MENGEMBANGKAN DAERAH PERBATASAN
Selama ini orientasi pengembangan fisik banyak ditujukan kepada wilayah perkotaan. Coba kalau kita amati maka yang berkembang luar biasa adalah daerah perkotaan terutama di Jawa. Jakarta sebagai ibukota negara berkembang luar biasa. Demikian pula ibukota propinsi juga berkembang pesat. Seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, Bandung untuk Jawa, kemudian Ujungpandang, Balikpapan, Palembang dan sebagainya juga berkembang relatif cepat. Alasan yang digunakan adalah ibukota negara atau propinsi adalah wajah Indonesia. Kemajuan Indonesia dari sisi fisik adalah terletak di wilayah ibukota tersebut.
Namun ketika Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Ir. H. Lukman Edy, Msi menyatakan bahwa di Indonesia masih ada sebanyak 199 kabupaten tertinggal dan 26 di antaranya adalah daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka kita mesti harus berpikir ulang, apakah wajah Indonesia itu hanya pada capital city atau juga mesti harus melihat wilayah perbatasan sebagai wajah Indonesia. Pertanyaan ini tentu perlu diungkap sebab jangan sampai kita hanya melihat capital city sebagai wajah Indonesia sementara daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dibiarkan merana. Jika negara tetangga yang berbatasan langsung itu sama dengan daerah perbatasan Indonesia mungkin tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi jika daerah perbatasan negara tetangga tersebut sangat sejahtera, sementara daerah perbatasan Indonesia miskin maka akan menyebabkan problem yang serius.
Betapa jauh perbedaan antara warga negara Indonesia yang berbatasan langsung dengan warga Malaysia di Kalimantan Barat. Sementara warga Malaysia dengan tanaman produktif (kelapa sawit) dapat mengakses kesejahteraan ekonomi yang tinggi sementara warga Indonesia dalam keadaan yang belum sejahtera. Makanya akan memunculkan problem “perasaan nasionalisme” yang rendah terkait dengan disparitas pendapatan yang dialami oleh warga negara Indonesia tersebut. Inilah yang bisa menjadi penyebab memudarnya semangat nasionalisme di kalangan warga negara di wilayah perbatasan.
Oleh sebab itu, maka salah satu cara agar wawasan kebangsaan akan terus menjadi pilar kehidupan masyarakat Indonesia, maka aspek mendasar yang perlu dilakukan adalah menjadikan wilayah perbatasan sebagai prioritas program pembangunan. Bukan hanya sekedar kepedulian, akan tetapi keterlibatan. Pemerintah harus terlibat secara memadai agar keinginan untuk mengentas masyarakat miskin di wilayah tertinggal akan dapat terealisasi.
Mungkin Kementerian Negara Daerah Tertinggal harus diberi keleluasaan untuk menghandle pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal. Anggaran di departemen atau sektor lain yang dianggap kurang menjadi prioritas hendaknya diarahkan ke kementerian yang memiliki fungsi untuk mengentas kemiskinan di daerah tertinggal. Pemecahan anggaran ke berbagai departemen dengan tujuan untuk mengentas kemiskinan kiranya dapat didesain ulang.
Melalui penguatan program pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal dan secara khusus pada daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka kesenjangan antara daerah perbatasan negara tetangga dengan daerah perbatasan Indonesia tentunya akan menjadi menyempit dan dalam waktu terukur akan menjadi sama bahkan melampaui.
Nasionalisme dan wawasan kebangsan akan tetap menjadi pilihan masyarakat jika pemenuhan kebutuhan mendasar warga masyarakat terpenuhi. Makanya, agar Indonesia ke depan akan menjadi negara yang selalu dibela oleh warga negaranya, maka mereka para warga negara itu juga harus merasa memperoleh sesuatu ketika menjadi warga negara.
Di era sekarang rasanya sudah ada perubahan. Jika dahulu orang menyatakan ”jangan bertanya kepada negara apa yang kau berikan, tanyalah apa yang kamu sumbangkan kepada negara”. Maka di era global seperti ini dalilnya menjadi berubah: ”ada relasi timbal balik antara pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan kesediaan bela negara”. Semoga pernyataan terakhir ini salah dan yang benar adalah pernyataan yang pertama.
Wallahu a’lam bi al-shawab.