• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SAKRALISASI ALAM DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN

Di dalam diskusi terbatas di Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) kementerian Pendidikan Nasional yang dilaksanakan di kantor kemendiknas, 26/05/2011, maka banyak hal yang menarik. Diskusi yang dihadiri oleh Kluster Perubahan Iklim dan Pelestarian Lingkungan ini menghadirkan Romo Franz Magnis Suseno, Tjahjadi Nugraha, dan Fuad Jabali. Mereka masing-masing berbicara tentang relasi antara agama dan lingkungan hidup dari perspektif agamanya.  Di antara point menarik tersebut adalah tentang relasi antara Tuhan, Alam dan manusia dalam kaitannya dengan rasionalisasi, modernisasi dan kapitalisme.  

Secara tidak langsung  rasionalisasi, modernisasi dan kapitalisme telah menyebabkan relasi antara alam dan manusia tidak seimbang.  Melalui program rasionalisasi, maka manusia menganggap bahwa hanya manusia saja yang memiliki kemampuan untuk melakukan segalanya di dunia ini, sehingga yang lain lalu dianggap hanya sebagai obyek saja. Manusia adalah subyek dan alam lainnya adalah obyek.  Makanya alam kemudian dikelola dengan tidak seimbang. Maka kemudian yang terjadi adalah kerusakan alam secara berkelanjutan.

Kemudian, melalui proyek modernisasi maka manusia juga menganggap bahwa  alam adalah obyek untuk mendukung praksis modernisasi.  Dunia modern yang ditandai dengan semakin meningkatnya gaya hidup yang cenderung permissiveness, juga menyebabkan manusia melakukan apa saja untuk kepentingan dirinya. Ada moral permissiveness yang mendorong agar manusia memanfaatkan alam sesuai dengan kepentingan dirinya. Melalui dunia modern, maka  hal-hal yang tidak sesuai dengan kemodernan dianggapnya sebagai dunia masa lalu yang harus ditinggalkan.

Tidak kalah pentingnya juga kapitalisme. Sebagaimana diketahui bahwa kapitalisme adalah suatu proyek dunia yang dikomandani oleh dunia barat. Melalui proyek ini, maka semua benda menjadi proyek ekonomi dan kemudian dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia. Di dalam proyek ini,  maka alam dapat diekploitasi secara berlebihan.

Kita bisa melihat  bagaimana illegal logging terjadi di Indonesia. Di Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi, Sumatera dan sebagainya sedang terjadi perusakan hutan yang luar biasa. Dan semua ini dilakukan untuk kepentingan ekonomi.  Illegal logging yang dilakukan oleh para pengusaha hutan ternyata sudah merusak ekosistem sedemikian berat. Kasus banjir bandang di Wasior adalah salah satu contoh tentang  bagaimana kerusakan hutan ternyata bisa berakibat pada kerusakan lingkungan dan banjir yang tidak terkira.

Rasionalisasi, modernisasi dan kapitalisme yang bersumber dari dasar filsafat positivisme ternyata telah menjadikan hubungan antara manusia dengan alam adalah hubungan yang tidak seimbang. Yaitu manusia sebagai subyek yang dapat melakukan tindakan apa saja terhadap alam sebagai obyeknya. Manusia adalah pengelola alam dan alam adalah obyek yang dikelola. Akibatnya,  maka manusia bisa melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam tersebut.

Sebagaimana yang diketahui bahwa di dalam pemikiran kaum positivistic bahwa manusia dengan pemikiran positifnya beranggapan bahwa  perjalanan sejarahnya terjadi secara linear, dari tahapan teologia ke metafisika dan positiva. Semua yang tidak bisa ditangkap melalui pengindaraan dan pemikiran yang logis, maka dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Makanya semua keyakinan, spiritualitas dan yang non-empiris lainnya adalah kebohongan belaka. Agama merupakan dunia lain yang tidak bisa dipercaya.

Oleh karena itu, semua lalu dianggap profane dan tidak ada sedikitpun di dunia ini yang bercorak sacral. Makanya semuanya bisa dieksploitasi karena hal itu adalah seuatu yang bercorak kealaman dan tidak ada sedikitpun sakralitas di dalamnya.  Jika di masa lalu orang bisa berhubungan dengan alam dalam coraknya yang simbiosis dan penuh dengan kesakralan, maka sekarang sudah tidak lagi berlaku seperti itu. Sebagai obyek, maka alam bisa diperlakukan apa saja. Makanya orang bisa menebang hutan dengan tanpa merasa bersalah. Orang bisa mengeksploitasi tambang secara berlebihan tanpa merasa bahwa yang dilakukannya itu dapat merusak ekosistem lingkungan. Orang bisa mengeksploitasi apa saja untuk kepentingan konsumtif.     

Di tengah kerusakan lingkungan yang terus terjadi dewasa ini, maka orang kembali mengingat bahwasanya alam bukan sekedar obyek yang bisa dieksploitasi secara membabi buta. Akan tetapi alam harus dilestarikan. Ada semacam kesadaran baru bahwa alam perlu untuk dikonservasi. Jika alam tersebut terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang dapat ditumbuhkembangkan, maka diperlukan untuk menanam kembali sehingga volumenya akan tetap terjaga.

Orang kembali mengingat bahwa sesungguhnya  alam yang diciptakan Tuhan adalah ayat-ayat Tuhan bagi manusia yang tentu saja memiliki sejumlah makna bagi kehidupan manusia. Melalui hukum berpasangan, maka Tuhan sudah menentukan tumbuhan apa pada dataran batu berkapur. Tuhan sudah menciptakan pohon dan getahnya untuk menjadi penawarnya. Dan kiranya banyak hal yang seperti itu.

Di masa lalu, orang begitu menghargai terhadap alam. Bahkan alam dianggap memiliki kekuatan dan roh. Di dalam agama-agama bumi, dinyatakan bahwa setiap benda apapun memiliki kekuatan dan roh. Karenanya, maka orang menghormatinya. Hampir semua suku masyarakat di dunia ini ternyata memiliki keyakinan tentang relasi antara alam dan roh atau alam dan kekuatannya.

Akan tetapi dengan datangnya rasionalisasi, modernisasi dan kapitalisme, maka alam yang semula sacral tersebut kemudian didesakralisasikan. Tidak ada yang sacral tentang alam. Semuanya bisa dikelola melalui manajemen masyarakat modern. Begitu modernnya,  maka semuanya dianggap obyek yang bisa diperjualbelikan. Maesan, cungkup atau kubah masjid pun dicuri dan diperjualbelikan. Jadi, atas nama kebutuhan yang tidak ada hentinya, maka semuanya diperdagangkan.

Oleh karena itu yang diperlukan adalah bagaimana meresakralisasikan alam di dalam relasi antara manusia dengan alam, sehingga ke depan akan diperoleh program pelestarian alam dan lingkungan yang lebih berdayaguna. Tanpa usaha-usaha untuk mendefinisikan ulang relasi manusia dengan alam yang seimbang dan bertanggungjawab, maka kerusakan alam akan jauh lebih besar di masa yang akan dating.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini