GURU DAN KEMISKINAN
Benarkan guru masih miskin? Pertanyaan ini layak dikemukakan terkait dengan laporan di Harian Surya tentang seorang guru yang tewas bunuh diri di sekolah. Adalah Sri Cahyono Effendi, 58 tahun, seorang guru di SDN Bangunrejo I, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban yang ditemukan sudah tidak bernyawa dengan leher menggantung di kantin sekolah sekitar pukul 6.30 WIB. Ketika jasadnya ditemukan yang bersangkutan masih berseragam dinas guru lengkap. Berdasarkan pantauan Suara Karya (04/09/09) bahwa ada dugaan faktor ekonomi sebagai penyebab kematiannya. Dia memang menjadi tumpuan kehidupan tiga keluarga sehingga gajinya selalu habis setiap bulan. Sementara itu anak-anaknya juga belum ada yang bekerja. Lantaran tidak kuat menahan beban ekonomi keluarga tersebut maka Pak Guru nekad mengakhiri hidupnya. Bahkan sebelum meninggal, dia sempat akan meminjam uang di koperasi tetapi belum dikabulkan lantaran gajinya sudah tidak tersisa.
Memang tidak mudah mendeteksi penyebab orang mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri. Di dalam teorinya Emile Durkheim, menyatakan bahwa ada korelasi antara bunuh diri dengan disintegrasi sosial. Artinya semakin renggang relasi sosial di dalam masyarakat akan menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku atau lebih khusus bunuh diri. Nah permasalahannya adalah apakah guru yang bunuh diri ini berada di dalam konteks tersebut. Jawabannya tentu sangat bervariatif. Akan tetapi, sungguh bisa terjadi bahwa penyebab kematian Pak Guru adalah keterpaduan antara faktor ekonomi, ketertutupan dalam relasi sosial dan ketiadaan solusi dalam menghadapi problem keluarga sehingga menyebabkan stress dan hal itu menjadi pemicu untuk melakukan bunuh diri.
Berita ini tentu saja menjadi ironi di tengah usaha pemerintah untuk menyejahterakan ekonomi para pendidik. Melalui program sertifikasi yang sedang dilakukan pemerintah sesungguhnya mengandung maksud agar para pendidik menjadi sejahtera dan dengan demikian maka seorang pendidik akan menjadi lebih berkonsentrasi untuk melakukan tugasnya sebagai pendidik.
Bukan sebuah cerita bohong atau pepesan kosong jika banyak tenaga pendidik yang sangat terpaksa menjadi pengojek pada malam hari karena gajinya tidak cukup untuk membiayai kehidupannya. Bukan pula berita yang berlebihan jika banyak guru yang harus nyambi pekerjaan lain karena terdorong oleh desakan ekonomi yang memang menjadi tanggungjawabnya. Pendidik di Indonesia memang pekerjaan mulia sebab di tangannyalah amanah Pembukaan UUD 1945 yaitu keinginan mencerdaskan kehidupan bangsa akan dipertaruhkan.
Kita sadar betul bahwa nasib bangsa ini ke depan sangat tergantung kepada para guru. Jika kemudian banyak guru yang mengalami masalah di dalam kehidupannya, maka sungguh-sungguh bahwa nasib bangsa terkait dengan kualitas pendidikan akan menjadi diragukan. Bukankah pernah ada sebuah survey di Jawa Tengah yang menggambarkan bahwa guru rawan stress. Artinya, bahwa menjadi guru ternyata memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah yang akan menyebabkan yang bersangkutan akan mengalami stress.
Sesungguhnya, para guru hidup di dunia kompetisi ekonomi yang luar biasa. Coba kalau kita perhatikan, bahwa kehidupan sekarang berbiaya tinggi. Semuanya serba materi. biaya pendidikan anak-anak yang mahal, kebutuhan komunikasi yang harus terpenuhi, kebutuhan kesehatan, kebutuhan akan barang-barang rumah tangga yang serba mahal, sampai kebutuhan bahan-bahan pokok sehari-hari yang terus merangkak naik dan sebagainya tentu akan dapat menjadi tekanan yang sangat berat. Semua ini akan dapat memicu stress yang tidak terhingga.
Tekanan ekonomi memang bisa menerpa siapa saja apalagi di tengah kehidupan yang menuntut serba uang dan konsumtif. Makanya jika seseorang tidak memiliki ketabahan mental untuk menghadapi semua itu, maka mereka akan memilih jalan pintas, bunuh diri. Kematian guru, Sri Cahyono Effendi, memberikan gambaran bahwa di sekeliling kita ternyata terdapat “kerawanan sosial” yang bisa memicu terjadinya ”perilaku menyimpang”. Realitas sosial ini yang perlu menjadi perhatian bagi para pemimpin intitusi pada level apapun. Oleh karena itu, menjadi urgen untuk dipikir ulang bahwa di negeri ini ternyata masih banyak hal yang perlu dibenahi terkait juga dengan nasib guru dan keluarganya.
Wallahu a’lam bi al shawab.