MENGUKUR BUDAYA AKADEMIK
Sekarang kita sedang hidup di era kompetisi. Artinya, mau tidak mau, suka atau tidak suka kita memang harus menyiapkan diri secara maksimal jika kita ingin terus survive di dalam menghadapi tekanan struktural dan kultural yang terus menghimpit. Tekanan struktural tersebut bersumber dari hubungan pusat dan pinggiran, negara kaya dengan negara berkembang, antara pemilik modal dan tenaga kerja dan antara negara dan rakyat. Meskipun secara politis, rakyat telah memiliki kekuatan untuk melakukan tekanan kepada negara, namun tetap saja posisinya belum sebagaimana yang diharapkan. Sebagai contoh, di mana-mana rakyat masih menderita sebagai akibat perilaku politik dan sosial para elitnya yang tidak memberikan ruang gerak bagi penumbuhan ekualitas. Di dalam dunia pendidikan pun juga terdapat kesenjangan yang cukup lebar, antara si kaya dengan si miskin terutama dalam hal akses pendidikan.
Di dalam pendidikan, sesungguhnya kita memiliki visi yang sangat baik. Visi Pendidikan Nasional: Mencetak insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Namun rasanya perlu ditambahkan dengan memiliki moralitas yang memadai. Sebab cerdas dan kompetitif saja tanpa memiliki moralitas akan menyebabkan ketidakseimbangan di dalam mengarungi kehidupan. Untuk kepentingan peningkatan kualitas masyarakat, terutama kaum terdidik maka Long Term Strategy Dirjendikti menetapkan tiga hal: Human competitiveness, Kemandirian dan Kesehatan organisasi. Maka implikasinya adalah meningkatnya daya saing bangsa di era global, otonomi dan pendidikan berbasis masyarakat dan berkembangnya manajemen pendidikan berbasis kinerja
Di sisi lain, tantangan pendidikan di era kompetisi adalah: 1) globalisasi (borderless world, borderless society). 2) Perubahan Sosial yang sangat cepat (semakin melemahnya moralitas, kekeluargaan, kekerabatan, solidaritas sosial dan primordialitas, sebaliknya semakin menguat individualisme, konsumerisme dan kapitalisme). 3) Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (semakin mudahnya mengakses informasi dan melakukan komunikasi melalui interaksi dalam dunia maya). 4) Mengikuti arus perubahan tanpa melakukan perlawanan sedikitpun (seluruh kehidupannya merupakan replika kehidupan modern/posmodern). Melawan dengan segenap kemampuan (menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak fundamental, seperti gerakan anti Amerika oleh Imam Samodra cs). 5) Mengikuti dengan kritis (melakukan adaptasi secara kritis teradap perubahan-perubahan tersebut, mengambil yang bermanfaat dan membuang yang madharat).
Untuk kepentingan peningkatan kualitas institusi pendidikan tinggi, maka Dirjen Dikti juga melansir perguruan Tinggi berkualitas di Jawa Timur. Melalui proses seleksi yang ketat, maka PTS di bawah Kopertis Wilayah VII yang dianggap terbaik adalah: Universitas Islam Malang, Universitas Katolik Widya Madala, Universitas Kristen Petra, Universitas Muhammadiyah Gresik, Universitas Muhammadiyah Jember, Universitas Muhammadiyah Malang, UPN Veteran Surabaya, Universitas Widya Gama, Malang, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Sedangkan Intitutnya meliputi: Akademi Pariwisata Muhammadiyah Jember, IKP PGRI Madiun, Institut Adhitama Suarabaya, Institut Teknologi Nasional Malang, STIE Indnoseia (STESIA) Surabaya, STIE Malangkuscewara, STIE Manadala Jember, STIE Perbanas Surabaya, STKIP PGRI Jombang dan STIKOM Surabaya. Diantara 20 terbaik tersebut, maka yang menempati posisi tertinggi adalah Universitas Muhammadiyah Malang dan STKIP Madiun. Di antara kriteria yang menonjol dari yang terbaik adalah besaran perolehan hibah bersaing.
Agar pendidikan tinggi dapat mengejar kualitas institusi pendidikan di luar negeri, maka perlu dikembangkan budaya akademis. Budaya akademik tentu saja merupakan bagian penting perguruan tinggi di dalam mencapai mutu akademis yang sangat baik, maka sangat diperlukan budaya akademis di kalangan perguruan tinggi dimaksud. Untuk maksud tersebut maka diperlukan peningkatan: 1) Pengembangan SDM (Dosen, Karyawan, Mahasiswa). 2) Pengembangan infrastruktur pendidikan (Ruang kuliah, laboratorium, ICT, Perpustakaan dan sarana prasarana lain pendukung pendidikan). 3) Pengembangan kinerja civitas akademika (dosen,karyawan, mahasiswa). Pengembangan manajemen berbasis kepuasan pelanggan). 4) Peningkatan kualitas pembelajaran (pembelajaran berbasis media, perpustakaan dan ICT). 5) Peningkatan lingkungan dan budaya akademik. 6) Tersedia jaminan mutu. 7) Tersedia perpustakaan yang berkualitas (ILL, digital Library, OPAC, dsb). 8) Tersedia ICT yang sangat berkualitas. 9) Tersedia Laboratorium yang berbasis kebutuhan. 10) Tersedia infrastruktur pendidikan (kelas, ruang diskusi, seminar, ruang dosen, ruang pimpinan dan sebagainya). 11) Terselenggara forum diskusi, seminar dan workshop. 12) Terselenggara tradisi akademik berbasis kebutuhan mahasiswa (pembelajaran berbasis kebutuhan, seperti program bahasa asing, ketrampilan komputer dan sebagainya). 13) Terselenggara tradisi penulisan ilmiah baik berbasis riset lapangan atau pemikiran. 14) Terselenggara eksperimentasi pengembangan masyarakat. 15) Dihasilkan dosen yang memiliki kapabilitas. 16) Dihasilkan karya tulis ilmiah melalui jurnal, koran, majalah dan buku). 17) Dihasilkan karya ilmiah berupa research report yang out standing. 18) Dihasilkan out put dan out come pendidikan yang memadai.
Melalui pemenuhan terhadap hal-hal di atas, maka diharapkan institusi pendidikan tinggi akan dapat memiliki daya saing di era global. Jadi sebuah lembaga pendidikan akan mampu bersaing atau tidak tergantung kepada seberapa pemenuhan kualifikasi komponen di atas dapat dipenuhi.
Wallahu a’lam bi al shawab.