebuah  “pemberontakan”. Hukuman mati kemudian diberikan kepada Kartosoewirjo. Tentang  kisah  wafatnya  Kartosoewirjo,  tidak  banyak  sumber  yang memaparkan  informasinya secara  jelas. Mulai dari eksekusi matinya hingga letak jasadnya dimakamkan pun terkesan serba misterius.

SINONIM NII DI NUSANTARA

Gerakan pemberontakan yang dilakukan NII Kartosoewiryo sendiri memiliki kesamaan dengan gerakan makar di beberapa tempat lain dengan tokoh yang berbeda. Dikenal beberapa nama seperti Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Kahar Muzakkar[4] di Sulawesi Selatan.

Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan “Proklamasi” Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953. Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai “Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh” sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.

Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu ” Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.

Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh “orang-orang Kiri”, dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh “orang-orang Kiri” tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.

Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.

ANALISIS

Jawa Timur merupakan propinsi di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi. Pada tahun 2007, tercatat ada sebanyak 36.895.571 jiwa manusia yang hidup di Jawa Timur dengan tingkat kepadatan sebesar 814 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2008, tercatat ada 37.094.836 jiwa yang hidup di Jawa Timur dengan laju pertumbuhan sebesar 0,54%. Secara umum, kawasan perkotaan memiliki tingkat kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding dengan kepadatan penduduk yang hidup di kawasan pedesaan.

Dari sisi etnisitas, Jawa Timur menjadi satu kawasan yang relatif heterogen, walaupun secara umum suku Jawa menjadi mayoritas dengan menempati sebagaian besar kawasan di tiap kawasan. Selain itu juga ada suku Madura yang umumnya bermukim di pulau Madura dan kawasan timur dari Jawa Timur. Pada umumnya, suku ini bekerja pada aspek informal dan dapat dijumpai di tiap kota. Di kawasan Tengger juga terdapat suku Tengger yang merupakan keturunan para pelarian dari kerajaan Majapahit setelah mengalami keruntuhannya. Terdapat juga suku Osing yang menempati sebagian kawasan di Banyuwangi, ada juga suku Samin yang menempati kawasan di kabupaten Bojonegoro. Selain etnis asli Indonesia, Jawa Timur juga dihuni oleh suku Cina, Arab dan warga ekspatriat yang secara umum memiliki pekerjaan dalam sektor industri dan perdagangan.

Dalam aspek keyakinan, tercatat angka 95,76% penduduk JawaTimur mayoritas beragama Islam. Kemudian 1,98% beragama Protestan; 0,98% beragama Katolik; 0,94% beragama Hindu; 0,29% beragama Budha; dan lainnya sebanyak 0,05%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek agama dan keyakinan, masyarakat Jawa Timur juga merupakan mayarakat yang heterogen.

Keragaman agama dan keyakinan ini juga dapat dilihat dengan adanya fasilitas rumah ibadah dari tiap pemeluk agama yang ada. Sampai tahun 2007, di Jawa Timur tercatat ada 36.390 masjid; 156.902 langgar atau mushalla; 1.936 gereja Protestan; 342 gereja Katolik; 397 pura dan 169 vihara.

Keragaman agama dan suku ini, terkadang dapat menimbulkan konflik atau kerusuhan antar kelompok dalam masyarakat. Sebelum tahun 2010, terdapat beberapa konflik bertemakan suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) di Jawa Timur. Tahun 2005 terjadi 13 kasus kerusuhan SARA di kabupaten Malang (2 kasus); dan kabupaten Probolinggo (11 kasus). Tahun 2006 terjadi 4 kasus kerusuhan, yaitu di Sidoarjo (1 kasus); kabupaten Jember (2 kasus); dan di kabupaten Nganjuk (1 kasus). Tahun 2008 terjadi satu kerusuhan SARA di kabupaten Pasuruan.

Beberapa waktu terakhir ini, telah terjadi penipuan terhadap beberapa mahasiswa di Jawa Timur melalui modus brain washing. Penipuan tersebut terungkap setelah beberapa mahasiswa yang menjadi korban terkuak oleh media massa. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari faktor doktrin ajaran dari kelompok NII dalam proses rekrutmen anggota.

Terkait dengan persoalan doktrin. NII Kartosoewiryo berpendapat bahwa sesungguhnya saat ini sedang terjadi kebodohan baru (jahiliyah modern) dalam diri umat Islam. Sayangnya, jahiliyah modern ini di-back-up oleh penguasa di tiap lini. Penguasa yang berpihak kepada kelaliman ini disebut oleh mereka sebagai penguasa thaghut. Tiap muslim memiliki kewajiban moral untuk menegakkan ajaran Allah sekaligus membenarkan kelaliman yang sedang terjadi. Penegakan ajaran Tuhan sesuai dengan doktrin la hukma illa lillah (tidak ada hukum yang wajib dijalankan selain hukum Allah). Jalan yang paling efektif untuk melakukan pembenahan tersebut adalah dengan cara menegakkan pemerintahan Islam (khilafah a-Islamiyah) yang harus dijalankan dengan melakukan jihad ofensif. Maka jadilah NII Kartosoewiryo melakukan gerakan makar kepada RI dengan doktrin ini.

Sampai saat ini, di tubuh NII sendiri telah terjadi polarisasi gerakan yang mengidentitaskan dirinya sebagai “NII asli” dan “NII KW IX”. NII KW (Komendemen Wilayah) IX adalah sempalan dari NII yang telah lebih dulu lahir. NII KW IX inilah yang pada waktu belakangan ini dituding sebagai organisasi dan jaringan yang bertanggung jawab atas praktek penipuan pada beberapa mahasiswa. NII KW IX disinyalir merupakan sempalan dari NII yang diwariskan oleh Kartosoewiryo. NII KW IX dituding oleh NII Kartosoewiryo sebagai hasil bentukan intelejen RI untuk melemahkan NII yang asli. Upaya untuk memperlemah NII asli itu dijalankan dengan melakukan berbagai penipuan kepada tiap kalangan untuk membangun citra negatif dari NII yang asli. Kelompok ini (NII KW IX) tidak bertujuan mendirikan negara Islam, tapi hanya ingin mencari keuntungan material semata.[5]

Kini NII Kartosoewiryo lebih identik dengan kegiatan halaqah (kajian) yang dilakukan dengan basis massa yang dimilikinya. Kelompok ini tidak begitu lagi semarak menganjurkan warganya untuk melakukan kegiatan jihad ofensif kepada problematika kontemporer yang sedang terjadi. Kelompok ini lebih memilih untuk melakukan penyadaran internal tanpa pencucian otak pada orang lain. Mediasi penyadarannya adalah melalui kajian antar personal dan kelompok yang sudah ada dan diwariskan secara turun temurun. Keturunan laskar DI/TII Kartosoewiryo kini diyakini masih banyak bermukim di sekitar daerah Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan NII Kartosoewiryo ini mendapat tekanan pada masa rezim Orde Lama dan Orde Baru dalam bentuk fisik dan militer. Ini juga dialami oleh gerakan makar lain yang memiliki kesamaan dengan NII Kartosoewiryo, yaitu upaya membentuk Negara Islam Indonesia. Berbagai gerakan tersebut seperti yang pernah dilakukan oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Amir Fatah di Jawa Tengah, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai bagian dari “bahaya latent” dari pemerintah Orde Baru, sehingga mendapatkan perlakuan yang determinatif dari pemerintah. Jadilah “ideologisasi” yang masih dijalankan akan melalui jalur rahasia dengan harapan agar tidak terendus oleh intelejen negara. Ideologisasi ini hanya akan maksimal bila dilakukan dan dilambari secara tertutup dari keluarga ke keluarga lain yang memiliki hubungan kekerabatan. Maka konsep extended family menjadi sebuah media yang dapat menunjang ideologisasi NII versi Kartosoewiryo.

Kelompok NII KW IX yang kini diyakini berada dalam kendali Abu Toto atau Panji Gumilang yang menjadi pengasuh di pesantren Al Zaytun[6], ditegaskan bukan menjadi bagian resmi dari NII Kartosoewiryo. Kelompok ini (NII KW IX) merupakan hasil rekayasa intelejen yang disusupkan oleh negara dalam upaya memperlemah NII warisan Kartosoewiryo.[7] Upaya memperlemah ini dijalankan melalui sebuah operasi untuk merekrut anggota baru NII KW IX dengan orientasi agar mereka akan dijadikan garda terdepan dalam pengumpulan uang yang wajib disetorkan sebagai bagian dari jihad membela kebenaran. Uang inilah yang kemudian dikelola oleh pimpinan NII KW IX. Diharapkan nantinya muncul banyak kerugian pada masyarakat secara luas, dan ketika khalayak menyadarinya, maka akan terjadi sikap antipasti terhadap NII. Sikap antipati ini diskenario oleh intelejen melalui NII KW IX agar muncul kekuatan aktif dari dalam masyarakat untuk menghindari NII Kartosoewiryo.[8]

Terlepas dari itu rekayasa atau tidak adanya campur tangan intelejen negara terhadap NII Kartosoewiryo, pada dasarnya NII KW IX memiliki kejanggalan doktrin keagamaan yang sengaja di-agitasikan pada pengikutnya.[9] Hal itu dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, yaitu adanya konsep RMU (rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyah) dalam konsep ketauhidannya. Ikrar syahadat “asyhadu an la ilaha illallah” dalam sistem doktrin NII KW IX adalah ibarat dasar tauhid yang menjelaskan keyakinan bahwa dalam keimanan dapat diumpamakan dengan tanaman. Ada akar, batang dan buah. Pengakuan pada Allah, menuntut penjalanan syariat Islam dengan kaffah, hal ini diibaratkan dengan batang dari pohon, sedangkan akarnya adalah negara Islam, dan buahnya adalah umat Islam secara keseluruhan. Maka upaya aktif untuk mendirikan negara Islam merupakan bagian penting dari tauhid yang diyakini. Jika tidak merasa berkewajiban untuk mendirikan negara Islam, maka ketauhidan yang diyakini belum benar.[10]

Kedua, kelompok meringkas lima Hukum Dasar Islam (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) menjadi hanya tiga, yaitu wajib, haram dan sunnah. Tindakan ini berdampak pada status fiqh (hukum Islam) dari aktifitas yang mereka jalankan, termasuk dalam hal shalat. Dalam keyakinan NII KW IX, shalat masih belum diwajibkan pada saat ini, karena masih dalam kondisi jahiliyah yang sama dengan masa Rasulullah saw di Makkah. Maka jika ada anggota NII KW IX yang tidak shalat, juga tidak berdosa karena kewajiban itu sudah ditanggung oleh pemimpin mereka (Imam). Kewajiban melaksanakan shalat sudah tergantikan ketika mereka melakukan propaganda dan mengajak orang lain masuk kelompoknya.

Ketiga, tentang puasa Ramadlan. Kelompok ini mengartikan puasa (shaum) bukan dengan pelaksanaan puasa di bulan Ramadlan, namun diartikan dengan upaya menjaga diri untuk menggunakan harta secara berlebihan. Harta yang digunakan secara berlebihan merupakan bagian dari perbuatan dosa, dan untuk menghindari itu mereka diwajibkan menyerahkan sebagian hartanya untuk organisasinya. Dengan menyerahkan harta pada organisasi, maka kewajiban puasa Ramadlan menjadi lunas.

Keempat, dalam masalah zakat, kelompok ini menegaskan bahwa memberikan harta kepada orang miskin adalah kewajiban mutlak yang harus dilakukan tiap anggota. Pemberian harta zakat itu dapat diberikan langsung, atau disalurkan kepada organisasinya. Untuk memenuhi kewajiban mutlak tersebut, kelompok ini menghalalkan segala macam cara, termasuk menipu. Doktrin seperti ini dapat ditengarai menjadi alasan kuat dimana dihalalkan berbagai  macam cara penipuan untuk melunasi kewajiban terhadap organisasi.

Kelima, tentang haji, kelompok NII KW IX menyatakan bahwa ibadah ini bukan merupakan kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana mayoritas muslim melaksanakannya. Namun, kelompok ini menganggap bahwa haji adalah sebuah program organisasi yang waktu dan tempat pelaksanaannya diatur secara mandiri oleh NII KW IX.

Beberapa doktrin tersebut menjadi dasar bahwa perbuatan aktifis NII KW IX bukan semata-mata persoalan kriminal. Persoalan agama juga tidak menjadi satu faktor utama dalam melihat permasalahan tersebut.[11] Namun lebih dari itu, persoalan tersebut juga merupakan persoalan perbedaan ideologi yang diyakini kebenarannya oleh pengikut kelompok ini. Tindakan kriminal yang lahir oleh kelompok ini tidak berangkat dari latar belakang yang kosong dan tiba-tiba. Ada sesuatu yang mendasari mereka untuk rela melakukan penipuan dan tindakan melanggar hukum lain, yaitu ideologi.

Terkait dengan hal ini, maka sebenarnya yang menjadi perhatian serius adalah adanya ancaman sungguh-sungguh terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Ancaman itupun tidak bersifat sementara, namun bersifat laten yang berisi potensi kemunculannya pada dimensi ruang, waktu dan model yang berbeda. Bahaya latency ini ditambah dengan fakta bahwa korban atau orang yang direkrut oleh kelompok NII KW IX adalah kelompok mahasiswa dan pelajar yang dalam proyeksi 10 sampai 30 tahun kedepan mereka akan menjadi pelaku di semua sektor pembangunan di negara Indonesia. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia ketika Pancasila sudah terancam dalam sistem ideologi baru pada masa puluhan tahun mendatang. Tentunya hal ini harus dipandang tidak secara hitam-putih semata, namun harus dicermati secara komprehensif demi kepentingan Indonesia sebagai negara dan bangsa.[12]

SOLUSI NII DI JAWA TIMUR

Terkait dengan persoalan ini, maka ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, yaitu:

  1. Memantapkan pilar kebangsaan melalui perkuliahan serta program pendidikan baik di tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat SLTA;
  2. Menyelenggarakan berbagai seminar, simposium, semiloka, dan workshop dengan tema membedah ideologi NII dan pemantapan sila kebangsaan;
  3. Membuat instrument dalam seleksi tenaga pendidik/tenaga kependidikan/dan PNS lain untuk memahami ideologi peserta orang yang akan direkrut;
  4. Merumuskan aturan-aturan yang terkait dengan pentingnya penjaringan orang-orang atau kelompok yang memiliki ideologi berbeda dengan Pancasila. Di dalam aturan tersebut ditegaskan bentuk sangsi terhadap orang atau kelompok yang berideologi selain Pancasila;
  5. Menyelenggarakan temu organisasi mahasiswa/organisasi pemuda/organisasi pemuda Agama dalam rangka memahami pilar penyangga kebangsaan dan menghindari ideologi selain Pancasila;
  6. Membentengi mahasiswa/pemuda dari pengaruh negatif ideologi yang berseberangan dengan Pancasila;
  7. Pemerintah hendaknya berorientasi pada upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial, lapangan kerja, dan mengurangi jarak kemiskinan dalam masyarakat.

 


[1] Yon Machmudi, Islamising Indonesia, (Canberra: ANU Press, 2008) h. 40

[2] Al-Chaidar, “Siapa S.M. Kartosoewirjo?”, (http://www.hidayatullah.com/sahid/9905/sejarah.html)

[3]  Lubis, Muhammad Ridwan, Pemikiran Sukarno tentang Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), h. 86-87

[4] Lihat Syafaruddin UsmanMhd, Tragedi Patriot dan Pemberontakan Kahar Muzakkar, (Yogyakarta: Narasi, 2010)

[5] Ini didasarkan pada penuturan Al Chaidar yang menjadi mantan aktifis NII Kartosoewiryo. Periksa http://ihwansalafy.wordpress.com/2011/04/28/beda-nii-kw-9-abu-toto-panji-gumilang-dan-nii-karto-soewiryo/

[6] Beberapa kajian menyatakan bahwa gerakan NII dengan berbagai propaganda ajaran yang menyimpang terbungkus rapi selama beberapa kurun waktu di pesantren Al-Zaytun. Lihat Umar Abduh, Membongkar Gerakan Sesat NII di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun, LPPI

[7] Dalam beberapa literatur dituliskan bahwa dalam tubuh NII pernah ada konflik internal yang direkayasa oleh intelejen Indonesia. Klaim Adah Djaelani bahwa dirinya adalah penerus NII Kartosoewiryo, tidak dibenarkan oleh Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa usaha Komendemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang saat polemic itu terjadi bertugas mengangkat panglima komandemen wilayah. Lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005) h. 228

[8] http://ihwansalafy.wordpress.com/2011/04/28/beda-nii-kw-9-abu-toto-panji-gumilang-dan-nii-karto-soewiryo/

[9] Kejanggalan tersebut melahirkan berbagai opini yang mempertanyakan kembali otentitas NII, khususnya doktrin ajaran NII yang ada. Lihat Nur Syam, Masih Adakah Yang Percaya Gerakan NII, dalam http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2619. Hal ini juga didukung dengan komparasi antara ajaran NII dengan substansi ajaran Islam yang bertolak belakang. Periksa juga Nur Syam, Dimanakah Rasionalitas NII, http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2626.

[10] Lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005) h. 233

[11] Nur Syam, NII Adalah Ideologi, http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2629.

[12] Nur Syam, Mempertahankan NKRI di Era Pertarungan Ideologi. Lihat http://nursyam.uinsby.ac.id/#/?p=2613

Categories: Opini