• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REPRESENTASI PEREMPUAN DI DALAM PEMILUKADA

Salah satu tema menarik di dalam Seminar Demokrasi dan Politik Lokal, 21/05/2011,  adalah yang disampaikan oleh Dr. Dwi Windyastuti, dosen Universitas Airlangga. Beliau melakukan elaborasi tentang Perempuan di dalam Pemilukada di Indonesia, secara khusus di Jawa Timur dan Sulawesi Utara.  Ternyata bahwa perempuan sudah memiliki potensi untuk melakukan pertarungan di dalam arena politik, khususnya pemilukada di Indonesia.

Tentu saja bahwa keberanian untuk melakukan pertarungan politik bagi kaum perempuan ini sangat menarik sebab selama ini dikesankan bahwa perempuan adalah subordinasi lelaki di dalam dunia perpolitikan. Makanya, ketika ada perempuan memasuki politik, lalu dianggap yang bersangkutan sudah bukan lagi perempuan akan tetapi telah menjadi “lelaki” secara simbolik. Bukankah masih kental anggapan bahwa dunia politik adalah dunia kaum lelaki dan bukan dunia kaum perempuan.

Di Jawa Timur dan Sulawesi Utara, ternyata hiruk pikuk pertarungan politik dalam pemilukada diwarnai dengan keterlibatan kaum perempuan.  Di Jawa Timur, terdapat sebanyak  sembilan kota/kabupaten yang di dalam pemilukadanya terdapat kaum perempuan. Yaitu: Kota Surabaya, Kabupaten Kediri, Lamongan, Sidoarjo, Ngawi, Mojokerto, Ponorogo, Banyuwangi dan Sumenep. Ada yang menang dan ada yang kalah. Sedangkan di Sulawesi Utara, maka terdapat lima pemilukada yang melibatkan kaum hawa. Yaitu: Provinsi Sulut, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa  Utara, Minahasa Selatan, Bolang Mongondow Timur dan Kota Menado.

Keterlibatan perempuan di dalam pemilukada tentu menarik dicermati, sebab selama ini masih terdapat asumsi bahwa perempuan belum banyak yang  memiliki kualitas untuk menjadi pemimpin  di level lokal sekalipun.  Oleh karena itu, asumsi yang dapat dikembangkan di dalam hal ini adalah adanya pertanda semakin menguatnya gerakan perempuan di dalam struktur patriarkhi.

Namun demikian, melihat  terhadap motif kaum perempuan untuk memasuki dunia politik ternyata tidak sepenuhnya mendukung terhadap pernyataan teoretik tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya pengakuan bahwa  motivasi kandidat di dalam keikutsertaannya di dalam pemilukada adalah untuk ambisi personal.  Ambisi adalah jantung politik, artinya bahwa politik merupakan cara bagaimana seseorang mendapatkan dan  mempertahankan kekuasaan.  Ambisi politik personal kenyataannya ditemukan di semua wilayah di mana terjadi kontestasi politik.

Jika menggunakan bagan konseptual Weber, maka posisi motivasi kaum perempuan untuk menduduki jabatan politik di pemerintah lokal adalah untuk memenuhi ambisi personalnya. Jadi in order to motive untuk mengikuti kontestasi politik adalah untuk menyalurkan ambisi pribadinya. Bahkan secara khusus di daerah pemekaran, maka yang dibutuhkan adalah biar namanya tercatat sebagai orang yang pernah berusaha untuk menduduki jabatan politik tidak perduli apakah kalah atau menang.

Keberanian untuk mengikuti pemilukada juga difasilitasi oleh keyakinannya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin daerah. Jadi ambisi pribadi tersebut didukung oleh adanya keyakinan bahwa mereka mampu melakukannya. Hal ini juga berkaitan dengan adanya kesadaran akan perlunya perempuan terlibat di dalam dunia politik.

Kebanyakan  perempuan yang mengikuti pemilukada adalah mereka yang sudah menjadi aktivis di berbagai pergerakan, apakah yang bercorak politik atau lainnya. Oleh karena itu, maka tema-tema yang diusung oleh kaum perempuan ini juga terkait dengan bagaimana meningkatkan peran perempuan di dalam kehidupan masyarakat secara luas.  Tema-tema kampanye di dalam pemilukada yang diikuti oleh perempuan, maka yang mengedepan adalah tema-tema tentang gender mainstreaming. Hal ini tentu juga didasari oleh kenyataan politik bahwa kaum pemilih dengan tingkat partisipasi tinggi adalah kaum perempuan.

Namun demikian, peran perempuan di dalam pemilukada juga sangat tergantung kepada kemampuan perempuan itu sendiri. Jika dia sangat mandiri dan berkemampuan yang sangat tinggi (memiliki modalitas social, politik dan ekonomi)  serta memiliki aksesibilitas yang tinggi, maka dia akan memiliki independensi  di dalam melakukan tindakan politik. Artinya yang bersangkutan akan bisa melakukan apa saja sesuai dengan visi dan misi yang diyakininya. Akan tetapi jika perempuan di dalam pemilukada hanya sebagai vote getter, maka dia tidak akan mandiri dan tetap akan menjadi subordinasi kaum lelaki.

Oleh karenanya, ketika kaum perempuan memasuki dunia politik, maka yang harus dipertimbangkan secara pribadi adalah apakah dia memiliki kemampuan yang sangat baik sehingga ke depan akan memiliki kemerdekaan untuk memperjuangkan  keinginan politiknya sesuai dengan visi dan misi yang diperjuangkan di dalam koridor pembangunan daerah. Sebab jika tidak, maka kehadiran perempuan di dalam pemilukada hanyalah sebagai asesori yang kurang ada greget fungsionalnya bagi pembangunan masyarakat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini