• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERPOLITIKAN NASIONAL DI PERSIMPANGAN JALAN?

Saya terlibat di dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tentang Demokrasi dan Politik Lokal. Acara  ini diselenggarakan di Hotel Singgasana Surabaya. Acara ini diikuti oleh kebanyakan anggota AIPI dari Jakarta, misalnya Prof. Taufiq Abdullah, Prof. Syamsudin Haris, Prof. Sediyono Tjondronegoro, Prof. Bambang Hidayat, Prof. Edi Sedyawati, dan sebagainya. Sedangkan hadir dari Surabaya adalah Prof. Ramlan Surbakti, Prof. Hotman Siahaan, dan sebagainya. Sebagai key note speaker adalah Gubernur Jawa Timur, Dr. Soekarwo.

Seminar ini tentu sangat menarik karena menampilkan hasil-hasil penelitian tentang politik lokal  yang dilakukan oleh para pakar di bidang ilmu politik. Di antara sekian banyak bahasan, maka saya akan menggaris bawahi presentasi yang disampaikan oleh Prof. Ramlan Surbakti. Bagi saya mendengarkan ceramah Prof. Ramlan rasanya seperti mengulang sekian tahun yang lalu ketika saya menjadi muridnya.  Saya selalu menaruh apresiasi terhadap beliau karena kedalaman ilmunya tentang ilmu politik.

Peta perpolitikan Indonesia memang sedang berada di persimpangan jalan terutama dilihat dari sistem kepartaian dan sistem perwakilan politiknya. Sistem perwakilan politik di Indonesia yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan menempatkan calon-calon perwakilan di DPR/DPRD sangat rawan menghasilkan politik uang. Di dalam kenyataannya, bahwa  melalui sistem perwakilan proporsional terbuka tersebut, maka yang terjadi adalah keinginan masing-masing  calon untuk berusaha memenangkan pertarungan politik.

Akibatnya, maka yang memenangkan pertarungan di dalam sistem ini adalah orang-orang atau calon-calon yang bisa mengeluarkan uang banyak. Siapa yang memiliki uang banyak maka dialah yang akan memenangkan pencalonan di dalam pemilihan wakil rakyat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk memenangkan pertarungan  dalam pemilu legislative,  maka dibutuhkan sejumlah uang. Calon DPR/DPRD bisa menghitung suara yang dibutuhkan untuk menang dan berapa uang yang dibutuhkan.

Politik uang memang memperoleh catatan terbesar di dalam diskusi Demokrasi dan Politik Lokal itu. Makanya pembicaraan yang paling menarik adalah tentang hal ini. Kenyataannya bahwa politik uang sudah menjadi kebiasaan di dalam politik lokal. Maka kemudian dikenal istilah makelar politik, Tim Sukses atau  Bandar politik. Yang mengendalikan politik lokal adalah para Bandar politik ini. Mereka adalah orang yang menjadi tim sukses di dalam dunia politik lokal.  Baik  pilihan legislative maupun eksekutif, maka merekalah yang menentukan kemenangan atau kekalahan calon.

Di dalam pilkada, maka merekalah yang menentukan siapa yang dianggap sebagai kawan dan lawan. Merekalah yang membagikan uang dari calon untuk para pemilih. Mereka adalah yang menentukan siapa-siapa yang akan diberikan jatah uang atau barang dan siapa yang tidak. Jadi, para bandarlah yang menentukan perjalanan seseorang untuk meraih kemenangan.

Selain itu, masyarakat juga melakukan tindakan yang tidak kalah bermasalah dalam melakukan politik uang. Suatu kenyataan bahwa masyarakat juga mengharap “pemberian” di dalam semua pilihan, baik pemilu, pilkada atau lainnya. Bahkan mereka juga sudah sampai pada tindakan, jika tidak ada uang maka tidak akan pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Jika kemudian diketahui banyak jumlah suara yang  tidak sah atau kosong atau golput,  maka hakikatnya bukan golput karena pilihan rasional, akan tetapi karena mereka tidak mau datang ke TPS karena tidak ada uangnya. Jadi memang berbeda dengan di negara maju yang mereka golput karena tidak ada pilihan politik yang cocok, maka di negara berkembang, khususnya di Indonesia, maka hal itu dikarenakan  politik uang tersebut.

Oleh karena itu,  Prof. Ramlan menyarankan agar tidak terjadi politik uang yang terus berlangsung, maka disarankan untuk kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Melalui sistem ini, maka masyarakat bukan memilih orang,  akan tetapi memilih partai. Jadi yang dipilih adalah partainya. Pertarungan tentu berada di partai politik dan bukan di level bawah atau masyarakat.

Hanya masalahnya adalah pada sistem kepartaian. Sebab selama ini juga terdapat problem bahwa ketika sistem proporsional tertutup digunakan, maka yang menentukan adalah pimpinan parpolnya. Jika ini yang terjadi, maka kemudian akan terjadi kekuasaan mutlak pada pimpinan partai.

Dengan demikian yang ke depan dibutuhkan adalah bagaimana menggunakan sistem proporsional tertutup, akan tetapi ada mekanisme penentuan nomor urut calon anggota DPR/DPRD yang transparan. Artinya harus ada fit and proper test yang bisa menjamin bahwa sistem rekruitmen politik yang dilakukannya adalah benar dan memenuhi rasa keadilan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini