• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENDIDIKAN VOKASIONAL

Ada sebuah kerisuan yang dirasakan oleh Pendiri LP3I, Syahrial Yusuf,  tentang masa depan pendidikan Indonesia. Di antara kerisauan tersebut adalah tentang relevansi pendidikan dengan dunia kerja terutama bagi program pendidikan yang berorientasi akademis. Menurutnya, bahwa arah pendidikan di Indonesia kurang relevan dengan kebutuhan pasar, sebab pendidikan di Indonesia lebih mengarah kepada pendidikan akademis ketimbang pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil.

Di dalam wawancara yang dilakukan oleh Republika, 24/05/2011, bahwa model pendidikan di Indonesia sangat berbeda dengan pendidikan di negara-negara maju. Di Negara  maju, seperti Australia, Taiwan, Korea dan Jepang, maka pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan akademik. Di sana 10-15 persen saja yang masuk ke pendidikan tinggi, sedang lainnya justru memasuki pendidikan vokasional. Di sana hanya orang-orang yang ingin menjadi sarjana seperti dokter, insinyur, arsitek atau lainnya saja yang memasuki bidang pendidikan di perguruan tinggi.

Makanya,  di Australia hanya terdapat  50 perguruan tinggi dengan jumlah penduduk sebanyak 15 juta lebih. Malaysia juga hanya punya 55 perguruan tinggi. Sedangkan di Indonesia terdapat sebanyak 2800 lebih perguruan tinggi, belum lagi perguruan tinggi agama yang jumlahnya juga di atas 500. Tentu tidak bisa dibandingkan jumlah penduduk Indonesia dengan Australia dan Malaysia, dan kemudian dihubungkan dengan jumlah perguruan tinggi, akan tetapi yang jelas dengan jumlah perguruan tinggi yang tidak banyak, maka peningkatan kualitas pendidikan tinggi jauh lebih terjangkau.

Bagi lulusan setingkat SLTA, maka mereka memasuki college untuk meraih keahlian khusus  sesuai dengan keinginannya. Dan kemudian mereka akan memasuki pasar kerja. Makanya, banyak tenaga kerja usia yang sangat produktif untuk memasuki dunia pasar kerja.  Jika mereka sudah bekerja, maka mereka bisa memasuki dunia pendidikan tinggi yang relevan dengan pekerjaannya.

Berbeda dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang lebih banyak menyediakan pendidikan akademik, maka di beberapa negara maju justru menyediakan banyak college untuk mendukung terhadap kebutuhan tenaga kerja professional.  Makanya, alumni pendidikan akademik akan bisa dikontrol sesuai dengan kepentingan dan demikian pula lulusan college juga akan dengan mudah memasuki kawasan lapangan pekerjaan.  Jika orang memiliki dua atau tiga keahlian dari college,  maka dipastikan akan dengan mudah mengakses pekerjaan.

Beberapa tahun yang lalu banyak kritik yang dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi yang disebabkan ketidaksiapan lulusannya untuk memasuki kawasan lapangan pekerjaan.  Kritik ini tentu sangat wajar mengingat bahwa lulusan akademis memang tidak dipersiapkan untuk memasuki lapangan pekerjaan professional. Mereka dididik untuk menjadi pemikir atau akademikus,  sehingga kawasan yang dikuasainya adalah sesuai dengan pendidikan akademisnya itu.

Jika kemudian terdapat banyak lulusan pendidikan tinggi yang tidak bisa mengakses lapangan pekerjaan, maka ada dua alasan yang menyebabkannya, yaitu: ketidaksiapan ilmu dan keahlian yang dimilikinya dan  kemudian ketiadaan seperangkat dorongan untuk berprestasi.  Yang dikuasai oleh sarjana adalah seperangkat pengetahuan teoretis sesuai dengan pendidikan akademis yang ditekuninya. Mereka memang tidak dipersiapkan dengan seperangkat pengetahuan praksis yang mendukung terhadap disiplin keilmuan yang ditekuninya. Maka mereka tentu tidak siap untuk memasuki lapangan kerja.

Beberapa saat yang lalu, Gubernur Jawa Timur menggagas untuk merekonstruksi lembaga pendidikan selevel SLTA, yaitu menjadi 70 persen pendidikan kejuruan dan 30 persen pendidikan umum. Jika hal ini bisa diwujudkan, maka tentunya akan menjadi modal yang baik bagi penyiapan tenaga terampil dalam bidangnya.  Jika program ini berhasil, dan kemudian juga diikuti dengan penyiapan lembaga pendidikan tinggi yang lebih bersearah dengan penyiapan tenaga kerja professional, maka ke depan akan dihasilkan kaum professional yang kuat dan berdaya guna.

Dengan demikian, dirasakan perlunya untuk merekonstruksi terhadap dunia pendidikan Indonesia,  sehingga misi untuk mencetak manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif di era global akan bisa dicapai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini