• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBINA KOMUNIKASI KEBANGSAAN

Secara sosiologis, agama memang bagian dari wilayah tafsir, artinya bahwa teks-teks keagamaan yang selalu berurusan dengan bagaimana manusia menafsirkannya.  Disebabkan oleh tafsir tersebut, maka paham keagamaan juga beranekaragam, warna-warni.  Dengan demikian, semestinya orang tidak berseteru karena memang terdapat wilayah yang  berada di dalam kawasan tafsir keagamaan.

Di dalam hal ini, maka sering dibagi ada dua wilayah keagamaan itu, yaitu wilayah doktrin dan wilayah interpretasi. Orang harus berkeyakinan penuh dengan wilayah doktrin yang memang tidak bisa diubah oleh siapapun. Misalnya tentang Ketuhanan Allah Swt, kenabian Muhammad saw, jumlah rakaat shalat wajib, dan sebagainya. Akan tetapi bagaimana shalat itu dilakukan,  maka di sini ada ruang tafsir dan kepengikutan. Antara orang Sunni dan Syi’i, maka jumlah rakaat shalatnya sama.  Demikian  pula berapa kali  shalat dilaksanakan. Akan tetapi mengenai kapan waktunya dilaksanakan lalu ada perbedaan.  Jadi yang berbeda pada tataran implementasi dan bukan doktrinnya.

Penafsiran seperti ini yang “kurang” disukai oleh kalangan tertentu di dalam Islam. Mereka menganggap bahwa kebenaran implementasi apapun harus satu saja, dan yang lain pasti salah. Tidak ada dua kebenaran yang sama dalam satu hal. Jadi yang satu benar dan yang satu salah. Cara berpikir seperti inilah yang sering kali menjadikan “persoalan” agama itu penuh dengan pertentangan dan konflik. Agama lalu sama dengan sumber konflik.

Sebagai pemeluk agama, rasanya kita wajib membela jika dinyatakan bahwa agama adalah sumber konflik. Sebab saya yakin bahwa agama mestilah mengajarkan sesuatu yang baik dan benar. Jadi kalau ada konflik,  maka yang dipersalahkan mestilah penafsiran tentang agama itu. Dan sebagaimana diketahui bahwa ketika berada di dalam wilayah tafsir, maka pasti akan terjadi multitafsir dalam kawasannya itu. Selama hal itu tidak menyangkut wilayah doktrin agama, maka multitafsir dalah keniscayaan.

Hanya saja bahwa setiap agama pastilah memiliki prinsip dasar yang tidak boleh digugat oleh siapapun.  Prinsip keimanan dan keislaman yang dituangkan di dalam rukun iman dan rukun Islam adalah keyakinan dasar yang harus menjadi prinsip dasar di dalam kehidupan masyarakat Islam.  Selain itu juga ada  prinsip-prinsip moralitas yang memiliki jangkauan universal, misalnya berlaku jujur, adil, menghormati sesama manusia, kerja keras dan sebagainya.

Jadi di dalam wilayah yang sangat mendasar saja terdapat multitafsir di dalam implementasinya. Apalagi menyangkut wilayah kenegaraan dan pemerintahan. Jadi di dalam wilayah kenegaraan, maka Nabi tidak menentukan secara jelas apa dan bagaimana bentuk negara yang seharusnya ada. Sejauh yang diketahui hanya sistem musyawarah yang dikedepankan. Makanya, sistem monarkhi sebagaimana yang terjadi di dalam kepemimpinan Islam sekian abad yang lalu dan praktik pemerintahan kerajaan di Saudi Arabia tentu bukanlah  contoh ideal tentang sistem pemerintahan.

Oleh karena itu,  jika kemudian ada yang mengidolakan sistem pemerintahan sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi untuk dijadikan sebagai sistem pemerintahan di Indonesia tentu juga tidak bisa. Kita sudah pernah memiliki banyak kerajaan dan ternyata sistem tersebut tidak kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa.  Demikian pula ada yang mengidolakan sistem liberal di dalam sistem kenegaraan di Negara-negara barat , maka sistem ini juga tidak cocok bagi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kesetaraan.

Makanya, Negara Indonesia yang mengembangkan corak kenegaraan yang berbeda dengan lainnya adalah pilihan rasional yang  telah dikembangkan oleh para leluhur bangsa ini. Bukan merupakan romantisme sejarah,  jika kemudian kita menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para founding fathers negeri ini adalah yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Andaikan dahulu, para pendiri negeri ini  bersikukuh untuk mempertahankan tujuh kata di dalam Jakarta Charter, yang kemudian menjadi Pancasila sebagai dasar negara, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia ini tidak mendatar dari Sabang sampai Merauke.

Kenyataan seperti ini yang saya sampaikan di dalam acara Cangkruan TVRI Surabaya bersama Pak Gubernur Jawa Timur, Sukowidodo dan sejumlah aktivis mahasiswa dari Universitas Airlangga, 23/05/2011. Acara yang dipandu oleh Cak  Priyo ini memang menarik,  sebab ada banyak pertanyaan maupun SMS yang masuk ke meja redaksi. Hal ini menandakan bahwa  komunikasi antara pejabat dan ilmuwan di dalam paket-paket acara televisi yang mendidik masyarakat ternyata juga memperoleh perhatian dari masyarakat.

Dengan demikian,   memang dibutuhkan program televisi yang mendidik masyarakat dan juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap Indonesia sebagai bangsa yang besar dan berwibawa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini