• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GURU DI ERA KONSUMERISME

 

Guru sebagai kerotoboso berasal dari kata digugu lan ditiru. Artinya adalah orang yang dipatuhi dan dijadikan contoh. Makanya dalam status sosial guru menempati hirarkhi yang sangat tinggi. Bahkan di Madura, seorang guru berada di bawah status Bapak, Ibu, Guru dan raja. Ungkapan emic viewnya adalah baba, bubu, guru, rato. Di Jawa seorang guru juga menempati status tinggi. Ungkapan digugu lan ditiru merupakan ungkapan yang memberikan gambaran tentang posisi guru dalam kehidupan masyarakat.

Pada masa lalu, terutama di era kerajaan-kerajaan Jawa Hindu, maka guru menempati status sosial yang sangat tinggi dalam struktur pemerintahan. Setiap kerajaan memiliki seorang pandito yang menjadi penasehat raja. Dia merupakan orang yang diangkat oleh raja dalam kapasitasnya sebagai seorang yang memiliki pengetahuan sangat luas dan pengamalan agama yang luar biasa. Demikian pula di kerajaan-kerajaan Jawa Islam, maka juga dijumpai para penasehat raja yang terdiri dari para ulama yang terpilih karena kealimannya. Tidak saja menguasai ilmu agama tetapi juga ahli dalam ilmu keduniawian. Dalam setiap daerah akan memiliki guru (pandito atau ulama) yang memiliki peran penting di dalam struktur pemerintahan lokal.

Jika di masa lalu, guru berkonotasi orang yang mengajarkan ilmu kerohanian selain baca tulis huruf  di biara atau padepokan atau masjid atau pesantren, maka di era modern seorang guru adalah mereka yang menjadi pengajar di sekolah. Jadi kemudian terjadi spesifikasi peran dan fungsi guru. Mereka yang mengajarkan ilmu agama disebut sebagai ulama atau kyai, sedangkan yang mengajar di sekolah disebut guru sesuai dengan spesifikasinya. Ada guru umum dan ada guru agama.

Guru di masa lalu tentu sangat berbeda dengan guru di masa sekarang. Dewasa ini siapapun tidak ada yang bisa menghindari zamannya. Guru tentu juga tidak bisa menghindar dari budaya konsumerisme yang terus menggelayut. Tuntutan dunia materi yang terus terjadi tidak akan mampu dihindarinya. Jika guru mungkin bisa menatap kehidupan dengan mata seorang guru, tentu tidak demikian dengan keluarganya. Tuntutan kebutuhan, baik yang primer maupun yang sekunder tidak akan dapat ditahan begitu saja. Jika dahulu kebutuhan primer itu hanya sandang, papan dan pangan maka sekarang kebutuhan komunikasi melalui telepon atau hand phone dan pendidikan sudah menjadi kebutuhan primer. Makanya, tuntutan terhadap guru di tengah budaya konsumerisme menjadi semakin berat. Dalam situasi seperti inilah maka posisi guru menjadi rawan stress. 

Guru memang tugas mulia. Melalui tangannya orang bisa menjadi apa saja. Bisa menjadi preman sampai menteri. Bisa menjadi orang yang berhasil dan juga orang yang gagal. Bisa menjadi buruh sampai pengusaha. Bisa menjadi penjahat sampai kyai atau ulama. Guru dengan demikian menjadi sosok orang yang memiliki peran sangat signifikan di dalam jagat literasi dan profesi.

Guru sekarang memang bukan lagi seperti gambaran Iwan Fals yang terekam dalam lagunya “Guru Oemar Bakri”. Guru yang hidupnya melarat dengan sepeda bututnya. Guru sekarang memang lebih sejahtera melalui program sertifikasi. Meskipun belum seluruhnya, namun gambaran peningkatan kesejahteraan itu sudah ada dalam angan-angan. Dan bahkan bukan sekedar mimpi namun suatu kesempatan akan menjadi kenyataan.

Hanya saja persoalannya adalah bahwa kesejahteraan yang meningkat adakalanya masih kalah dibanding dengan gemerlapnya dunia konsumerisme yang terus membayang. Oleh karena itu, jika di era sekarang masih ada yang senasib dengan Pak Sri Cahyono Effendi yang gantung diri, maka hal itu adalah ironi guru di era konsumerisme. Jadi ternyata masih ada guru yang belum mampu menjemput derapnya konsumerisme bahkan di era kenaikan kesejahteraan guru sekali pun.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini