• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGHIDUPKAN PANCASILA MELALUI PERGURUAN TINGGI

Ada dorongan yang sangat kuat di kalangan akademisi, birokrat  dan juga elit negara  untuk mengembalikan Pancasila di dalam kehidupan  bermasyarakat bangsa. Dorongan tersebut muncul bersamaan waktunya dengan semakin banyaknya masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Misalnya tentang kekerasan agama, terorisme dan bahkan juga penodaan agama.

Ada sementara pandangan yang menyatakan bahwa ada dua tantangan negeri ini di dalam kancah globalisasi.  Yaitu radikalisme atas nama apapun dan kemudian liberalisme pasar. Radikalisme sekarang sedang menjadi topik hangat di dalam wacana publik disebabkan oleh tindakan kekerasan yang dilakukannya. Terorisme dalam bentuk apapun merupakan musuh yang tidak bisa dianggap enteng.

Kemudian, tentang liberalisme pasar juga merupakan tantangan yang sangat kuat bagi negeri ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi pasar memang sudah menjajah hampir seluruh dunia. Termasuk juga di Indonesia.  Dengan menjamurnya berbagai Mall, Mart, dan sebagainya yang semuanya mengindikasikan semakin kuatnya kapitalisme di dalam  sistem ekonomi negeri ini, maka tantangan dari gerakan radikalisme juga akan menjadi kuat. Jadi, dua tantangan ini memang saling berkait kelindan. Semakin tinggi liberalisme pasar, maka semakin kuat tantangan radikalisme terjadi.

Jadi kiranya ada hipotesis yang menyatakan bahwa sistem ekonomi yang lebih berkecenderungan ke ekonomi  pasar,  maka akan bisa memicu terhadap semakin berkembangnya gerakan radikalisme. Secara kasat mata dapat dinyatakan bahwa di negara berkembang,  di mana akses pekerjaan sangat terbatas, tentu akan menjadi penyebab kuat adanya gerakan radikal.

Di dalam banyak hal, kegagalan negara di dalam menyejahterakan rakyat terutama bagi generasi muda tentu akan menjadi penyebab mengapa banyak anak muda atau generasi muda yang terlibat di dalam bom bunuh diri atau gerakan terorisme. Kenyataannya bahwa kebanyakan teroris adalah generasi muda.

Apakah mereka memasuki gerakan radikal bahkan menjadi teroris didasari oleh kesadaran yang mendalam? Ternyata jawabannya adalah bahwa mereka memang dicuci otaknya agar mau melakukan tindakan nekad dan kemudian diajari atau belajar sendiri atas kemampuan yang dimilikinya, yaitu untuk  menjadi perakit bom. Melawan dengan capital tentu tidak mungkin. Demikian pula melawan dengan senjata modern juga tidak mungkin. Maka satu-satunya cara adalah dengan membuat bom yang memang relative murah pembiayaannya.

Oleh karena itu, banyak lulusan Afghanistan yang memiliki kemampuan untuk merakit bom. Mereka diajari sewaktu mengikuti kaum mujahidin di Afghanistan dan pengalaman lapangan tersebut kemudian dilakukan kembali dalam kasus-kasus terorisme di Indonesia. Jadi tidak heran jika orang seperti Imam Samodra, Amrozi dan sebagainya memiliki kemampuan membuat bom dengan kekuatan yang sangat eksplosif. Bahkan juga orang sekelas Mohammad Syarif yang melakukan bom bunuh diri di Masjid Adz Dzikra di Kompleks kepolisian Cirebon.

Di sisi lain, membuat bom juga bisa dilakukan dengan otodidak. Orang seperti Pepi yang alumnus UIN Jakarta adalah orang yang berhasil membuat bom dengan belajar secara otodidak. Generasi ketiga pelanjut terorisme ini adalah orang yang secara structural tidak terkait dengan gerakan Terorisme internasional, akan tetapi tertarik dengan doktrin Salafi Jihadi dengan caranya sendiri.

Berdasarkan kenyataan bahwa ada generasi muda, baik yang masih mahasiswa mahasiswa atau alumni PT yang  tertarik  dan bahkan menjadi eksponen agama yang radikal dengan keinginan mendirikan negara agama, maka kiranya memperkuat ideologi Pancasila menjadi penting dan mendasar.

Oleh karena itu, Sarasehan Pancasila di Surabaya 30 Mei sampai 01 Juni 2011 diharapkan mengahasilkan rekomendasi tentang kewajiban menjadi Pancasila mata kuliah di seluruh jenis dan jenjang pendidikan, yang diajarkan dengan cara yang khusus, meretas di antara indoktrinasi dan diskusi, sehingga Pancasila sebagai pengetahuan dan tindakan akan dapat direngkuh.

Akan tetapi juga diperlukan adanya keinginan untuk menjadikan  pilar kebangsaan –Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinekaan—sebagai bagian dari integrated curriculum, misalnya mata kuliah sosiologi, psikhologi, komunikasi, akhlak dan tasawuf, fiqih dan ketatanegaraan, dan sebagainya. Diharapkan para rektor dapat  memprakarsai terhadap curriculum review tentang relasi antara Pilar kebangsaan dengan mata kuliah ini.

Wallahu a’lam bi al  shawab.

Categories: Opini