• September 2024
    M T W T F S S
    « Aug    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

POLITIK DAN KEBOHONGAN PUBLIK

Mungkin tulisan ini agak terlambat disajikan sebab cerita tentang kebohongan public sudah terjadi sekian bulan yang lalu, tepatnya di akhir Desember 2010 dan berlanjut di bulan Januari 2011. Peristiwa ini tentu saja terkait dengan kritikan tokoh lintas agama terhadap pemerintah  mengenai beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah dan hal itu dianggap sebagai kebohongan atau yang popular disebut sebagai kebohongan public.

Kebohongan public adalah ranah konsep yang berada di dalam dunia perpolitikan. Ia hadir di dalam relasi antara Negara dan masyarakat atau state and civil society. Kebohongan public adalah ketidaksinkronan atau ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan atau diwacanakan atau disiarkan atau diberitakan dengan kenyataan yang terjadi dan hal itu dilakukan oleh pemerintah atau aparat pemerintah atau Negara kepada masyarakatnya. Misalnya, pemerintah menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat sudah meningkat, akan tetapi kenyataannya kehidupan masyarakat semakin sulit. Maka, berita tentang kesejahteraan itu adalah kebohongan semata.

Tulisan ini diilhami oleh kegiatan Bahtsul masail yang dilakukan oleh PWNU Jawa Timur, 30/04/2011, yang dilakukan di Pesantren Al Rasyid  Bojonegoro, tentang bagaimana hukum kebohongan public dalam perspektif fiqh. Kenyataannya, bahwa kebohongan public adalah ranah politik, sehingga keputusan fiqih juga menjadi wilayah fiqih politik.

Kebohongan public, adalah wilayah yang sangat rumit untuk menilainya. Di dalam hal ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: wilayah tafsir dan ukuran untuk menentukan kebohongan tersebut didasarkan atas landasan konseptual dan implikatif macam apa, kemudian apakah persoalannya terletak pada aspek ketidaknyambungan antara kebijakan dan I mplementasi dan yang paling repot adalah ketika kemudian terjadi pertarungan anta relit politik dalam artikulasi kepentingan politik. Tiga aspek ini yang kiranya menjadi pertimbangan untuk menentukan apakah memang ada kebohongan atau tidak.

Suatu contoh tentang angka kemiskinan, maka angka tersebut tentu sangat variatif tergantung kepada ukuran yang digunakan untuk menjelaskannya. Ada berbagai ukuran untuk menentukan tentang angka kemiskinan tersebut, misalnya ukuran yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), ukuran Bank Dunia, Ukuran UNDP dan seterusnya. Masing-masing menggunakan totok ukur sesuai dengan kepentingannya. Misalnya BPS menggunakan ukuran Indonesia (lokalistik), sedangkan Bank Dunia menggunakan ukuran dunia internasional. Jika menggunakan ukuran BPS, maka angka kemiskinan di Indonesia cukup rendah, berkisar 17,75 persen tahun 2009. Akan tetapi jika menggunakan ukuran Bank Dunia, maka angka kemiskinan di Indonesia masih berkisar 40 persen ke atas.

Hal ini berarti bahwa angka kemiskinan adalah angka yang debatable yang disebabkan angka tersebut adalah angka hasil penilai sesuai dengan ukuran yang digunakan. Makanya ketika kita berdebat tentang angka kemiskinan, maka yang terjadi adalah memperdebatkan tentang berapa ukuran yang benar untuk menilai angka kemiskinan tersebut. Demikian pula ketika kita memperdebatkan tentang tingkat kesejahteraan dengan menggunakan ukuran pendapatan perkapita masyarakat, maka pemerintah selalu menggunakan angka rerata, sehingga ekstrimitas yang kaya dan miskin tidak bisa dijelaskan dengan angka seperti itu.

Kemudian kasus tentang mafia hukum, maka juga terjadi  pertarungan yang luar biasa dari elit politik negeri ini.  Kasus Gayus Tambunan, yang menyita perhatian banyak pihak yang disebabkan oleh mafia hukum yang sangat besar di Indonesia, maka yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan politik yang sangat nyata. Masing-masing memiliki kekuatan untuk saling melumpuhkan. Berdasarkan laporan media, bahwa di belakang Gayus terdapat kekuatan politik yang kuat, maka jika kasus tersebut dibuka, maka akan menyerang balik lewat kasus Bank Century. Maka bisa jadi kemudian dilakukan tindakan kompromi untuk menyelesaikan keduanya. Jadi, sesungguhnya adalah pertarungan antar elit politik untuk masing-masing ingin mengokohkan status dan kedudukannya di negeri ini.

 Kemudian kasus ketahanan  bahan pangan dan energy serta kasus korupsi yang masih tinggi, tentu saja terkait dengan kegagalan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Bukankah bahwa negara ini telah memiliki seperangkat aturan  yang mengatur semua persoalan bangsa, termasuk korupsi. Akan tetapi ternyata terdapat kegagalan implementasi kebijakan atau aturan tersebut di lapangan. Oleh karena itu, kiranya bisa dinyatakan bahwa pemerintah belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan korupsi ini.

Menilik terhadap kenyataan tersebut, maka dapat dipahami bahwa memang ada kerumitan untuk menyatakan “kebohongan”, “kegagalan”, “keberhasilan” dalam menilai pemerintah. Makanya, menurut saya yang harus dijadikan sebagai rujukan adalah ukuran, tafsiran atau barometer apa untuk menentukan kebohongan public tersebut, sehingga akan didapati kesepahaman tentang masalah yang fundamental.

Sebagaimana saya tulis di beberapa tulisan saya sebelumnya, bahwa apa yang dilakukan oleh sejumlah warga Negara tersebut,  ibaratnya adalah sebuah jamu, pahit rasanya akan tetapi bermanfaat untuk menyehatkan.

Jadi, kritik juga penting sebagai wahana untuk mengaca diri dalam kerangka perbaikan kinerja kita di masa sekarang atau yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini